Site icon PinterPolitik.com

Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?

Presiden Joko Widodo (Foto: CNN Indonesia)

Tensi persaingan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di Asia Tenggara tampaknya semakin memanas. Di tengah dugaan ada upaya AS dan Tiongkok membuat “boneka perang”, apa yang harus dilakukan Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi?


PinterPolitik.com

Akhir bulan Agustus 2021 lalu, Wakil Presiden Amerika Serikat (Wapres AS), Kamala Harris melakukan kunjungan diplomatis ke dua negara Asia Tenggara, yaitu Vietnam dan Singapura. Kunjungan ini berhasil mencetak sejarah baru bagi AS karena untuk pertama kalinya negeri Paman Sam itu mengirim seorang Wakil Presiden untuk berkunjung langsung ke Vietnam.

Kedatangan Harris ke dua negara tersebut berhasil menyita perhatian para pengamat internasional lantaran ia membahas mengenai panasnya dinamika politik di wilayah Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Pada bulan sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) AS, Lloyd Austin juga melakukan tur diplomatis ke Vietnam, Singapura, dan Filipina dengan membahas hal yang sama, yaitu mengenai pergerakan Tiongkok di LTS. Austin bahkan sempat melontarkan ancaman halus kepada Tiongkok untuk tidak melakukan kesalahan fatal dengan melakukan agresi terhadap kawan-kawan AS di Asia Tenggara.

Di sisi lain, dua minggu setelah Kamala Harris melakukan tur diplomatisnya, Tiongkok pun meluncurkan pendekatan diplomatis ke Asia Tenggara dengan mengirimkan Menteri Luar Negeri (Menlu), Wang Yi ke Vietnam, Singapura, dan Kamboja.

Wang Yi menyebut tur ini bertujuan mempererat relasi, membicarakan implementasi Belt and Road Initiative (BRI), dan juga untuk menegaskan kepada Asia Tenggara bahwa pembicaraan mengenai LTS tidak perlu dibesar-besarkan. Ini dikatakan dalam kunjungannya ke Vietnam pada 11 September 2021 lalu.

Baca Juga: Tak Mungkin Jokowi Lepas Tiongkok?

Profesor Universitas California dan juga Koresponden Voice of America, Ralph Jennings menyebut fenomena ini dengan istilah “tarik tambang”, yang terjadi antara AS dan Tiongkok. Ia menilai saat ini Vietnam dan Singapura telah menjadi negara yang berperan sebagai penyeimbang antara kepentingan AS dan Tiongkok di LTS. Condongnya dukungan negara-negara ini akan berpengaruh besar bagi stabilitas keamanan maritim LTS.

Sementara itu, sebagai kepingan jawaban teka-teki strategi AS, salah seorang pejabat senior AS yang tidak bersedia disebut namanya mengkonfirmasi bahwa kawasan Asia Tenggara telah menjadi kawasan yang sangat penting bagi kepentingan Amerika Serikat.

Menurutnya, Wapres Kamala Harris mengakui bahwa sejarah abad ke-21 akan banyak ditulis di kawasan Indo-Pasifik. Oleh karena itu AS mulai kembali menaruh kepentingan yang besar di wilayah ini dan membangun kekerabatan dengan negara-negara yang bersinggungan dengan Indo-Pasifik, seperti negara-negara ASEAN dan Jepang.

Indonesia sebagai negara Asia Tenggara yang juga memiliki porsi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah sengketa LTS, dinilai memiliki kemungkinan besar untuk “digoda” oleh AS dan Tiongkok.

Lantas, apa yang harus dilakukan Indonesia di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi)?

AS-Tiongkok Membentuk “Boneka”?

Menanggapi dinamika ini, Menlu RI, Retno Marsudi pada sebuah pertemuan virtual tanggal 14 September 2021 menyebutkan bahwa Indonesia tidak akan berdiri di posisi yang dapat menimbulkan adanya permusuhan.

Meskipun Retno mengakui bahwa persaingan antara Tiongkok dan AS semakin meruncing, ia berharap Indonesia dan ASEAN akan berupaya semampu mungkin supaya wilayah Asia Tenggara dan Asia-Pasifik tidak menjadi panggung rivalitas antara dua kekuatan besar Timur dan Barat tersebut.

Retno juga menggarisbawahi relevansi politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia, ia membantah anggapan bahwa prinsip bebas aktif merupakan ketakutan pemerintah merespons rivalitas AS dan Tiongkok di LTS.

Untuk memahami fenomena ini, gelagat politik yang ditunjukkan oleh AS dan Tiongkok menggambarkan apa yang disebut dengan istilah sistem San Fransisco atau sistem hub-and-spoke.

Menurut Victor Cha, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dalam bukunya Powerplay: Origins of the US Alliance System in Asia, menjelaskan sistem hub-and-spoke adalah pembangunan hubungan bilateral yang dirancang oleh negara besar untuk mengerahkan kontrol maksimum atas sekutu yang lebih kecil.

Biasanya, negara-negara yang lebih kecil ini juga memiliki hubungan buruk dengan negara besar lainnya yang sekaligus juga rival dari negara besar pembangun sistem hub-and-spokes tadi. Tujuannya, diharapkan membuat negara besar tersebut tidak harus terlibat dalam konfrontasi secara langsung dengan negara rivalnya.

Victor Cha menjelaskan sistem hub-and-spoke  mulai diterapkan oleh AS ketika masa Perang Dingin untuk mencegah meningkatnya dukungan komunisme Uni Soviet dari berbagai negara di dunia. Namun, selain untuk meredam dukungan komunisme, sistem ini juga memberikan AS akses eksklusif ke wilayah Asia, sehingga bisa terus melakukan check and balance terhadap negara-negara Asia yang bukan sepenuhnya sekutu AS.

Pengamat politik Asia, Deep Pal dan Suchet Vir Singh dalam tulisannya Multilateralism With Chinese Characteristics: Bringing in the Hub-and-Spoke, menjelaskan bahwa saat ini Tiongkok pun mulai mengadaptasi sistem hub-and-spoke melalui pemasaran agenda politik BRI ke negara-negara Asia dan Eropa. Menurut mereka, Tiongkok akan menjadi pusat atau hub, sementara negara lain bertindak sebagai juru bicara atau spoke, yang menghubungkan Tiongkok dengan dunia.

Baca Juga: LTS, Jokowi Pilih AS Ketimbang Tiongkok?

Dalam konteks persaingan kekuatan militer di LTS, dorongan AS pada negara-negara Asia Tenggara untuk menekan intimidasi bersenjata Tiongkok di LTS tampaknya berangkat dari konsep yang bernama perang proxy. Ini adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan konflik antar negara yang bertindak atas hasutan atau atas nama pihak lain yang tidak terlibat secara langsung dalam suatu perseteruan.

Menurut Geraint Hughes, dosen King’s College London dan juga penulis buku My Enemy’s Enemy: Proxy Warfare in International Politics, perang proxy dibangun di atas hubungan jangka panjang langsung antara aktor eksternal dan pihak yang terlibat dalam pertempuran. Hubungan yang dimaksud bisa berupa kerja sama seperti kerja sama militer, transfer teknologi senjata, atau bentuk bantuan material lainnya yang dapat membantu pihak yang bertempur dalam upaya-upaya penjagaan kedaulatannya.

Jadi, dalam pengertian sederhana, di dalam perang proxy akan ada negara-negara yang berperan sebagai boneka, dalam konteks ini negara-negara Asia Tenggara, dan ada negara yang berperan sebagai desainer, yakni negara besar Seperti AS. Alasannya cukup sederhana, yaitu karena AS sadar bahwa konfrontasi langsung antara dirinya dan Tiongkok akan terlalu merugikan, bahkan jika AS memenangkan pertempuran.

Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi?

Apa yang Perlu Dilakukan?

Mengenai posisi Indonesia, Menlu Retno berkeyakinan bahwa konflik terbuka antara AS dan Tiongkok tidak akan terjadi, karena kembali lagi, konflik terbuka hanya akan membawa kerusakan bagi semua pihak yang terlibat, dan yang tidak terlibat secara langsung.

Retno juga menegaskan sentralitas dan kesatuan ASEAN untuk mencegah adanya ketidakseimbangan kekuatan. Terkait hal ini, peneliti senior CSIS, Rizal Sukma menyatakan bahwa Indonesia di masa yang genting ini perlu mengangkat nilai dan arti penting ASEAN yang dinilainya merosot.

Rizal kemudian menyatakan posisi, respons, dan cara Indonesia mengatur diri dalam rivalitas AS-Tiongkok juga sangat krusial. Ini tergambar setidaknya di sektor hukum kemaritiman. Indonesia perlu memastikan ketaatan negara-negara atas aturan hukum internasional melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Mantan Menlu RI periode 2009-2014, Marty Natalegawa di kesempatan yang sama melontarkan kritik terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Marty mengatakan Indonesia saat ini perlu menggarisbawahi makna dari kata “aktif “ dalam politik luar negeri bebas aktif.

Menurutnya, di tengah persaingan geopolitik AS-Tiongkok, pemerintah harus mewujudkan kata “aktif” dalam bentuk respons secara konkret. Inilah yang ia nilai masih sulit ditemukan dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia saat ini.

Sebagai upaya memahami relevansi kebijakan politik luar negeri bebas aktif dalam perseteruan kekuatan besar, kita perlu melihat kembali teori Balance of Power dari Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics.

Menurut Waltz, secara rasional sifat anarkis politik internasional akan mendorong negara-negara membangun kapabilitasnya melalui upaya penyelarasan dengan negara-negara di sekitarnya. Jika negara tersebut adalah negara kecil yang terperangkap di antara dua ambisi negara besar, maka ia akan terdorong untuk mendukung salah satu negara besar tersebut.

LTS merupakan wilayah yang sangat menggiurkan bagi Tiongkok, AS, dan dunia, oleh karena itu, kedua negara ini tidak akan menyerah kepada satu sama lain dengan mudah.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Tinggalkan Bebas-Aktif?

Dari sini Indonesia harus berkaca kembali pada kebijakan luar negerinya. Kebijakan yang tidak hanya mengarah untuk mencari simpati, tetapi juga berupaya memperoleh kapabilitas ekonomi dan militer yang tinggi perlu menjadi pertimbangan agar Indonesia tidak hanya dianggap sebagai negara pendukung, melainkan juga mampu menjaga kepentingannya di LTS tanpa perlu berafiliasi.

Lagi-lagi, Indonesia perlu mengandalkan diplomat-diplomatnya. Saat ini diplomat kita sudah sukses dalam melaksanakan diplomasi vaksin, saatnya bagi diplomat kita juga untuk berkelit mencari posisi yang ideal dalam isu sengketa LTS.

Cepat atau lambat, akan tiba saatnya di mana Indonesia didesak oleh AS dan Tiongkok untuk memilih pihak mana yang akan kita bela jika sengketa LTS tidak kunjung mereda. Untuk saat ini kita hanya bisa berharap jika waktu itu tiba, Indonesia tidak akan pasrah menjadi “boneka perang” AS ataupun Tiongkok. (D74)


Exit mobile version