HomeNalar PolitikJokowi Di Tengah Gelombang Hiperrealitas Politik?

Jokowi Di Tengah Gelombang Hiperrealitas Politik?

Hari pers nasional tahun ini cukup berbeda mengingat hampir selama satu tahun ke belakang, media dan produk jurnalistik turut mengawal dinamika krisis kesehatan publik dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni pandemi Covid-19, beserta bagaimana penanganannya oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Lalu bagaimana sesungguhnya esensi media arus utama di tengah tantangan tersebut plus disrupsi informasi yang ada saat ini?


PinterPolitik.com

Refleksi hari pers nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari, hari ini, kiranya memiliki makna yang jauh berbeda dalam sejarah insan media tanah air. Jika dalam kondisi normal saja, media kontemporer arus utama acapkali mengalami gejolak sedemikian rupa, pandemi Covid-19 membuat semuanya terasa jauh lebih menantang.

Digelar secara virtual, peringatan HPN secara nasional edisi kali ini sendiri mengangkat tema “Bangkit dari Pandemi”. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pagi tadi menyampaikan bahwa selain menjadi suluh yang menyingkap segala informasi yang terpercaya, pers juga menjadi ruang bagi diskusi dan kritik demi penanganan dampak pandemi yang lebih baik.

Sementara Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, pada Konvensi Nasional Media Massa dalam menyambut Hari Pers Nasional 2021 Senin kemarin, juga mengemukakan bahwa kontribusi dalam upaya mengalahkan pandemi Covid-19 ini disebut panggilan sejarah bagi dunia pers dan jurnalistik di Indonesia.

Anies menempatkan strata peran media massa seperti halnya para pendiri bangsa ketika berjuang dengan menulis buah pikiran yang disampaikan dalam bentuk tulisan yang menggetarkan dan menggelorakan semangat kemerdekaan.

Apalagi pandemi juga merupakan peristiwa historis dengan dampak yang luar biasa dan setiap detik dinamikanya akan menjadi perhatian dan pembelajaran di masa yang akan datang.

Baca juga: Paradoks Keinginan Kritik Jokowi

Peran media dijabarkan eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu penting sebagai penyambung untuk bisa memastikan pemerintah benar mengimplementasikan 3T (trackingtracing, dan treatment). Mengingat media memiliki urgensi untuk memastikan bahwa proses pemerintahan berjalan dengan benar sebagai salah satu pilar demokrasi.

Dan di saat yang sama, lanjut Anies, media juga harus mengajak, mencerahkan, dan mencerdaskan masyarakat untuk menjalankan protokol kesehatan dengan benar.

Lalu, seperti apa sesungguhnya esensi peran media arus utama sepanjang krisis kesehatan publik yang terjadi seperti saat ini? Dan apakah dengan kondisi saat ini, media dapat menjadi metronom nalar dan perilaku masyarakat, ketika pemerintah kerap kali dinilai kurang cakap dalam menangani pandemi Covid-19?

Instrumen Menentukan Sejak Dulu?

Seperti intisari yang dikemukakan Anies bahwa pandemi adalah peristiwa historis dengan derajat makna yang tinggi, berdasarkan sejarahnya krisis kesehatan publik, seperti wabah, epidemi, hingga pandemi, memang menguak betapa vitalnya peran pers dan media.

Dalam publikasinya di The New Republic, Walter Shapiro menjabarkan signifikansi media massa di tengah Pandemi Flu Spanyol tahun 1918 di Amerika Serikat (AS). Akibat adanya tekanan untuk mempertahankan moral masa perang kala itu, pejabat pemerintah baik federal maupun lokal tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai realita dan berbahayanya virus tersebut.

Hal itu berdampak pada bagaimana surat kabar di kota besar — yang menjadi sumber berita dominan di masa sebelum radio — cenderung menutupi kebenaran dan mempraktikkan penyensoran sendiri pada tingkat yang mengkhawatirkan. Setiap artikel atau tajuk berita menyajikan informasi yang tidak lebih dari sekadar kekhawatiran biasa tentang virus tersebut.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Ditambah dengan keterbatasan teknologi informasi dan media, hasilnya adalah efek kilat tentang bagaimana ketidaktahuan publik ditambah dengan misinformasi yang merajalela, secara tragis memperburuk keadaan yang berujung pada 675 ribu kematian.

Apa yang terjadi di AS saat itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di Yunani. Surat kabar perintis lokal bernama Thessalia, adalah yang pertama mengumumkan kedatangan “Flu Spanyol” di Negeri Para Dewa.

Thessalia membahas secara mendalam pandemi flu dan menginformasikan kepada para pembaca tentang tindakan yang harus diambil, serta dampak aspek sosial dan ekonomi dari merebaknya virus tersebut.

Era terus berganti dan sejumlah wabah, epidemi, maupun pandemi silih berganti menantang peradaban manusia. Pandemi Flu Babi pada 2009, juga kemudian menunjukkan betapa media massa menjadi instrumen vital, yang mana dinamika dan karakteristik politik dan pemerintahan juga turut membayangi tugas jurnalisme.

Jingfeng Liu dari Iowa State University dalam publikasinya yang berjudul Framing Health Risk, menunjukkan dua sampel dengan dimensi berbeda antara komparasi pemberitaan media di negara demokratis seperti AS, dan yang tidak seperti Tiongkok saat terjadi pandemi 2009.

Dengan atmosfer serta karakteristik sistem pemerintahan yang terbuka, media AS memainkan peran mekanisme supervisi atau pengawasan yang lebih baik bagi masyarakat luas, dibandingkan media Tiongkok yang notabene berada di bawah kontrol rezim otoritarian.

Baca juga: Media Sosial, Jokowi Lampaui Trump?

Media dalam atmosfer yang lebih bebas menyajikan laporan yang lebih komprehensif tentang masalah mengenai risiko krisis kesehatan publik dengan tingkat visibilitas framing yang lebih tinggi. Plus, dengan sumber yang lebih variatif dan menyoroti serta tidak menegasikan perdebatan, eksistensi masalah baru, dan proses pemecahan masalah di tengah pandemi itu sendiri.

Aspek historis itu lantas menunjukkan bagaimana signifikansi dan hubungan antara media, krisis kesehatan publik, khususnya pandemi, dan dinamika politik dan pemerintahan.

Lalu, bagaimana dengan saat ini?

Berjibaku di Tengah Kolapsnya Realita?

Dengan kemajuan teknologi informasi yang tak terbendung, apa yang dihadapi media saat Pandemi Flu 1918 atau bahkan Flu Babi 11 tahun lalu dibandingkan saat ini, agaknya sangat jauh berbeda.

Media massa dan produk jurnalistik kini mendapatkan tantangan hebat dari beragamnya platform berbagi informasi seperti media sosial yang jamak diistilahkan dan menjadi bagian dari era new media atau media baru.

Meskipun terdapat demarkasi yang jelas antara media yang bersifat jurnalistik dengan media sosial, era media baru pada akhirnya membuat media secara umum mengalami pelebaran definisi. Dan di saat yang sama, keduanya kemudian kerap dijadikan rujukan sumber menghimpun informasi dan tak jarang dijadikan pedoman tertentu pula.

Lantas terjadilah tantangan terbesar pers, media, dan produk jurnalistik saat ini yang disebut sebagai disrupsi informasi, di mana implikasi minornya termanifestasikan dalam fenomena maraknya disinformasi.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Dalam The Collapse of Reality, Adam Garfinkle menyebutkan istilah cyber tsunami atau tsunami siber sebagai efek di tengah disrupsi tersebut, di mana kemudian membuat persepsi atas realitas menjadi tidak stabil.

Implikasi nyatanya di era pandemi Covid-19 saat ini ialah masifnya fenomena infodemic, yakni merebaknya informasi berlebih yang berbaur dalam disinformasi, sehingga kemunculannya dapat mengganggu usaha pencarian solusi, khususnya di tengah krisis kesehatan publik.

Bahkan ketidakstabilan atas realita yang ditimbulkannya membuat infodemic yang marak di era saat ini dikatakan dapat mengancam keselamatan jiwa.

Pada titik inilah signifikansi dan peran media beserta produk jurnalistiknya, menjadi begitu vital sejauh dapat terus berpegang pada kaidah dan nilai jurnalisme yang ideal.

Distorsi Hiperrealitas Politik

Ketidakstabilan realita agaknya tidak hanya berasal dari perputaran arus informasi yang begitu masif. Sumber primer dari informasi itu sendiri dinilai kerap menjadi persoalan tersendiri.

Jean Baudrillard dalam bukunya yang berjudul Simulacra and Simulation, menyebutkan konsep hyperreality atau hiperrealitas, yang mana menjelaskan bahwa realitas tak bisa dilepaskan dari konteks siapa yang memproduksi serta menggunakan tanda-tanda yang melampaui realitas otentiknya.

Baca juga: Pemerintahan Jokowi Sugarcoating Covid-19?

Sama seperti Baudrillard, Adam Garfinkle juga menegaskan situasi ini membuat publik kesulitan dalam menentukan realitas yang sebenarnya. Contohnya, saat ini masih saja terjadi segelintir perdebatan terkait apakah pandemi Covid-19 benar-benar ada atau sekadar konspirasi elite global.

Di luar konteks pandemi, hiperrealitas kerap terjadi misalnya pada narasi pemerintah soal tingkat kemiskinan atau standar hidup yang diklaim terus membaik, walaupun setelah ditelusuri acap kali berbanding terbalik dengan realita lapangan.

Tidak keliru memang karena secara metodologis pemerintah berbicara menggunakan bahasa statistik. Namun tidak menggunakan bahasa tunggal dan menyuguhkan realita secara komprehensif sesungguhnya harus menjadi prioritas, apalagi di tengah krisis kesehatan publik.

Sementara kembali ke konteks pandemi Covid-19, hiperrealitas tampaknya juga kerap ditunjukkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Misalnya, narasi tingkat kesembuhan tinggi yang kerap dikedepankan, klaim lebih baik dari negara lain, hingga klaim pandemi terkendali.

Peliknya, beberapa waktu yang lalu Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin bahkan secara terbuka menegaskan bahwa data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ternyata tidak akurat.

Ihwal itu bahkan mungkin bermuara pada kebijakan yang dinilai kontraproduktif seperti masih abu-abunya strategi vaksinasi, hingga kebijakan PSBB dan PPKM yang realitanya jamak disebut tidak efektif di lapangan.

Oleh karenanya, diharapkan pemerintahan Presiden Jokowi tidak hanya menyadari bahwa pers dan media massa merupakan corong serta ruang kritik dan masukan demi penanganan pandemi yang lebih baik, tetapi juga dapat menyerap aspirasi tersebut untuk kemudian mengartikulasikannya pada kebijakan konkret yang lebih baik pula. (J61)

Baca juga: Mungkinkah PPKM Buat Jokowi Jera?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?