“Ingin tahu bagaimana kerja nyata itu? Lihat kiprah para Babinsa TNI. Mereka berada di tengah masyarakat, dan bersama warga membangun jembatan gantung, rumah, hingga mengajar suku Anak Dalam di Jambi. Terima kasih atas sumbangsih para Babinsa untuk kehidupan masyarakat desa,” Jokowi
PinterPolitik.com
[dropcap]A[/dropcap]paratus negara merupakan elemen penting bagi seorang penguasa dalam menjaga legitimasi kekuasaannya. Nampaknya hal itulah yang disadari oleh petahana calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi).
Pada hari Minggu, 16 Desember kemarin, Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan tunjangan operasional dan kinerja kepada Bintara Pembina Desa atau yang lebih populer dengan Babinsa di seluruh wilayah Indonesia.
Besaran tunjangan kinerja akan dirapel mulai Juli 2018 sampai Desember. Rencanaya, seluruh Babinsa akan menerima masing-masing Rp 6 juta rupiah.
Selain mengumumkan kenaikan tunjangan, mantan wali kota solo tersebut juga menyerukan agar Babinsa lebih peka dalam merespons perubahan lanskap politik global yang juga berdampak pada perubahan lanskap politik nasional dan daerah, termasuk lanskap politik di desa di era Revolusi Industri 4.0 seperti sekarang ini.
Kenaikan tunjangan Babinsa tersebut diumumkan berdekatan jelang gelaran pesta demokrasi Indonesia. Merujuk pada kondisi tersebut, adakah maksud dari langkah Jokowi menaikkan tunjangan para serdadu tersebut?
Menggenggam Aparatus Negara
Sudah menjadi rahasia umum bahwa petahana memiliki keistimewaan-keistimewaan dalam hal politik, termasuk memanfaatkan posisinya dalam memaksimalkan sumber daya negara untuk kepentingan politiknya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Andrew C. Eggers dan Arthur Spirling dalam The Advantages and Disadvantages of Incumbency yang menyebut bahwa secara umum, petahana memiliki keunggulan struktural atas kubu oposisi dalam memaksimalkan sumber daya pemerintah yang secara tidak langsung dapat digunakan untuk kepentingan kampanye.
Dalam konteks menjelang Pilpres 2019, mobilisasi sumber daya pemerintah ini sangat terlihat ketika Jokowi berusaha untuk mengamankan suara-suara para aparatus negara melalui kebijakan menaikkan tunjangan gaji.
Sebut saja kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri menjelang 2019. Pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan gaji pegawai pokok negeri sipil (PNS), TNI dan Polri sebesar 5 persen sekaligus kenaikan tunjangan hari raya (THR). Selain itu, anggota TNI dan Polri juga akan mendapat keistimewaan kenaikan tunjangan kerja hingga 70 persen.
Sebagai bagian dari aparatus negara, menggunakan isu kesejahteraan bisa jadi akan memiliki dampak elektoral yang signifikan. Terlebih, jumlah PNS di Indonesia juga tak sedikit,
Dalam konteks Babinsa, seperti yang dilansir Tempo, Jokowi juga mengeluarkan kebijakan kenaikan pendapatan operasional yang tadinya Rp 310 ribu akan dinaikkan menjadi Rp 2,7 juta dengan kata lain terjadi kenaikan sebesar kurang lebih 771 persen.
Sementara itu, pendapatan operasional tertinggi Babinsa akan dinaikkan yang awalnya sebesar Rp 1,3 juta menjadi Rp 3,6 juta.
Menariknya, wacana ini sebenarnya telah bergulir sejak awal tahun 2018 ini. Namun, dalam pelaksanaannya, pada akhir tahun ini baru akan direalisasikan.
Kenaikan gaji tersebut menjadi sangat bermuatan politis ketika berbarengan dengan semakin dekatnya momen Pilpres 2019. Hal ini sejalan dengan pendapat Alan Manning, profesor ekonomi dari London School of Economy atau LSE yang menyebutkan tekanan politik akan berpengaruh terhadap kebijakan publik untuk kenaikan gaji, terlepas hal itu menyangkut gaji secara umum maupun dalam konteks kenaikan gaji aparatur negara.
Jadi, bukan tidak mungkin bahwa kenaikan gaji para aparatus negara ini berkorelasi dengan agenda politik petahana menjelang Pilpres 2019, terlebih menyoal kenaikan gaji Babinsa.
Selain melalui kenaikan gaji, berbagai pendekatan juga dilakukan untuk memobilisasi dukungan para militer. Di bulan Agustus lalu misalnya, seperti yang dilansir Detik.com, Jokowi bahkan meminta kepada TNI dan Polri untuk membantunya melakukan sosialisasi capaian kinerja pemerintah terutama terkait infrastruktur kepada masyarakat.
Mungkinkah kebijakan kenaikan tunjangan Babinsa bermuatan politik? Share on XHal tersebut secara terang-terangan ia sampaikan saat memberi pengarahan kepada Siswa Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) serts Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sespimti Polri) beberapa waktu lalu.
Jika memang begitu, publik bisa saja menduga ada muatan politik dalam pendekatan Jokowi terhadap militer, terutama karena semakin dekatnya momentum Pilpres 2019. Dalam konteks Babinsa, seberapa signifikan sebenarnya dampak politiknya bagi Jokowi?
Mengamankan Suara Desa?
Meskipun sebagai presiden yang berlatar sipil, peran Jokowi dalam mengkonsolidasikan kekuatan militer tak boleh dianggap remeh. Dari elite hingga tingkat bawah, nampaknya mantan Gubernur DKI ini cukup cerdik memainkan ritme politik dalam menggenggam legitimasi dari militer.
Hal ini sesuai dengan pendapat Leonard C. Sebastian, Emirza Adi Syailendra, dan Keoni Indrabayu Marzuki dalam jurnal berjudul Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period.
Barangkali ada yg minat bikin skripsi berjudul: Peran Babinsa dalam Indonesia menuju Revolusi Industri 4.0.
— Elisa (@elisa_jkt) December 16, 2018
Mereka melakukan penelitian bahwa pasca lengsernya Soeharto, peran militer dalam masyarakat tidak bisa dilepaskan begitu saja. Hal ini berkaitan dengan wilayah kerja militer yang juga masih berada di daerah yang berada di pinggiran dan perbatasan, terutama di desa-desa.
Dengan wilayah kerja yang begitu spesifik, kondisi ini yang kemudian memudahkan militer untuk melakukan intervensi secara sosial bahkan secara politik. Berkenaan dengan pengumpulan informasi, dan kemampuan mobilisasi, peran militer pada kadar tertentu dapat bergerak lebih efisien untuk mengimplementasikan kebijakan sosial dan politik.
Jika merujuk pada wilayah kerja, Babinsa memang merupakan aparat pengaman desa yang berada di bawah Komando Rayon Militer, bagian dari Komando Distrik Militer dan Komando Resor Militer, yang menginduk pada Komando Daerah Militer. Dalam konteks ini, Babinsa adalah satuan militer yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat.
Dalam tugas pokoknya, seorang Bintara Pembina Desa berkewajiban untuk melaksanakan pembinaan teritorial sesuai petunjuk atasannya, yaitu komandan Komando Rayon Militer berdasarkan Peraturan Kepala Staf TNI AD Nomor 19/IV/2008.
Secara pokok, tugas-tugas Babinsa meliputi mengumpulkan dan memelihara data pada aspek geografi, demografi, hingga sosial dan potensi nasional di wilayah kerjanya. Hal tersebut meliputi aspek SDM, SDA, sarana-prasarana dan infrastruktur di wilayah binaannya.
Sehingga tidak dapat dipungkiri, baik secara langsung maupun tidak akan berpengaruh terhadap upaya Jokowi untuk mengamankan suara di tingkat terbawah sumber suara, yakni desa. Hal ini terutama terkait dengan instruksi Jokowi kepada TNI Polri untuk menyosialisasikan capaian kinerja pemerintah. Terlebih, wilayah operasi seorang Babinsa tidak hanya berhenti pada satu satu desa, namun hingga beberapa desa.
Jika benar Jokowi menggunakan strategi tersebut, hal ini sejalan dengan pemikiran Louis Althusser, seorang filsuf Prancis dalam tulisanya On the Reproduction of Capitalism: Ideology and Ideological State Aparatuses yang menjelaskan bahwa penguasa akan cenderung menggunakan Repressive State Aparatus (RSA) untuk melakukan dominasi.
Para aparatus negara ini kemudian memiliki fungsi sosial dasar yakni untuk mengintervensi masyarakat untuk kepentingan politik kelas penguasa baik dengan mengunakan kekerasan maupun melalui jalur non-kekerasan.
Dalam konteks Indonesia, apa yang diungkapkan Althusser nampak relevan jika melihat sepak terjang Babinsa selama ini.
Jika belajar dari Pemilu 2014 misalnya, seperti yang dilaporkan Tempo, kasus dugaan oknum Babinsa yang mendata pemilih dan mengarahkan warga Cideng, Jakarta, untuk memilih calon tertentu pada Pilpres 2014 memunculkan kegaduhan politik yang cukup membuat khawatir masyarakat secara luas. Hal ini berkaitan dengan peran militer di ranah politik yang telah dihapuskan pasca Soeharto lengser.
Bagi yg pernah ikuti pemilu sblm reformasi – pasti ingat peran Babinsa saat dekat pemilu. Apakah kondisi saat ini masih memungkinkan di tengah2 rakyat makin sadar dan apakah TNI masih bersedia jadi alat kekuasaan yg hanya dilirik saat dekat pemilu ?
— Muhammad Said Didu (@saididu) December 16, 2018
Meskipun dwi fungsi ABRI telah dihapuskan, hal tersebut sebenarnya tak memiliki implikasi signifikan bagi berkurangnya peran militer dalam masyarakat. Terlebih, menurut riset Sebastian dan kawan-kawan, dalam konteks masyarakat Indonesia, warga masih sangat menghormati posisi dan peran militer dalam masyarakat.
Pada akhirnya, tentu pola yang ada tak dapat diabaikan begitu saja. Mulai dari instruksi terhadap militer dan polisi untuk mensosialisasikan kinerja petahana hingga kenaikan gaji Babinsa.
Terlepas dari interpretasi-interpretasi tersebut, masih perlu dibuktikan apakah benar ada muatan politis di balik kenaikan tunjangan Babinsa. Di satu sisi, para serdadu di tingkat desa memang perlu punya penghidupan yang lebih baik. Di sisi yang lain, tak mudah bagi publik memalingkan diri dari perkara politik dalam setiap kebijakan seorang petahana. Pada akhirnya, butuh waktu agar semuanya dapat terungkap. (M39)