Seri pemikiran Fareed Zakaria #36
Sejauh ini, geliat kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden dinilai sangat berhati-hati bahkan cenderung ragu-ragu. Sayangnya hal tersebut berdampak kurang positif bagi semangat inklusivitas global yang diharapkan darinya. Lalu mengapa kecenderungan itu dapat terjadi? Haruskah Indonesia mengantisipasinya?
Pada tengah pekan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden melakukan kunjungan pertamanya ke Departemen Pertahanan pasca dilantik. Kantor Lloyd Austin menjadi departemen pemerintahan kedua yang disambangi Biden setelah sebelumnya bertandang ke Departemen Luar Negeri.
Dua prioritas kunjungan awal itu agaknya memiliki makna tersendiri bagi kepemimpinan baru Biden, yang paling tidak dapat diekstraksi dari apa yang disampaikan mantan Senator negara bagian Delaware itu.
Dalam lawatannya ke Pentagon, Biden mengawali narasinya dengan penegasan diri sebagai panglima tertinggi yang mampu mengerahkan kekuatan, berperang, dan memenangkan peperangan untuk membela kepentingan rakyat AS dan sekutunya di seluruh dunia.
Akan tetapi, penutup pernyataan tegas Biden itu seolah menjadi antiklimaks saat dirinya mengatakan bahwa penggunaan kekuatan atau bahkan kekerasan harus selalu menjadi pilihan terakhir, bukan yang pertama.
Secara kasat mata, terlebih bagi para penganut pasifisme, pernyataan normatif itu tentu cukup dapat diterima. Namun lain halnya jika ditelisik lebih dalam dan menggesernya pada diskursus konsistensi visi kebijakan.
Dua kunjungan awal ke departemen pemerintahan itu tampaknya ingin menunjukkan bahwa Biden cukup serius dalam upayanya mendorong serta membentuk kebijakan luar negeri, maupun mengembalikan kepemimpinan global AS yang dikatakan sempat “hilang”.
Kebijakan luar negeri yang disokong instrumen pertahanan agaknya memang masih menjadi alat impresi yang ingin ditunjukkan Biden.
Baca juga: Doktrin Biden Resahkan Jokowi?
Meski begitu, kesan normatif dan antiklimaks yang kemudian muncul dari pernyataannya sendiri, membuat proyeksi atas kebijakan luar negeri Biden diliputi presumsi bahwa mantan Wakil Presiden era Barack Obama itu masih dibayangi keragu-raguan.
Itu ditambah dengan sejumlah penilaian yang menggambarkan masih nihilnya gebrakan signifikan dari Biden dalam kebijakan luar negeri sampai saat ini. Padahal sebelumnya, Biden dan Demokrat terlihat cukup aktif mengkritik mayoritas kebijakan luar negeri AS di bawah Trump.
Hal tersebut juga disoroti oleh kolumnis kawakan The New Yorker, Robin Wright, yang mengatakan bahwa mungkin Biden memang “lebih disukai”, namun dengan kecenderungan awal kebijakan luar negerinya, AS akan cukup sulit untuk merebut kembali kepemimpinan global.
Jika kecenderungan itu benar, kabar kurang positif mungkin membayangi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dinilai kerap mengharapkan “keseimbangan” yang diciptakan AS atas manuver agresif Tiongkok, khususnya di bidang keamanan kawasan.
Lantas pertanyaannya, mengapa tendensi keragu-raguan Biden itu dapat terjadi?
Terjebak Kritik Sendiri?
Dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post yang berjudul On the domestic front, Biden is all ambition. Why not on foreign policy?, Fareed Zakaria mencoba menjawab perihal musabab keragu-raguan Biden itu. Dan faktor utama yang dilihat Zakaria ialah Partai Republik.
Biden sekilas tampak menunjukkan sikap yang cukup percaya diri dan tegas tentang kebijakan dalam negeri. Namun untuk kebijakan luar negeri, Zakaria menyebut Biden telah mengambil pendekatan yang sangat berbeda, tampak ragu-ragu, malu-malu, dan terpaku pada perhatian untuk terlebih dahulu meredakan kritik dari Partai Republik.
Pada isu Iran misalnya, Biden yang diharapkan membuat perubahan signifikan atas penarikan AS dalam kesepakatan nuklir di bawah mantan Presiden Donald Trump, ternyata masih bergeming.
Hal itu tampak dari pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Anthony Blinken dan Director of National Intelligence Avril Haines, yang mana keduanya menyiratkan bahwa bergabung kembali dengan kesepakatan itu sebagai ihwal yang “masih jauh”.
Pada case Tiongkok, pemerintahan Biden seolah telah mengalami sendiri impresi awal bahwa berhadapan dengan Tiongkok adalah hal yang memang cukup sulit.
Reaksi terhadap Tiongkok pun, sampai sejauh ini seperti dirancang untuk “penonton domestik” AS, dengan penggunaan frasa “koersif” dan “unfair,” dan termasuk sumpah tegas untuk meminta Beijing bertanggung jawab atas upayanya untuk mengancam stabilitas, tanpa diiringi manuver konkret berarti.
Lalu saat Biden disebut tidak akan mempertahankan kebijakan tarif Trump dalam trade war dengan Tiongkok, plus ketika Biden dan timnya terus mengkritik kebijakan ala Trump terhadap Tiongkok, sampai saat ini dinilai tidak ada satupun yang berubah.
Zakaria mengatakan bahwa akibat Biden dan para penasihatnya yang telah secara terbuka menyatakan kebijakan Trump di masa lalu sebagai bencana, membuat mereka menjadi sangat hati-hati dan diliputi keragu-raguan dalam merumuskan kebijakan luar negeri.
Baca juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Pan-Asianisme
Dan yang diprediksi paling kentara adalah kebijakan yang akan dibuat terlebih dahulu akan berkaca dengan kritik mereka terhadap kebijakan Trump sebelumnya, sekaligus berangkat dari antisipasi reaksi tertentu dari Partai Republik saat ini.
Fareed Zakaria juga menyebut bahwa tim kebijakan luar negeri Biden mencoba memainkan politik dalam negeri, dengan terus memberikan lemparan narasi dan ancang-ancang kebijakan terlebih dulu demi menangkis kritik Partai Republik.
Vetokrasi, Siklus Politik AS?
Esensi dari apa yang dikemukakan Zakaria di saat yang sama juga seolah merepresentasikan dan menegaskan kembali relevansi logika prisoner’s dilemma atau dilema narapidana dalam politik AS.
Secara sederhana, dilema narapidana adalah konsep yang berangkat dari game theory atau teori permainan, di mana pilihan-pilihan rasional yang ada, secara alamiah mengarahkan pada hasil-hasil persaingan untuk “menjatuhkan” satu sama lain.
Dalam Party Competition and the Prisoner’s Dilemma John G. Geer dan Mark E. Shere menjelaskan bahwa persaingan antarpartai di AS dan dengan berbagai tantangan kontemporer yang ada, semakin menggambarkan logika prisoner’s dilemma yang terjadi dalam politik AS. Apalagi dalam atmosfer persaingan dua partai yang sangat terpolarisasi.
Pada intinya, Geer dan Shere menyebut bahwa persaingan antarpartai itu menghambat kemampuan mereka untuk memenuhi ekspektasi para pemilih, ataupun memenuhi ekspektasi yang telah terbangun secara umum sebelumnya.
Hampir identik, fenomena itu diamati oleh Francis Fukuyama dalam publikasinya yang berjudul America in Decay: The Sources of Political Dysfunction. Polarisasi yang disinggung Geer dan Shere dikatakan Fukuyama adalah cerminan dari disfungsi dalam politik AS.
Baca juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
Baca juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Pan-Asianisme
Dan yang diprediksi paling kentara adalah kebijakan yang akan dibuat terlebih dahulu akan berkaca dengan kritik mereka terhadap kebijakan Trump sebelumnya, sekaligus berangkat dari antisipasi reaksi tertentu dari Partai Republik saat ini.
Fareed Zakaria juga menyebut bahwa tim kebijakan luar negeri Biden mencoba memainkan politik dalam negeri, dengan terus memberikan lemparan narasi dan ancang-ancang kebijakan terlebih dulu demi menangkis kritik Partai Republik.
Vetokrasi, Siklus Politik AS?
Esensi dari apa yang dikemukakan Zakaria di saat yang sama juga seolah merepresentasikan dan menegaskan kembali relevansi logika prisoner’s dilemma atau dilema narapidana dalam politik AS.
Secara sederhana, dilema narapidana adalah konsep yang berangkat dari game theory atau teori permainan, di mana pilihan-pilihan rasional yang ada, secara alamiah mengarahkan pada hasil-hasil persaingan untuk “menjatuhkan” satu sama lain.
Dalam Party Competition and the Prisoner’s Dilemma John G. Geer dan Mark E. Shere menjelaskan bahwa persaingan antarpartai di AS dan dengan berbagai tantangan kontemporer yang ada, semakin menggambarkan logika prisoner’s dilemma yang terjadi dalam politik AS. Apalagi dalam atmosfer persaingan dua partai yang sangat terpolarisasi.
Pada intinya, Geer dan Shere menyebut bahwa persaingan antarpartai itu menghambat kemampuan mereka untuk memenuhi ekspektasi para pemilih, ataupun memenuhi ekspektasi yang telah terbangun secara umum sebelumnya.
Hampir identik, fenomena itu diamati oleh Francis Fukuyama dalam publikasinya yang berjudul America in Decay: The Sources of Political Dysfunction. Polarisasi yang disinggung Geer dan Shere dikatakan Fukuyama adalah cerminan dari disfungsi dalam politik AS.
Baca juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.