Salah satu arah isu reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agaknya tertuju pada Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Itu sekaligus membuka spekulasi lebih jauh soal kepemimpinannya di Partai Golkar. Lantas, siapakah yang akan diuntungkan jika Airlangga didepak Jokowi?
Satu isu menarik di tengah perbincangan mengenai pemilihan presiden (Pilpres) 2024 adalah mengenai wacana reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 15 Juni mendatang.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno pada pekan lalu menghembuskan kemungkinan perombakan kabinet yang menurutnya akan dibocorkan sedikit-demi sedikit.
Saat dikonfirmasi mengenai isu reshuffle kala menghadiri ajang balap Formula E, Presiden Jokowi memberikan jawaban yang cenderung tidak membenarkan maupun membantah.
Ihwal yang kemudian mengundang respons dari sejumlah tokoh kunci partai politik (parpol) penyumbang menteri di gerbong pemerintahan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Ketua DPP PKB Faisol Riza misalnya, yang mengaku telah mendengar wacana reshuffle di kabinet Jokowi meskipun tidak memberikan komentar lebih jauh. PKB sendiri menjadi parpol penyumbang empat menteri dalam kabinet yaitu Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, serta Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa partainya tidak ambil pusing dengan isu reshuffle karena partai beringin disebut taat dengan kewenangan dan hak prerogatif sang Kepala Pemerintahan.
Akan tetapi, pernyataan Ahmad Doli boleh jadi hanya gestur yang tampak di permukaan jika berkaca pada nama-nama yang terancam diganti oleh Presiden Jokowi.
Pada Maret lalu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sempat mengeluarkan nama-nama menteri yang layak untuk direshuffle dikarenakan kinerjanya yang tidak progresif.
Bhima menyebutkan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, Mendag Muhammad Lutfi, serta Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam daftar sosok yang patut diberi “kartu merah” oleh Presiden Jokowi.
Khusus bagi Airlangga, namanya cukup menarik seandainya benar-benar disasar sebagai menteri yang harus hengkang dari kabinet. Posisinya saat ini yang juga menjabat sebagai Ketum Partai Golkar kemungkinan besar akan memberikan efek domino yang dapat mengubah atmosfer politik secara signifikan.
Lalu, apa makna politik dibalik munculnya isu reshuffle kali ini? Serta, bagaimana setting politik yang akan terjadi jika Airlangga didepak oleh Presiden Jokowi dari Kabinet Indonesia Maju?
Langkah Distraksi Jokowi?
Sebelum masuk pada konteks Airlangga, penting juga kiranya untuk mengetahui latar belakang, urgensi, dan dampak atas mengemukanya wacana reshuffle kabinet saat ini.
Jika berbicara latar belakang reshuffle, tentu publik dapat mengidentifikasi bahwa aspek kinerja menjadi pertimbangan utama yang konkret. Akan tetapi, intrik politik di baliknya bisa saja menyelimuti munculnya isu perombakan tersebut.
Seperti yang jamak diketahui, tensi politik belakangan tengah panas akibat kabar yang kurang positif dari Presiden Jokowi dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Kabar keretakan yang menghantui partai banteng tentu menjadi sorotan kurang baik di hadapan konstituen ketika parpol lain tengah gencar melakukan manuver konstruktif jelang pesta demokrasi pada tahun 2024 mendatang.
Elite PDIP sendiri berulang kali menegaskan agar Presiden Jokowi dan Megawati tidak terus dibentur-benturkan. Penegasan terbaru datang dari Junimart Girsang yang juga mengatakan bahwa hubungan Megawati dan Presiden Jokowi sesungguhnya baik-baik saja.
Kontra-narasi keretakan itu bahkan tercermin saat Jokowi melantik kembali Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kemarin. Setelahnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menyebut bahwa keduanya juga terlibat pembicaraan empat mata yang mendalam.
Gestur ini seolah menggambarkan bahwa Presiden Jokowi mungkin sedang berusaha mengalihkan sorotan negatif atas keretakan hubungannya dengan Megawati. Munculnya isu reshuffle boleh jadi juga merupakan strategi tersendiri untuk semakin mengaburkan sorotan tersebut.
Sheryl Gay Stolberg dalam The Art of Political Distraction menjelaskan mengenai teknik distraksi politik, yakni manuver maupun konstruksi wacana politik tertentu untuk mengalihkan isu, tatanan, hingga agenda politik lainnya yang sedang mengemuka.
Distraksi isu menjadi salah satu teknik para aktor politik untuk memalingkan imajinasi publik atas sorotan tajam yang intens atas suatu diskursus tertentu. Meskipun lumrah dilakukan, teknik ini sering kali luput dan dianggap hanya bagian dari fenomena derasnya arus informasi.
Munculnya isu reshuffle boleh jadi juga merupakan teknik distraksi dari eks Wali Kota Solo. Terlebih, jawaban tak membantah maupun membenarkan dari Mensesneg dan Presiden sendiri terkesan membuka tafsir lanjutan dari berbagai pihak. Ihwal yang mungkin saja memang diinginkan sebagai bagian dari seni distraksi politik.
Memang, ketika berbicara mengenai reshuffle, spekulasi akan menyeruak dan tertuju pada potensi nama yang akan angkat koper dari posisi prestisius di kabinet. Tak menutup kemungkinan pula bahwa pengalihan isu reshuffle juga dimaksudkan untuk membelokkan sorotan pada sosok menteri yang paling berpotensi didepak Presiden Jokowi.
Kendati demikian, apabila reshuffle benar-benar akan dilakukan proyeksi mengenai sosok yang akan diganti RI-1 beserta dampaknya tentu menjadi penting untuk diperhitungkan.
Kembali pada peluang dicopotnya Airlangga sebagai Menko Perekonomian, nyatanya kinerja kurang baiknya tak hanya dilihat oleh Bhima Yudhistira. Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pertama juga mengemukakan tiga nama yang layak diganti dalam kabinet Jokowi. Menariknya, tiga nama itu persis seperti apa yang dikemukakan Bhima, termasuk Airlangga Hartarto.
Sayangnya, kecenderungan itu tampak kurang menguntungkan bagi Airlangga yang belakangan juga sempat diterpa isu minor lain, mulai dari kabar tak sedap yang menyerangnya secara personal hingga turbulensi di internal Partai Golkar.
Dari segi momentum, kepingan-kepingan isu tersebut seolah saling berkelindan dan tampak relevan untuk dianalisa. Inilah yang kiranya dimaksud oleh John Gibson dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events bahwa pemanfaatan momentum dari para politisi menjadi esensial dan jamak digunakan dengan memanfaatkan “events” atau peristiwa-peristiwa politik sebelumnya.
Namun, satu pertanyaan menarik yang kemudian mengemuka jika Airlangga tereliminasi, yakni siapakah yang kiranya benar-benar akan diuntungkan?
Demi Sokong Prabowo via Luhut?
Kalau akhirnya Airlangga jadi nama yang dilengserkan Presiden Jokowi dari kursi menteri, dampak politik yang ditimbulkan kiranya akan sangat luar biasa bagi tatanan yang ada saat ini.
Pertama, seperti yang dijelaskan Max Weber dalam konsep basis legitimasi dan kekuasaan tradisional, Airlangga kemungkinan besar juga akan kehilangan legitimasinya sebagai pemimpin Partai Golkar apabila kehilangan posisi menteri.
Kedua, proyeksi pencalonan dirinya sebagai calon presiden (capres) di pemilu 2024 pun hampir dipastikan meredup. Terakhir, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang mana Golkar sebagai pemegang konsesi terbesar bisa jadi mengalami perubahan arah politik.
Di balik tiga potensi tersebut, dampaknya dalam konteks kepemimpinan Airlangga di Partai Golkar tampak cukup serius. Kabar kurang sedap akan lengsernya ia dari Ketum Partai Golkar tampak membuka penafsiran atas pihak yang diuntungkan jika efek domino reshuffle terjadi dan dialami Airlangga.
Satu yang mungkin muncul sebagai suksesor Airlangga tidak lain adalah Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan. Walaupun disebut telah meredam isu turbulensi internal setelah pertemuan keduanya yang dipublikasikan internal partai pada akhir Mei lalu, namun agaknya spekulasi keretakan belum sepenuhnya tertutup.
Dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Prabowo, “Senjata” Luhut Bendung Megawati?, telah dijelaskan bahwa Luhut kemungkinan “lebih senang” menyokong Prabowo Subianto sebagai capres di 2024 karena akan menguntungkan baginya.
Untuk mewujudkan hal itu, Luhut tentu membutuhkan posisi strategis yang tak lain dalam hal ini adalah Ketum Partai Golkar.
Di samping itu, analisa sejumlah pengamat bahwa Presiden Jokowi juga memberikan endorsement serta sinyal dukungan kepada Prabowo sebagai capres membuat korelasinya dengan reshuffle yang terarah kepada Airlangga agaknya memperlihatkan benang merah tersendiri.
Jika demikian, Presiden Jokowi boleh jadi sedang mengaplikasikan madman theory di balik isu reshuffle. Teori itu sendiri menggambarkan strategi impresi tidak stabil dan irasional yang digunakan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Perang Dingin untuk membuat Uni Soviet kesulitan menebak langkah negeri Paman Sam.
Tendensi sukar ditebak itu kiranya dapat tercermin dari probabilitas perombakan kabinet Jokowi yang merupakan upaya yang muaranya adalah akumulasi dukungan dari sang Kepala Negara kepada Prabowo melalui Luhut dan Partai Golkar, selain distraksi politik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Akan tetapi, rangkaian pertalian dinamika politik di atas masih sebatas terkaan semata. Meski kinerjanya dipandang tak memuaskan, posisi Airlangga sendiri sebagai menteri jamak dikomparasikan dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang profesional dan tampak jauh dari kecenderungan rasuah.
Di atas semua itu, esensi reshuffle kabinet diharapkan bukan untuk digunakan sebagai isu maupun manuver untuk kepentingan politik tertentu. Publik juga harus lebih cermat dalam melihat berbagai variabel isu politik yang sedang berkembang agar dapat melihatnya secara jernih. (J61)