Sedari awal, proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung memang menyisakan keraguan tersendiri seiring dengan adanya perbedaan pandangan antar menteri. Atas itu pula, sebenarnya tidak mengejutkan apabila proyek yang bekerja sama dengan Tiongkok tersebut dihentikan sementara baru-baru ini.
PinterPolitik.com
Pada konteks tertentu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pantas dipuji atas keberaniannya dalam mengambil risiko dalam ambisi pembangunan infrastruktur yang dicanangkannya.
Secara politik, ambisi tersebut dapat kita pahami sebagai “politik mercusuar” – yang mana itu pernah dilakukan oleh Soekarno ketika “ngotot” menjadi tuan rumah Asian Games 1962 kendati kondisi ekonomi Indonesia yang sebenarnya tidak mumpuni saat itu.
Akan tetapi, seperti yang diungkapkan oleh filsuf Yunani Kuno, Aristoteles, keberanian yang tidak diukur dengan baik justru dapat dikategorikan sebagai suatu kecerobohan. Dengan kata lain, sepertinya harus terdapat “pembisik” yang bijak di Istana agar ambisi pembangunan infrastruktur Presiden Jokowi justru tidak membuahkan kerugian atau memberi dampak negatif tersendiri.
Pasalnya, salah satu proyek infrastruktur yang saat ini tengah dibangun, yakni proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung justru dihentikan sementara karena dinilai proses pengerjaannya tidak menerapkan manajerial proyek yang baik. Imbasnya, berbagai dampak negatif seperti terjadinya kemacetan parah dan banjir di seputar jalan Tol Jakarta-Cikampek menjadi tamparan tersendiri.
Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno bahkan menyebutkan bahwa proyek tersebut sebenarnya sudah bermasalah dan tidak penting sedari awal.
Djoko misalnya menyebutkan bahwa Jakarta-Bandung sudah memiliki Tol Cipali yang menambah kapasitas jalan yang semula hanya ditanggung Tol Cikampek. Dengan kata lain, proyek tersebut sebenarnya tidak memiliki urgensi untuk dibangun.
Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa proyek tersebut dibangun serba tergesa-gesa. Itu misalnya terlihat dengan tidak masuknya proyek tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas).
Lalu, terkait persoalan lingkungan yang menjadi penyebab proyek tersebut dihentikan, boleh jadi itu berakar pada kurang matangnya perencanaan yang dilakukan.
Pasalnya, menurut Djoko, terdapat keganjilan dalam pengurusan analisis dampak lingkungan (Amdal) karena justru dapat terbit hanya dalam waktu satu bulan, padahal proyek lainnya yang bahkan berskala lebih kecil setidaknya memerlukan waktu sampai satu tahun.
Tentu pertanyaannya, mengapa Presiden Jokowi berambisi pada proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung jika terdapat berbagai masalah di awalnya?
Antara Gengsi dan Ekonomi?
Sama halnya dengan Djoko, anggota Komisi V DPR, Epyardi Asda, juga mempertanyakan urgensi dari proyek yang diprediksi membutuhkan investasi hingga US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 77 triliun tersebut.
Apalagi, proyek tersebut juga dinilai menabrak berbagai aturan terkait Rencana Tata Ruang Dan Tata Wilayah (RTRW) dan Amdal, serta menimbang pada tidak baiknya kondisi keuangan negara saat ini.
Peneliti Junior Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gulfino Guevarrato juga menyebutkan bahwa proyek tersebut justru dapat mendatangkan kerugian ekonomi. Pasalnya, dana investasi dari Tiongkok ternyata terdiri dari 60 persen dolar AS dan 40 persennya sisanya dalam bentuk yuan.
Artinya, pinjaman dalam bentuk dolar tersebut akan dikenakan bunga utang sebesar 2 persen pertahun yang sebesar Rp 917,4 miliar. Sementara, pinjaman dalam bentuk Yuan (RMB) akan dikenakan bunga utang sebesar 3,4 persen atau sebesar Rp 1,04 triliun.
Kondisi tersebut tentu menjadi riskan karena masa pembayaran utang adalah 50 tahun. Kemudian, proyek itu sendiri juga tidak memiliki kepastian apakah akan mendatangkan keuntungan ekonomi atau tidak.
Konteks tidak menguntungkannya proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung tersebut juga dapat direfleksikan dari gagalnya pemerintah Malaysia dalam membangun proyek serupa.
Sama halnya dengan Presiden Jokowi yang disebut bangga dengan proyek kereta api cepat, mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak selaku yang menyetujui proyek tersebut juga menjadikan proyek kereta api cepat sebagai suatu kebanggaan.
Akan tetapi, Perdana Menteri Malaysia setelahnya, Mahathir Mohamad justru sempat mengakhiri “gengsi” proyek tersebut karena dinilai sebagai proyek infrastruktur yang tidak penting di tengah usahanya dalam menjaga keuangan negara.
Tidak hanya soal dapat membahayakan keuangan negara, dengan fakta bahwa proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung justru berpotensi menciptakan gejolak sosial karena mengakibatkan banjir dan kemacetan, tentu itu menjadi refleksi tersendiri bagi Presiden Jokowi terkait perencanaan proyek tersebut.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono bahkan menyebut bahwa dengan adanya kejadian seperti banjir, itu menunjukkan proyek tersebut tidak pantas disebut sebagai proyek Rp 60 triliun.
Untuk Memikat Tiongkok?
Tidak hanya soal perencanaan dan urgensi proyek yang dipertanyakan, sedari awal proyek tersebut sebenarnya memiliki tegangan politik tersendiri merujuk pada lebih dipilihnya kerjasama dengan Tiongkok daripada dengan Jepang, kendati negeri Samurai dinilai memiliki perencanaan yang lebih matang dan bunga utang yang lebih rendah (0,1 persen).
Kendati pemerintah Indonesia menyebut alasannya memilih Tiongkok karena tidak terdapat syarat “jaminan dari pemerintah” seperti yang diajukan oleh Jepang, Djoko justru memiliki pandangan lain yang menyebutkan bahwa itu sebenarnya adalah cara untuk mencuri hati Tiongkok.
Itu misalnya terlihat dari banyaknya keterlibatan pekerja Tiongkok dalam pembangunan proyek tersebut.
Senada, Wilmar Salim dan Siwage Dharma Negara dalam tulisannya yang berjudul Why is the High-Speed Rail Project so Important to Indonesia menyebutkan bahwa diberikannya proyek tersebut ke Tiongkok adalah untuk memikat negeri Tirai Bambu agar meningkatkan investasi dan partisipasinya dalam berbagai pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Hafiz Amin Zamzam dalam tulisannya yang berjudul The Political Economy of Jakarta-Bandung High-Speed Rail Project in 2015-2016 juga menyebutkan kesimpulan serupa bahwa keputusan dipilihnya Tiongkok daripada Jepang sebenarnya bukanlah karena alasan bisnis seperti yang diungkapkan, melainkan memiliki dimensi politik tersendiri.
Menariknya, Hafiz menemukan bahwa pemerintah Indonesia melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno telah menandatangi tiga dari tujuh memorandum of understanding (MoU) antara Tiongkok dengan Indonesia di Beijing pada 2015 lalu. Pasalnya, salah satu dari tiga MoU yang ditandangani adalah proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.
Akibatnya, itu membuat pemerintah Indonesia mengalami dilema tersendiri dalam memilih antara Jepang atau Tiongkok dalam proyek tersebut. Kendati proposal Jepang dapat disebut lebih baik, pemerintah Indonesia justru akhirnya harus memilih Tiongkok.
Selain karena adanya MoU tersebut, pemerintah Indonesia juga lebih memilih Tiongkok karena proyek infrastruktur Presiden Jokowi dinilai seayun dengan proyek 21st Century Maritime Silk Road dan One Belt One Road (OBOR) milik Tiongkok. Dengan kata lain, seperti yang disimpulkan oleh Wilmar Salim dan Siwage Dharma Negara, itu dapat menjadi garansi agar Tiongkok akan terlibat dalam proyek infrastruktur lainnya.
Konteks adanya dilema pemerintah Indonesia dalam meloloskan Tiongkok sepertinya dapat pula dilihat dari dipecatnya Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan.
Pasalnya, Anggota Komisi V DPR, Nizar Zahro menduga pemecatan tersebut terjadi karena Jonan menolak untuk memberikan izin kepada PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) selaku penggarap proyek Kereta Api Cepat Jankarta-Bandung karena dinilai belum memenuhi persyaratan atau masih terganjal peraturan yang berlaku.
Akan tetapi, tentunya kebenaran apakah Jonan dipecat karena dinilai menghambat proyek tersebut tentu tidak diketahui secara pasti.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami, diberhentikannya sementara proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung sepertinya bukankah persoalan manajerial proyek semata, melainkan melibatkan persoalan yang kompleks, yang meliputi persoalan ekonomi, lingkungan, hingga politik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.