Pasca pendirian AUKUS, Tiongkok dan Korea Utara (Korut) menunjukkan kegelisahannya. Korut secara terbuka malah menyebut AUKUS sebagai pemicu perlombaan senjata nuklir. Bagaimana seharusnya pemerintahan Jokowi menanggapi dinamika ini?
Pada tanggal 15 September lalu, dunia dihebohkan dengan pengumuman pembentukan pakta keamanan trilateral antara Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). Hal ini menjadi kejutan besar lantaran kawasan Indo-Pasifik saat ini ibarat seperti sebuah balon yang bisa pecah kapan saja akibat adanya perseteruan kepentingan antara AS dan Tiongkok.
Menurut Perdana Menteri Australia Scott Morrison, alasan didirikannya aliansi ini adalah untuk menjawab tantangan keamanan dan kestabilan yang semakin dibutuhkan di kawasan Indo-Pasifik. Kerja sama yang dijalin akan meliputi kiriman persenjataan kapal selam nuklir beserta bahan bakar uranium dari AS, dan pengembangan kapabilitas siber.
Selain itu, akan ada penambahan pasukan dari AS. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, tanpa memberikan angka pasti, menegaskan bahwa Washington akan memperluas aksesnya di wilayah Pasifik Barat.
Pendirian AUKUS tentu menuai banyak respons negatif dari beberapa negara di dunia. Bagaimana tidak, bukannya mendinginkan perselisihan antara AS dan Tiongkok, AUKUS justru dianggap malah akan menjadi pemicu eskalasi konflik di Indo-Pasifik. Setidaknya itulah yang diyakini oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok (Kemlu Tiongkok) melalui juru bicara Zhao Lijian.
Zhao menyebutkan ekspor tenaga kapal selam nuklir yang diatur dalam AUKUS oleh AS dan Inggris ke Australia membuktikan mereka berani menggunakan ekspor nuklir sebagai alat permainan geopolitik dan mengadopsi standar ganda, yang sangat tidak bertanggung jawab.
Baca Juga: Tak Mungkin Jokowi Lepas Tiongkok?
Sebuah artikel opini di situs berita Tiongkok, The Global Times bahkan menyebut Australia sebagai “anjing setia” milik AS yang digunakan sebagai contoh jika suatu negara berafiliasi ke AS. Turuti keinginan negeri Paman Sam dan mereka bahkan akan memberimu kapal selam nuklir, katanya.
Respons juga dilontarkan oleh Korea Utara (Korut) melalui kantor berita negerinya, Korean Central News Agency (KCNA) yang mengutip pernyataan dari Kemlu Korut. Disebutkan pendirian AUKUS adalah tindakan yang sangat tidak diinginkan dan berbahaya. Ini akan mengganggu keseimbangan strategis di kawasan Asia-Pasifik dan memicu rantai perlombaan senjata nuklir.
Selanjutnya, Korut menyentil pemerintahan Joe Biden dengan mengatakan kesepakatan yang dibangun AS dengan Australia menjadi bukti bahwa Biden rela mengikis norma dan ketertiban internasional yang diterima secara universal, dan secara serius mengancam perdamaian dan stabilitas dunia. Korut memastikan akan melakukan retaliasi jika AUKUS mengancam keamanan negara mereka.
Yang menjadi keprihatinan terbesar adalah Indonesia sebagai negara Asia Tenggara berada tepat di tengah perselisihan negara-negara dengan kapabilitas nuklir. Apakah pemerintahan Jokowi harus bersiap akan adanya perang nuklir?
Perang Nuklir, Mungkinkah?
Sebelumnya, kita perlu memahami mengapa suatu negara termotivasi untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Menurut tulisan Scott D. Sagan yang berjudul Why Do States Build Nuclear Weapons? Three Models in Search of a Bomb, ada beberapa alasan yang mendorong suatu negara menjalankan program nuklir. Alasan yang paling jelas tentunya adalah untuk mengimbangi kekuatan dari negara yang dapat menimbulkan ancaman.
Persenjataan nuklir adalah pilihan yang sangat menggoda untuk sebuah negara dengan kapabilitas militer yang lebih lemah, karena persenjataan nuklir lebih murah daripada upaya menyeimbangkan jumlah persenjataan konvensional atau personel militer. Nuklir memberikan suatu negara jaminan keamanan yang instan, menurut Sagan.
Di sisi lain, analis kebijakan pertahanan, Frank Barnaby dalam bukunya How to Build a Nuclear Bomb: And Other Weapons of Mass Destruction menyebutkan negara yang memiliki kapabilitas nuklir dapat menyebabkan domino effect ke wilayah sekitarnya. Sesuai dengan nama istilahnya, fenomena ini adalah keadaan di mana ada negara lain yang ikut mengembangkan nuklir hanya dengan alasan untuk bersanding dengan tetangganya. Contohnya adalah motivasi pengembangan nuklir Prancis yang bisa dianggap dipicu oleh Inggris.
Meskipun sangat mungkin bagi negara manapun untuk mengembangkan persenjataan nuklir, penulis berpandangan bahwa kita tidak perlu khawatir akan terjadi perpecahan perang nuklir, karena ada sebuah doktrin keamanan yang disebut Mutually Assured Destruction (MAD). Doktrin ini membawa paham, negara dengan kapabilitas nuklir akan cenderung menahan dirinya dari melakukan konfrontasi langsung, karena mereka tahu jika nuklir diluncurkan, maka tidak hanya musuhnya yang akan hancur, tetapi dampaknya akan berskala global.
MAD awalnya secara resmi diimplementasikan oleh angkatan bersenjata AS pada awal tahun 1960 oleh Menteri Pertahanan (Menhan) AS Robert McNamara. Karena doktrin ini, AS pada saat itu menggancarkan patroli maritim dengan kapal selam misil balistik sebagai jaga-jaga melakukan retaliasi jika memang Soviet pada saat itu nekat menembakkan nuklir.
Selanjutnya, tulisan direktur Russia Matters Project di Harvard Kennedy School’s Belfer Center for Science and International Affairs yang berjudul How High Is Risk of Nuclear War Between Russia and US? juga mengantarkan pandangan yang menarik.
Dijelaskan bahwa alasan mengapa rivalitas AS dan Soviet dulu begitu menegangkan adalah karena adanya kemungkinan miskalkulasi kebijakan keamanan di tengah sengitnya persaingan. Berdasarkan tulisan ini, ada pendapat yang berpandangan situasi tersebut tidak akan terjadi di masa sekarang karena saat ini interaksi diplomat dan petinggi negara sangat leluasa. Jika memang ada kecenderungan untuk miskalkulasi, mereka akan selalu bisa melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
Baca Juga: Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?
Lantas, jika perang nuklir sangat minim kemungkinannya untuk terjadi, apa yang perlu dikhawatirkan dari ancaman-ancaman perang yang dilontarkan Australia, Tiongkok, dan Korut?
Probabilitasnya sangat banyak, namun yang paling realistis untuk terjadi adalah peperangan teknologi siber. Nir Kshetri dalam tulisannya yang berjudul Cyber Security and International Relations: The US Engagement with China and Russia mengatakan bahwa keamanan negara tidak hanya di darat, laut, udara dan militer, tetapi juga di dunia siber.
Lebih lanjut, Kshetri mengatakan hubungan bilateral antar negara saat ini sangat terpengaruh oleh aktivitas yang dilakukan aktor-aktor tersebut di ranah maya. Salah satu contohnya adalah bentuk cyber espionage ataupun pencurian data, serta upaya melumpuhkan sistem informasi negara oleh negara lain untuk mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi.
Perspektif ini sangat mungkin terjadi mengingat AUKUS tidak hanya mengenai penggunaan kapal selam nuklir, tapi juga kerja sama militer dalam bidang artificial intelligence (AI) dan perangkat siber lainnya.
Kemudian, selain adanya ancaman riil dari perang siber, kita tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa banyak kapal bersenjata yang lalu lalang di wilayah Laut Tiongkok Selatan (LTS). Perang nuklir mungkin memang tidak akan terjadi, akan tetapi adu taring kekuatan bersenjata maritim antara kubu Timur dan kubu Barat masih bakal terjadi.
Dari hal ini, Indonesia bisa berperan besar.
Yang Perlu Dilakukan Jokowi
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Teuku Rezasyah menyebutkan momentum saat ini adalah yang paling tepat untuk meyakinkan semua pihak bahwa sikap bebas aktif keputusan yang paling benar. Ia lanjut mengatakan Indonesia juga harus memaksakan kepada semua pihak untuk menghargai hukum internasional UNCLOS 1982.
Namun tidak hanya mengandalkan tutur kata diplomasi Indonesia, Teuku juga menyarankan Indonesia untuk membangun tenaganya. Yang dimaksudnya adalah upaya mempersenjatai negara melalui perjanjian dengan negara yang netral, seperti Rusia contohnya. Dia mengatakan Jokowi harus mendatangkan Sukhoi-35 dari Rusia agar Indonesia tidak dianggap lemah oleh pihak Tiongkok maupun AS.
Pengamat militer Connie Bakrie menyebutkan hasil penandatanganan Menhan RI, Prabowo Subianto mengenai pembelian dua kapal frigat Arrowhead 140 dari Inggris bisa sangat berguna untuk menanggapi panasnya isu LTS. Connie mengatakan untuk penjagaan wilayah perbatasan di sekitar Laut Natuna, Prabowo setidaknya butuh menugaskan tiga frigat untuk berjaga.
Connie juga mengkritik persiapan Indonesia dalam mengantisipasi adanya eskalasi bersenjata di LTS. Menurutnya, seharusnya pemerintahan Jokowi sudah langsung mempersiapkan keperluan keamanan secara riil di sekitar Laut Natuna sejak awal LTS memanas. Selanjutnya, Connie menegaskan Indonesia tidak bisa hanya jadi penonton di permasalahan ini, karena posisi Indonesia yang sangat menguntungkan secara geostrategis dan geopolitis dapat menjadi faktor penentu.
Merupakan sikap yang tepat bila Indonesia berusaha mengimbangi kekuatan militer yang akan saling adu sikut di LTS, bukan sebagai inisiatif berperang, tetapi murni untuk menjaga kedaulatan negara.
Baca Juga: Retno Salah Pahami Bebas-Aktif?
Pada intinya, pendirian AUKUS tidak lain juga bertindak sebagai sentilan kuat bagi Indonesia. Terlepas dari ke arah mana politik luar negeri Indonesia akan diarahkan dalam menanggapi AUKUS, Indonesia harus membangun rasa kepercayaan diri yang tinggi dengan tidak hanya berniat menjadi penonton.
Tentunya, selain penguatan kekuatan maritim, hal yang tidak boleh luput juga adalah penguatan teknologi siber, karena terima atau tidak, spionase militer saat ini tidak lagi mengandalkan agen layaknya James Bond, tetapi dengan menggunakan AI dan perangkat siber canggih lainnya. (D74)