Dengarkan artikel ini:
Peringatan HUT RI di IKN beberapa hari lalu suguhkan pemandangan menarik. Beberapa konglomerat teratas Indonesia tampak hadir dalam momen tersebut. Ini menunjukkan dinamika relasi antara Jokowi dan para pengusaha – hal yang memungkinkannya punya kekuatan politik besar, sekaligus punya sumber daya untuk digerakkan dalam berbagai proyek pembangunan. Inilah sebuah state-capital nexus.
Dalam peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79, sebuah momen menarik terjadi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Tidak hanya para pejabat tinggi negara yang hadir dalam upacara bendera tersebut, tetapi juga beberapa konglomerat terkemuka Indonesia.
Nama-nama yang hadir antara lain Sugianto Kusuma alias Aguan yang adalah bos Agung Sedayu Group, lalu ada Franky Oesman Widjaja yang merupakan bos Sinar Mas Group. Kemudian ada Prajogo Pangestu, bos Barito Pacific. Dan tak ketinggalan, ada Garibaldi Thohir alias Boy Thohir, bos Adaro Group.
Kehadiran mereka dalam acara kenegaraan ini bukan sekadar simbolis, tetapi mencerminkan kedekatan mereka dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebuah relasi yang telah menjadi kekuatan politik utama dalam periode kedua kepemimpinan Jokowi. Apalagi para konglomerat ini tergabung dalam Konsorsium Nusantara yang ada di balik pembangunan IKN, di mana Aguan menjadi ketua konsorsiumnya.
Para konglomerat ini menjanjikan investasi hingga Rp40 triliun lebih dan sudah mengalirkan sebagian di antaranya untuk pembangunan-pembangunan yang tengah berjalan. Memang, muncul selentingan soal imbal balik yang didapatkan para konglomerat ini terkait investasi mereka di IKN.
Proyek Agung Sedayu di Pantai Indah Kapuk (PIK) misalnya telah masuk ke proyek strategis nasional (PSN). Demikianpun dengan proyek Sinar Mas di Bumi Serpong Damai (BSD), masuk kategori yang sama pula. Dengan masuk PSN, tentu ada banyak kemudahan terkait perizinan dan efek pembangunan lain yang mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Tentu pertanyaannya adalah apa yang bisa dimaknai dari hubungan Jokowi dengan para konglomerat ini?
Sebuah Kekuatan Politik: State-Capital Nexus
Kedekatan Presiden Jokowi dengan para konglomerat ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Sejak masa kampanye pemilihan presiden, dukungan finansial dari para pengusaha besar telah menjadi salah satu fondasi penting bagi Jokowi. Para konglomerat ini tidak hanya memberikan dukungan finansial, tetapi juga logistik, jaringan, dan bahkan pengaruh politik yang signifikan.
Relasi antara Jokowi dan konglomerat menjadi semakin kuat dalam periode kedua kepemimpinannya. Proyek-proyek besar seperti pembangunan IKN di Kalimantan Timur, pengembangan infrastruktur, dan berbagai program strategis lainnya membutuhkan dukungan dari sektor swasta, terutama dari para konglomerat yang memiliki sumber daya besar dan pengalaman dalam mengelola proyek-proyek besar.
Sugianto Kusuma alias Aguan, misalnya, adalah tokoh penting di balik grup properti Agung Sedayu yang memiliki berbagai proyek besar di Jakarta dan sekitarnya. Kehadirannya dalam upacara HUT RI di IKN menunjukkan betapa pentingnya peran sektor properti dalam pembangunan ibu kota baru.
Demikian pula, Franky Oesman Widjaja dari Sinar Mas Group yang memiliki bisnis di berbagai sektor mulai dari perkebunan hingga energi terbarukan, menunjukkan betapa pentingnya sektor-sektor ini dalam agenda pembangunan nasional Jokowi.
Selain itu, Prajogo Pangestu dari Barito Pacific dan Garibaldi Thohir dari Adaro Group juga memainkan peran kunci dalam mendukung agenda energi dan infrastruktur Jokowi. Kedua konglomerat ini memiliki bisnis besar di sektor energi, yang menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam mencapai target-target pembangunan berkelanjutan.
Secara umum, relasi antara politisi dan konglomerat bukanlah fenomena baru dalam politik modern. Konsep state-capital nexus atau hubungan simbiosis antara negara dan kapitalisme merupakan salah satu teori yang menjelaskan bagaimana kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain.
Teori ini menggambarkan bahwa negara, dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan, sering kali membutuhkan dukungan dari sektor swasta. Sebaliknya, konglomerat yang memiliki kepentingan bisnis yang luas membutuhkan perlindungan dan dukungan dari negara untuk menjaga dan mengembangkan bisnis mereka.
Salah satu filsuf yang membahas konsep ini adalah Antonio Gramsci, dengan lewat teori hegemoni. Gramsci berpendapat bahwa negara tidak hanya bergantung pada kekuasaan politik dan militer, tetapi juga pada pengaruh ideologi dan ekonomi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok dominan, termasuk para kapitalis. Negara dalam hal ini berperan sebagai mediator yang mengatur relasi antara berbagai kepentingan ekonomi untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan sistem kapitalis.
Dalam konteks Indonesia, konsep state-capital nexus terlihat jelas dalam relasi antara Jokowi dan para konglomerat. Dukungan dari konglomerat memungkinkan Jokowi untuk melaksanakan proyek-proyek besar seperti IKN, yang membutuhkan investasi besar dan keahlian teknis yang hanya dimiliki oleh sektor swasta.
Sebaliknya, para konglomerat ini mendapatkan akses eksklusif ke proyek-proyek pemerintah yang menguntungkan, serta perlindungan politik yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan bisnis tanpa hambatan yang berarti.
Kolaborasi Negara dan Kapital
Pembangunan IKN Nusantara adalah contoh nyata bagaimana relasi antara negara dan kapitalis bekerja dalam praktik. Proyek ini tidak hanya menjadi ambisi besar Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tetapi juga merupakan peluang besar bagi konglomerat untuk terlibat dalam proyek yang memiliki dampak ekonomi dan politik yang sangat besar.
Kolaborasi antara negara dan kapitalis dalam proyek IKN menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi dan politik dapat saling mendukung. Negara membutuhkan investasi dan keahlian dari sektor swasta untuk mewujudkan visi besar pembangunan, sementara konglomerat membutuhkan dukungan politik dan akses ke proyek-proyek strategis untuk mengembangkan bisnis mereka.
Relasi antara negara dan kapitalis seperti yang terlihat dalam kasus Jokowi dan para konglomerat, memiliki dampak yang kompleks bagi perkembangan negara. Di satu sisi, kolaborasi ini memungkinkan negara untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan dengan lebih cepat dan efisien, terutama dalam proyek-proyek besar yang membutuhkan investasi besar dan keahlian teknis yang tinggi. Negara juga dapat memanfaatkan kekuatan ekonomi para konglomerat untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Namun, di sisi lain, relasi ini juga dapat menimbulkan risiko ketergantungan negara terhadap sektor swasta. Ketika konglomerat memiliki pengaruh yang terlalu besar dalam pengambilan keputusan politik, hal ini dapat mengarah pada kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan ekonomi tertentu daripada kepentingan publik secara keseluruhan.
Ketergantungan yang berlebihan pada konglomerat juga dapat menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih besar, di mana kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Seperti yang diungkapkan oleh Gramsci, negara harus menjaga keseimbangan antara berbagai kepentingan ekonomi untuk menghindari dominasi oleh satu kelompok tertentu. Jika tidak, hal ini dapat mengarah pada krisis legitimasi, di mana masyarakat merasa bahwa negara tidak lagi mewakili kepentingan mereka, melainkan kepentingan para elit ekonomi.
Pada akhirnya, kedekatan Presiden Jokowi dengan para konglomerat Indonesia adalah fenomena yang mencerminkan relasi simbiosis antara negara dan kapitalis dalam sistem politik modern. Relasi ini telah mendukung Jokowi dalam melaksanakan berbagai proyek besar, seperti pembangunan IKN, yang membutuhkan dukungan dari sektor swasta. Namun, relasi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjangnya bagi kepentingan publik.
Lalu, apakah relasi seperti ini positif untuk kemajuan negara? Jawabannya tentu tidak sederhana. Di satu sisi, kolaborasi antara negara dan konglomerat dapat mempercepat pembangunan dan menciptakan stabilitas ekonomi. Namun, di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang adil dan transparan, relasi ini berisiko menciptakan ketimpangan ekonomi dan politik yang lebih besar.
Negara harus terus menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan publik untuk memastikan bahwa pembangunan yang terjadi benar-benar bermanfaat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya bagi segelintir elit. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)