Aksi kartu kuning kepada Jokowi langsung dikaitkan dengan tumbuhnya PKS di lingkungan kampus UI. Benarkah ada kaitannya?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]riit! Peluit ditiupkan tanda terjadinya pelanggaran. Kartu kuning pun segera dicabut dan diacungkan kepada sang pelaku. “Pelanggaran” ternyata dilakukan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi). Pengadil lapangan di arena tersebut adalah Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Zaadit Taqwa. Zaadit memberikan kartu kuning sebagai bentuk protes dan wujud kekecewaannya pada Sang Presiden.
Seketika jagad media sosial dibuat gempar. Beberapa pihak memuji aksi heroik sang mahasiswa. Aksi tersebut dianggap sebagai cara unik dalam melancarkan kritik. Meski begitu, ada pula yang mengecam langkah mahasiswa tersebut.
Beberapa orang mengkritik karena menganggap cara yang dilakukan Zaadit tidak sopan dilakukan kepada orang nomor satu Indonesia. Beberapa yang lain bahkan ada menyerang dirinya secara pribadi. Namun ada satu hal yang paling menarik. Ketua BEM UI ini juga dikaitkan dengan salah satu partai oposisi: PKS.
Bagi kalangan aktivis kampus UI, fenomena tersebut sudah bukan rahasia lagi. Afiliasi PKS dengan BEM bahkan disebut-sebut tidak hanya terjadi di UI semata. Banyak kampus negeri lainnya yang disebut-sebut memang mesra dengan partai berlogo padi dan bulan sabit tersebut. Bila faktanya demikian, mengapa Jokowi “rela” pergi ke “kandang” PKS yang jelas-jelas berseberangan dengan Pemerintah?
Membangun Kampus Sebagai Kandang
Mahasiswa merupakan kelompok yang kerap dianggap potensial oleh masyarakat. Gejolak darah muda berpadu dengan wawasan pengetahuan membuat banyak orang berharap banyak pada kalangan kampus. Tidak terkecuali juga dari partai politik.
Dalam buku Islamising Indonesia karya Yon Machmudi, di tahun 1970 hingga 1980-an, gerakan-gerakan Islam bawah tanah tumbuh subur di kampus-kampus ternama di negeri ini. Mahasiswa rupanya cukup tertarik dengan gerakan-gerakan semacam ini. Salah satu gerakan yang cukup ternama adalah Jamaah Tarbiyah.
Jamaah Tarbiyah ini kemudian menjadi salah satu gerakan yang tergolong sukses. Dibanding gerakan Islam lainnya yang cenderung konfrontatif, Tarbiyah justru mengambil langkah berbeda.
Tarbiyah menyadari bahwa perubahan tidak dapat dilakukan secara revolusioner. Mereka cenderung mengambil jalan evolusi yang bertahap melalui lingkaran pengajian (halaqah/liqa). Dari halaqah inilah Tarbiyah berhasil merebut hati sejumlah mahasiswa.
Masjid-masjid kampus menjadi kunci dari gerakan ini dalam menarik perhatian mahasiswa. Apalagi pada mahasiswa yang memiliki minat tinggi dalam mendapatkan asupan rohani. Kegiatan halaqah ini mampu memenuhi dahaga tersebut. Menurut Burhanuddin Muhtadi dalam Dilema PKS, kebutuhan mahasiswa akan masjid membuatnya tidak terbatas sebagai fasilitas keagamaan saja, tetapi juga sarana tumbuhnya aksi kolektif.
Tumbuhnya Tarbiyah di kampus-kampus, amat terbantu oleh larangan masuknya aktivitas politik di perguruan tinggi. Menteri Pendidikan Daoed Joesoef di Era Orde Baru memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK) untuk mendepolitisasi perguruan tinggi.
Gerakan Tarbiyah berhasil memanfaatkan ruang kosong di lingkungan mahasiswa yang diciptakan Orde Baru. Gerakan ini lolos dari larangan aktivitas politik dan agama yang sebelumnya diwajibkan mendapat persetujuan dari kampus terlebih dahulu.
Dalam aktivitasnya, Tarbiyah memang bukan termasuk gerakan politik. Mereka juga tidak dipandang sebagai gerakan agama. Tarbiyah cenderung melakukan gerakan secara sembunyi-sembunyi melalui ikatan antarindividu yang kuat. Mereka juga tidak terlibat dalam protes besar pada pemerintah seperti gerakan Islam lainnya. Kondisi ini menguntungkan, sehingga mereka dapat terus tumbuh dan menyebar di kalangan mahasiswa.
Di penghujung Orde Baru, Tarbiyah membuat keputusan yang berani. Merespons reformasi dan terbukanya keran politik, mereka akhirnya memutuskan untuk bertransformasi menjadi partai politik. Mereka mendeklarasikan diri sebagai Partai Keadilan (PK) sebelum akhirnya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Muhtadi, menjelang didirikannya PK, semua kader Tarbiyah bertanggungjawab melakukan pelatihan dan rekrutmen partai. Di masa itu pula, semua kader Tarbiyah otomatis menjadi kader PK. Ada ungkapan al-harakah hiya al-hizb wa alhizb huwa al-harakah atau gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan.
Meski bertransformasi menjadi parpol, jaringan dan jamaah mereka di kampus nyatanya tidak ditinggalkan. Alih-alih berkurang, gerakan ini justru kian kuat mengakar di berbagai kampus kenamaan negeri ini.
Ada organ-organ formal kemahasiswaan yang kerap menjadi sarang bagi gerakan mereka. Salah satunya, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yaitu lembaga yang diakui dan didanai rektorat. Jejaring mereka yang kuat di masjid, membuat LDK dapat dengan mudah direbut. Melalui LDK inilah, mereka merekrut anggota-anggota baru.
Saat ini, mereka memang tidak menggunakan nama PKS untuk menancapkan kukunya. Cukup hanya memanfaatkan jejaring Tarbiyah yang telah ada saja. Keberadaan gerakan ini tentu sangat membantu, terutama karena adanya aturan yang melarang parpol berkegiatan di dalam kampus. Melalui Tarbiyah, kampus seperti UI menjadi kokoh sebagai “kandang berkembang biak” bagi PKS.
Mesranya BEM dan PKS
Keterkaitan aktivis mahasiswa dalam BEM dengan PKS dapat terlihat melalui beberapa tanda. Meski jarang yang menyatakan terbuka, rasanya publik sulit untuk tidak menilai PKS dan BEM memiliki kedekatan khusus.
Di lingkungan aktivis mahasiswa, sudah jamak bahwa kader Tarbiyah di dalam kampus akan dimajukan untuk merebut kursi Ketua atau Presiden BEM. Jejaring yang sudah mapan membuat kader mereka dapat melenggang dengan mudah menjadi orang nomor satu di organisasi kemahasiswaan. Inilah sebabnya di kampus-kampus seperti UI, Unpad, atau IPB, Ketua BEM-nya kerap dicap kader PKS.
Di UI misalnya, terlihat pola bahwa ada beberapa aktivis kampus yang akhirnya menjadi politisi partai yang kini dinakhodai Sohibul Iman tersebut. Tidak tanggung-tanggung, beberapa Ketua BEM perguruan tinggi ternama ini memilih PKS sebagai kapal mereka dalam mengarungi lautan politik.
#NewProfilePic pic.twitter.com/z92fcAKTuc
— mohamad sohibul iman (@msi_sohibuliman) February 3, 2018
Ada beberapa nama Ketua BEM UI yang akhirnya berlabuh di partai tersebut. Zulkieflimansyah adalah salah satu nama kader PKS yang pernah menjadi Ketua BEM UI. Ada pula nama Rama Pratama yang sempat menjadi anggota DPR dari PKS. Terdapat pula nama Selamat Nurdin yang pernah menjadi Ketua DPW PKS DKI Jakarta.
Dalam kasus Zaadit, ia mengaku bukan merupakan kader PKS. Meski begitu, ia mengakui kalau dirinya rajin mengikuti pengajian atau liqa. Sebagaimana disebut sebelumnya, liqa di kampus-kampus adalah metode rekrutmen dari gerakan Tarbiyah.
Berdasarkan pola rekrutmen ini, rasanya publik sulit percaya bahwa Zaadit tidak terkait dengan PKS. Jika memang rajin hadir mengikuti liqa, maka tentu ia akan terwarnai oleh gerakan Tarbiyah yang terafiliasi dengan PKS. Apalagi ada ungkapan gerakan adalah partai dan partai adalah gerakan yang digunakan oleh Tarbiyah dan PKS. Jika sudah terekrut dalam lingkaran Tarbiyah, maka otomatis terekrut pula –atau setidaknya terideologisasi- oleh PKS.
Jika ditarik ke fenomena nasional, afiliasi PKS bisa saja tidak terbatas dengan BEM UI semata. Kuat dugaan bahwa PKS juga dekat dengan BEM Seluruh Indonesia (BEM SI). Jejaring Tarbiyah disinyalir telah kuat menyebar di berbagai kampus.
Jejaring PKS di BEM SI disinyalir tumbuh melalui peran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Menurut Muhtadi, KAMMI adalah tanda gerakan Tarbiyah memperluas jejaring di seluruh Indonesia. Di beberapa kampus, Ketua BEM-nya memang terafiliasi dengan KAMMI. Mereka kerap menghimpun diri dalam bendera BEM SI di tingkat nasional.
Salah satu fenomena menarik adalah aksi BEM SI yang pernah melakukan aksi di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi ini mereka lakukan di waktu yang berdekatan dengan saat Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq diciduk oleh KPK pada tahun 2013.
Dalam aksinya tersebut, BEM SI mengritik KPK yang lambat mengungkap skandal korupsi Century. Di dunia aktivisme, mengritik apalagi sampai melakukan aksi terhadap KPK amat jarang dilakukan. Para aktivis justru lebih sering memberikan dukungan pada lembaga anti-rasuah tersebut.
Walaupun setiap awal tahunnya BEM Se-UI ini bikin semacem Rembuk buat nentuin isu-isu apa aja yang mau dibawa selama setahun, gue bisa ngomong kalo setiap isu-isu yang ditawarkan BEM UI itu udah dapet acc dari PKS.
— Saifulloh Ramdani (@Ipul_Ramdani) February 2, 2018
Secara kebetulan, beberapa hari sebelum aksi BEM SI tersebut, PKS juga melakukan kritik terhadap KPK. PKS menyebut bahwa KPK terlalu terburu-buru menetapkan Luthfi sebagai tersangka. Di saat bersamaan, PKS juga menilai KPK terlalu lambat dalam mengungkap skandal Century.
Kritik PKS dan BEM SI terhadap KPK tergolong amat mirip dan nyaris identik. Kedekatan waktu dan substansi kritik membuat publik menilai bahwa BEM SI memang terkait dengan PKS.
Jokowi Terlambat
Jika dilihat, belakangan Jokowi tengah gencar pergi ke berbagai perguruan tinggi ternama. Orang nomor satu negeri ini tersebut cukup rajin menghadiri acara dies natalis di berbagai kampus.
Beberapa kalangan memaknai bahwa langkah Jokowi ini menyimpan simbol tersendiri. Kampus-kampus yang ia kunjungi seperti UI, Unpad, dan IPB dikenal sebagai kandang PKS atau Tarbiyah. Bisa diartikan, kunjungan Jokowi ini merupakan langkahnya dalam upaya menarik simpati dari kandang PKS.
Makanya, sterilisasi kampus dari partai politik itu sesungguhnya ga guna. Karena orang juga tau siapa di belakang siapa. Mending jangan dilarang dan dibikin terbuka aja.
— Pangeran ⚜ (@pangeransiahaan) February 2, 2018
Jika memang itu yang dilakukan Jokowi, maka Jokowi dan partai-partai di sekelilingnya tergolong terlambat. Kampus-kampus sudah terlanjur menjadi “kandang” bagi partai pemilik 40 kursi DPR tersebut.
Jokowi dan partai-partai lain nampak masih enggan atau kesulitan masuk ke kampus. Ada beberapa faktor yang memicu hal ini. Salah satunya adalah SK Dirjen Dikti tahun 2002 tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus atau Partai Politik dalam Kehidupan Kampus.
Apabila Jokowi atau kelompok mana pun ingin merebut simpati dari kampus-kampus yang telah menjadi kandang PKS, maka tidak cukup hanya dengan berkunjung secara seremonial saja. Larangan aktivitas politik di dalam kampus perlu diatur ulang atau bahkan dicabut.
Mengatur ulang aktivitas politik di dalam kampus, dapat bermanfaat agar ada tandingan bagi PKS di internal kampus. Gerakan lain bisa mulai membangun jejaring di dalam kampus dan menjadi kompetitor bagi PKS. PKS melalui gerakan Tarbiyah-nya sudah terlalu lama mengambil untung dari depolitisasi kampus tersebut.
Bila berkaca pada kebijakan kampus di luar negeri, rekrutmen anggota partai politik di universitas merupakan hal yang biasa. Jokowi bisa saja meniru langkah ini. Mengatur ulang peraturan aktivitas politik di kampus dapat membantu Jokowi atau parpol manapun untuk merebut hati para aktivis kampus dan menghindari kartu kuning lainnya. (H33)