Site icon PinterPolitik.com

Jokowi di Golkar, Banteng Bisa Apa?

Jokowi di Golkar, Banteng Bisa Apa?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hadir pada pembukaan Munaslub Partai Golkar, Senin 18 Desember 2017. (Foto: Detikcom)

Kehadiran Megawati Soekarnoputri di Munaslub Golkar seolah menyiratkan bahwa dukungan Golkar untuk Jokowi ‘menyandera’ posisi Ketua Umum PDIP tersebut.


Pinterpolitik.com

“Politics is the art of the possible, the attainable – the art of the next best.” – Otto von Bismarck (1815-1898), kanselir pertama Imperium Jerman

[dropcap]K[/dropcap]ehadiran Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, Senin 18 Desember 2017 memang terlihat tidak istimewa. Sebagai bagian dari etika politik, kehadiran Megawati memang bisa dianggap sebagai kunjungan balasan biasa dalam acara-acara besar partai politik.

Namun, hadirnya Megawati di tengah riuh rendahnya dukungan Golkar terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi catatan pinggir yang menarik untuk dijadikan bahan analisis para pengamat politik nasional. Pasalnya, kontras dengan Golkar, PDIP bahkan belum sedikitpun menyinggung apakah akan mendukung Jokowi lagi di Pilpres 2019.

Dalam konteks politik nasional, Golkar dan PDIP adalah dua kekuatan politik utama yang akan sangat menentukan perjalanan politik nasional beberapa tahun ke depan. Apalagi, di tengah kabar terkait hubungan yang merenggang antara PDIP dengan Jokowi, Golkar akan menjadi kekuatan utama sang presiden untuk lepas dari ‘cengkraman kandang banteng’.

Selain itu, momen kehadiran Jokowi dalam acara yang menandai pergantian di pucuk pimpinan partai beringin, seolah memperlihatkan bahwa pria kelahiran Solo tersebut ‘nyaman’ dengan Golkar – yang bisa diartikan dalam hal sejalannya kepentingan, juga dalam hal hubungan politik personal dengan elit-elit partai itu.

Bahkan sikap Jokowi saat acara – misalnya tetap berdiri ketika Hymne Golkar dinyanyikan, pujiannya terhadap Golkar sebagai partai kader dan partai kerja (karya), hingga berbagai guyonannya terhadap petinggi partai tersebut – menggambarkan hubungan yang cair dan positif antara sang presiden dengan partai beringin itu.

Dalam pidatonya, Jokowi juga menyebut betapa Golkar memiliki posisi yang sangat penting terhadap percaturan politik nasional. Jika terjadi kisruh di tubuh Golkar, maka bisa dipastikan akan mengganggu situasi politik secara nasional. Pernyataan Jokowi ini memang terdengar biasa saja, namun memiliki makna bahwa Golkar sangat penting bagi posisi politik sang presiden.

Publik tentu bertanya-tanya, apakah hubungan Jokowi dan Golkar ini positif secara politik bagi keduanya? Lalu, bagaimana dengan nasib PDIP di 2019?

Jokowi dan Logika ‘Partai(nya) Pemerintah’

Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto dalam sambutannya menyebut bahwa partai kuning yang dipimpinnya akan kembali mendukung Jokowi di 2019. Hal ini tentu membenarkan selentingan bahwa siapa pun ketuanya, Golkar adalah Jokowi. Setya Novanto (Setnov) atau Hartarto, Golkar tetap Jokowi. Namun, apakah ini menguntungkan untuk Golkar?

Bukan tanpa alasan dua hari yang lalu The Jakarta Post menurunkan editorial tentang hal ini dan menyebutkan bahwa  mengganti Setnov dari pucuk pimpinan partai belum tentu menyelamatkan Golkar. Tulisan tersebut kemudian dikutip oleh media Singapura The Straits Times dengan tajuk Replacing Setya May Not Save Golkar.  

Argumentasi yang dibangun adalah bahwa persoalan utama di Golkar bukanlah Setnov, tetapi di lingkaran elit dan kepengurusan partai beringin itu sendiri. Golkar belakangan disebut terlalu permisif terhadap perilaku koruptif, sehingga citra partai tersebut terus tergerus. Pada saat yang sama, politik di elit internal juga sangat kuat dan faksi yang melindungi Setnov ikut memperburuk citra partai.

Jika Airlangga mampu memilih orang-orang yang bersih dalam kepengurusan yang baru – kalau itu adalah hasil dari Munaslub – maka citra Golkar sangat mungkin bisa diselamatkan, walaupun hal tersebut tetap sulit diwujudkan. Artinya, analisis The Jakarta Post yang pesimistis terhadap perbaikan citra Golkar pasca Setnov bisa dibenarkan.

Sekalipun ada pesimisme terhadap perbaikan kondisi Golkar, namun sosok Airlangga justru menjadi optimisme bagi Jokowi. Posisi Airlangga yang mendukung Jokowi sangat positif bagi posisi politik sang presiden. Airlangga adalah menteri di kabinet Jokowi dan ia mendapatkan dukungan dari mayoritas DPD I Golkar seluruh Indonesia.

Berkaitan dengan hal itu, Jokowi sepertinya paham betul bagaimana besarnya kekuatan DPD I Golkar terhadap kebijakan partai. Dalam sambutan pembukaan misalnya, Jokowi menyapa ketua-ketua DPD I Golkar terlebih dahulu sebelum para elit di dewan kehormatan, pakar, pertimbangan, dan lain-lain.

Ini hal yang sederhana, namun punya makna besar untuk memastikan DPD I Golkar tetap mendukung Airlangga – secara tidak langsung mendukung Jokowi. Apalagi, perwakilan DPD I Golkar juga sempat menemui Jokowi dan merekalah yang memberi rekomendasi nama Airlangga sebagai pengganti Setnov.

Di samping itu, sikap Airlangga yang positif akan mendukung Jokowi di 2019 adalah jalan masuk yang kuat bagi Jokowi. Artinya, Golkar sudah ada di genggaman sang presiden. Tidak peduli dengan citra partai, elektabilitas, dan peluang partai Golkar di 2018 dan 2019 karena bukan itu yang menentukan pencalonan presiden. Loh, kok bisa?

Tentu saja bisa. Pasalnya boarding pass bagi Jokowi jika ia ingin maju lagi di 2019 adalah presidential threshold 20 persen di parlemen yang dihitung berdasarkan hasil pemilu 2014 – bukan berdasarkan elektabilitas hasil survei saat ini. Artinya, secara kasar, jika citra dan elektabilitas Golkar hancur saat ini pun tak masalah bagi Jokowi, selama partai tersebut mendukung pencalonannya.

Hal ini masuk akal. Dengan 91 kursi di parlemen (16,25 persen), Golkar adalah jaminan Jokowi mendapatkan jalur mulus di 2019. Jika ditambah dengan Partai Nasdem yang menguasai 35 kursi (6,25 persen) – yang juga sudah mendeklarasikan dukungannya – maka Jokowi sudah menjamin satu kolom di surat suara pilpres 2019 akan diisi oleh fotonya karena jumlah dukungan dua partai ini saja sudah lebih dari 20 persen kursi parlemen. Ini berarti Jokowi bahkan tak lagi butuh dukungan ‘si banteng’ PDIP.

Presiden Jokowi menerima plakat dukungan dari Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh. (Foto: Merdeka)

Sampai di titik ini, Jokowi mungkin akan menertawakan Yusril Ihza Mahendra yang pernah menyebut sang presiden tak paham permainan partai-partai pendukung lewat presidential threshold 20 persen. Dalam hubungan yang saling menguntungkan, Jokowi bisa membantu Golkar memperbaiki citra dan mendongkrak jumlah pemilih, sementara Golkar sebagai ‘partainya pemerintah’ akan menjadi tiket Jokowi untuk 2019.

Brilliant strategy from a man with no party, right? Siapa yang sekarang tak paham, Pak Yusril?

Banteng Bisa Apa?

Kehadiran Megawati Soekarnoputri di Munaslub Golkar juga bukan tanpa alasan. Megawati sepertinya tetap memperhitungkan posisi politik Jokowi untuk 2019. Ya, tidak ada tokoh nasional lain yang elektabilitasnya setinggi Jokowi.

Jika ingin menjadi partai berkuasa lagi, maka Jokowi adalah pilihan logis bagi Megawati dan PDIP di 2019. Artinya, munaslub Golkar dan posisi Airlangga sebagai Ketua Umum yang mendukung Jokowi tentu saja ‘menyandera’ Megawati. PDIP tidak bisa lagi seenaknya menekan Jokowi karena dukungan Golkar membuat posisi politik sang presiden menjadi sangat kuat.

PDIP tidak mendukung Jokowi di 2019 pun tak akan jadi masalah bagi Jokowi. Sementara bagi PDIP, tidak mendukung Jokowi tentu akan mengurangi – bahkan bisa jadi menutup – peluang memenangkan kursi eksekutif. Dukungan Golkar membuat posisi Jokowi berada ‘di atas’ PDIP dan Megawati. Bahkan, bisa jadi sebaliknya, Jokowi-lah yang akan mengendalikan ‘arah lari’ sang banteng.

Dukungan Golkar lewat Airlangga – sepertinya juga disertai oleh mayoritas faksi di Golkar – membuat para pengamat harus merevisi pernyataan-pernyataan yang menyebut: ‘tidak peduli siapa wakilnya, jika calon presidennya adalah Jokowi, pasti menang’.

Kini pernyataan itu harus berganti menjadi: ‘tidak peduli partai mana lagi yang akan masuk koalisi, jika calon presidennya adalah Jokowi, pasti menang’! Jelaslah, dukungan Golkar dan Nasdem sudah lebih dari cukup bagi Jokowi di 2019.

Situasi ini ditambah makin ‘mesranya’ hubungan Jokowi dengan elit lain – misalnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – tentu membuat Megawati dan PDIP ketar-ketir. Mega tentu tidak mau kehilangan status ‘partai berkuasa’ di 2019.

PDIP mempertaruhkan status sebagai partai berkuasa jika tidak mendukung Jokowi di 2019. Tetapi, apakah Jokowi masih akan ‘merah; di 2019? (Foto: istimewa)

Oleh karena itu, sangat mungkin Megawati mau tidak mau harus kembali menjatuhkan pilihan pada ‘si petugas partai’ yang mbalelo ini untuk 2019, kecuali jika partainya bisa mendapatkan tokoh lain yang punya elektabilitas dan popularitas setara Jokowi – kalau diibaratkan, mungkin akan seperti ‘mencari jarum dalam tumpukan sekam’!

Pada akhirnya, Jokowi sepertinya paham kata-kata Otto von Bismarck di awal tulisan ini. Politik adalah seni memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan. Jika mampu mewujudkan salah satunya, maka itulah seni yang terbaik. Jokowi sedang memproduksi ‘karya seni’ terbaik itu. Menarik untuk ditunggu, bagaimana hasilnya di 2019 nanti. (S13)

 

Exit mobile version