Site icon PinterPolitik.com

Jokowi di Pusaran Ferdy Sambo

Jokowi di Pusaran Ferdy Sambo

Presiden Joko Widodo (Foto: Humas Setkab/Rahmat)

Presiden Jokowi telah berulang kali memberi pernyataan terbuka untuk menyelesaikan kasus Irjen Ferdy Sambo. Dengan kasus ini terlihat masih berliku, apakah itu menunjukkan lemahnya pengaruh politik Presiden Jokowi? 


PinterPolitik.com

“Ini adalah pertaruhan institusi Polri, pertaruhan marwah Polri,” ungkap Kapolri Listyo Sigit Prabowo pada 18 Agustus 2022. Penegasan Listyo itu persis seperti yang diargumentasikan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Kasus Brigadir J, Titik Kritis Hukum?.

Kasus pembunuhan Brigadir J atau Brigadir Yosua adalah pertaruhan. Ini adalah tipping point atau titik kritis penegakan hukum di Indonesia, khususnya institusi Polri. Jika di internal penegak hukum sendiri keadilan tidak ditegakkan, bagaimana mungkin Polri mampu menghadirkan rasa adil dan aman di tengah masyarakat.

Derasnya atensi terhadap kasus ini terlihat jelas dari pernyataan terbuka Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya sekali, berulang kali Presiden Jokowi meminta kasus ini segera dituntaskan. 

“Saya kan sudah bilang berulang kali sama Kapolri khususnya, saya bilang harus diusut tuntas. Jangan ada yang ditutup-tutupi, buka apa adanya,” ungkap Presiden Jokowi.

Bahkan, menurut penuturan Menko Polhukam Mahfud MD, RI-1 disebut begitu marah terhadap kasus ini. “Pak Pram (Pramono Anung) bilang, wah tegas Pak, enggak perlu, yakin lah saya wong Pak Presiden marah betul dan kenapa lama,” ungkap Mahfud MD pada 19 Agustus 2022.

Pesan ke Listyo?

Bocoran Mahfud MD tersebut dapat dimaknai sebagai doublespeak (pernyataan ganda) Presiden Jokowi. Menurut Eric Schwartzman dalam Why Doublespeak is Dangerous, dengan mengutip ahli bahasa William Lutz, politisi melakukan doublespeak untuk menghindari ketegangan terbuka.

Artinya apa? Bocoran itu sebenarnya adalah teguran halus Presiden Jokowi kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo agar kasus Ferdy Sambo segera diselesaikan. Listyo sendiri dapat dikatakan sebagai president’s man atau “orangnya Presiden”.

Dalam artikel PinterPolitik pada 26 Oktober 2020 yang berjudul Listyo Sigit Pasti Jadi Kapolri?, PinterPolitik telah menebak bahwa Listyo akan ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Kapolri. Listyo yang saat itu menjabat Kepala Bareskrim Polri resmi dilantik sebagai Kapolri pada 27 Januari 2021 – sekitar empat bulan setelah artikel itu ditulis. 

Sedikit mengulang isi artikel tersebut, ada dua alasan kenapa Listyo disebut sebagai president’s man. 

Pertama, Keppres No. 89 tahun 2000 tidak hanya mengubah kedudukan Polri, melainkan juga memberi perubahan besar dalam aspek politik. Dengan Polri ditempatkan langsung di bawah Presiden, jabatan Kapolri disebut diisi oleh mereka yang memiliki kedekatan tersendiri dengan RI-1.

Kedua, mengutip Aris Santoso dalam Jokowi dan Jejaring Perwira Solo, Presiden Jokowi memiliki kecenderungan memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo dalam menentukan posisi di TNI dan Polri.

Melihat rekam jejaknya, Listyo memiliki sejarah kedekatan panjang dengan Presiden Jokowi. Pada 2010-2012, Listyo menjabat sebagai Kapolresta Surakarta. Kala itu, sang RI-1 menjabat Wali Kota Solo periode kedua. 

Pada 2012, ketika Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Listyo ikut pindah ke Ibu Kota Negara dengan menjabat sebagai Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri. Kemudian pada 2014-2016, Listyo ditunjuk sebagai ajudan Presiden. Yang menawarinya adalah Presiden Jokowi sendiri.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) sekaligus anggota Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, Khairul Fahmi, juga menyebutkan bahwa penunjukan Listyo sebagai Kapolri yang melompati empat angkatan dan 12 Komjen Polri, merupakan indikasi sebagai president’s man.  

Lanjut Fahmi, sebagai president’s man, Listyo harus “membayar” kepercayaan Presiden Jokowi. Listyo harus membuktikan diri agar RI-1 tidak merasa salah tunjuk.

Kembali pada bocoran Mahfud MD. Kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo adalah ujian bagi Listyo sebagai president’s man. Jika kasus ini segera tuntas, ini adalah bukti bahwa dirinya merupakan penunjukan yang tepat.

The Power of Jokowi

Selain konteks pembuktian Listyo sebagai president’s man, peran Presiden Jokowi juga sangat menarik untuk diulas. Suka atau tidak, dengan sudah berulang kali memberi pernyataan terbuka, ini merupakan cara untuk mengukur seberapa besar pengaruh politik Presiden Jokowi, khususnya di Kepolisian.

Ada tiga pijakan teoretis yang dapat digunakan untuk mengulas hal tersebut. 

Pertama adalah buku Hakim Konstitusi, Saldi Isra yang berjudul Pergeseran Fungsi Legislasi. Seperti yang disebutkan Menko Polhukam Mahfud MD dalam testimoninya, buku ini memiliki kesimpulan yang menarik karena Saldi Isra justru melihat amendemen memperkuat kedudukan Presiden dalam fungsi legislasi.

Kedua adalah buku Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan yang berjudul Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia.

Kendati buku Djayadi adalah disertasi politik, berbeda dengan buku Saldi Isra yang merupakan disertasi hukum, kedua buku tersebut memiliki argumentasi yang sama. Meskipun tidak sebesar di Orde Baru, Presiden memiliki kekuasaan yang begitu besar. 

Bahkan, dalam konteks legislasi atau pembentukan produk hukum, keduanya melihat posisi Presiden lebih kuat dari DPR (legislatif).

Ketiga adalah pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi yang menyebut partai politik memiliki habituasi pragmatis untuk mengikuti “maunya” Istana. 

Secara rinci, Burhanuddin menjelaskan habituasi itu dalam bukunya yang berjudul Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural. Sama seperti dua buku sebelumnya, buku Burhanuddin juga berasal dari penelitian disertasinya.

Yang menarik, dalam konteks pemerintahan Jokowi, Burhanuddin mempopulerkan istilah khusus, yakni “Jokowi Centrality and One Party Rule”.

Diagram di atas menunjukkan irisan tiga pijakan teoretis yang digunakan. Gabungan dari besarnya kekuasaan politik Presiden di proses legislasi, mengkondisikan koalisi partai politik pendukung, dan fenomena “Jokowi centrality” menunjukkan pengaruh politik Presiden Jokowi sangatlah besar.

Namun, yang tentunya menjadi sinisme berbagai pihak, bukankah itu di ranah teoretis? Apakah Presiden Jokowi mampu mengejawantahkan potensi pengaruh politik yang besar itu?  

Pembuktian Jokowi?

Dalam melihat kasus Ferdy Sambo, seperti pernyataan Mahfud MD, kasus ini memiliki kerumitan karena melibatkan psiko-hierarki dan psiko-politis. Bahkan terbaru, beredar diagram “Kerajaan Ferdy Sambo” yang dikaitkan dengan konsorsium 303 (Pasal 303 KUHP tentang Perjudian).

Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, diagram itu kemungkinan disebarkan oleh internal Polri. Dugaan itu selaras dengan pernyataan mendiang Presidium IPW, Neta S Pane yang menyebut terdapat geng-geng di internal Polri.

Seolah mengafirmasi, pada 7 Agustus 2022, Mahfud MD juga mengutip pengamat yang menyebut terdapat sub-Mabes di Mabes Polri. Terbaru, melihat besarnya pengaruh Ferdy Sambo, Mahfud MD sampai menyebutnya seperti jenderal bintang lima. “Kadiv Propam itu hanya bintang dua, tapi itu bisa bintang lima,” ungkapnya pada 19 Agustus 2022.

Yang menarik adalah, ada kemungkinan bahwa luasnya pengaruh Ferdy Sambo memiliki relasi dengan langkah politik Presiden Jokowi. 

Menurut Made Supriatma dalam tulisannya The Indonesian police’s dual function under Jokowi pada 6 Oktober 2020, Presiden Jokowi telah membangun hubungan dekat yang unik dengan Polri karena tidak memiliki ikatan yang kuat dengan militer. 

Menurut Evan A. Laksmana dalam Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, pada periode pertamanya, Presiden Jokowi “insecure” karena tidak memiliki pengalaman dalam mengelola hubungan dengan militer. Itu membuatnya mengandalkan para purnawirawan TNI berpengaruh, khususnya Luhut Binsar Panjaitan.

Menurut Made Supriatma, belum pernah Polri memainkan peran penting dalam politik dan pemerintahan Indonesia. Langkah politik Presiden Jokowi yang disebut Supriatma sebagai “pelukan”, dilihat memperkuat posisi politik Polri. 

Lanjutnya, Polri sekarang tidak lagi sebagai kekuatan keamanan, melainkan juga sebagai kekuatan politik. Polri aktif membangun kasus hukum terhadap lawan pemerintah, membungkam kritik, dan menekan mereka yang mengancam kekuasaan Presiden.

Artinya apa? Jika analisis Supriatma tepat, bukan tidak mungkin kasus Ferdy Sambo adalah buah dari langkah politik Presiden Jokowi. Oleh karenanya, ini memberikan kita dua pesan. 

Pertama, ini merupakan PR besar Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai president’s man. Terlebih lagi, Presiden Jokowi sudah berulang kali memberi arahan terbuka, hingga disebut marah besar atas kasus ini.

Kedua, ini menjadi pembuktian seberapa besar pengaruh politik Presiden Jokowi. Kembali mengutip Supriatma, langkah politik mantan Wali Kota Solo itu merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi menguatkan posisi Presiden di Polri. Namun, di sisi lain menguatkan pengaruh politik Polri secara nasional.

Yang menjadi masalah adalah, ada kemungkinan dua sisi mata pisau itu saling mengunci satu sama lain (interlocking mechanism). Jika Presiden Jokowi terlalu menekan Polri di kasus ini, bukan tidak mungkin itu akan mengendurkan pengaruh politiknya. Apalagi, masa jabatan sang RI-1 kurang dari dua tahun lagi.

Sekarang pertanyaannya, pengaruh politik mana yang lebih besar? Apakah Presiden Jokowi terhadap Polri, atau Polri terhadap perpolitikan nasional?

Tuntas tidaknya kasus Ferdy Sambo sampai ke akar-akarnya akan menjadi jawaban atas pertanyaan itu. Jika kasus ini berakhir dengan hukuman tidak maksimal dan tidak menjerat aktor-aktor besar yang diduga terlibat, maka pengaruh politik Polri yang lebih besar. 

Kita lihat saja, apakah Presiden Jokowi akan menjadi pemenang atau tidak di pusaran kasus Ferdy Sambo. (R53)

Exit mobile version