[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #37]
Setelah Joe Biden duduk sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menggantikan Donald Trump, ia memang berusaha membalikkan politik luar negeri negaranya. Sebelumnya AS memang cenderung berfokus pada “America First” ala Donald Trump yang menitikberatkan pada kepentingan nasional negara tersebut. Namun, posisi ini bisa saja mengubah arah politik banyak negara – termasuk Indonesia – yang “menikmati” kejauhan AS di era Trump.
“Rich countries, they want to save the world. Don’t believe them”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
Di era Trump tak jarang hitung-hitungan politik luar negeri AS memang didasarkan pada hal yang cenderung transaksional, misalnya apa yang bisa didapatkan dari kebijakan yang dibuat atas negara atau kawasan tertentu. Sementara, faktor tradisional seperti perbedaan ideologis seolah sedikit dikesampingkan, walaupun tak sepenuhnya hilang.
Biden kemudian mencoba mengambil sikap yang sebaliknya dengan membalikkan semua visi politik Trump tersebut. AS kemudian kembali pada status tradisionalnya sebagai pemain utama dalam politik global dengan posisinya sebagai salah satu negara dominan.
Namun, alih-alih mengadaptasi dan mencari jalan tengah yang cenderung solutif untuk persoalan ekonomi dan politik negara tersebut di hadapan munculnya kekuatan baru seperti Tiongkok, Biden justru menggunakan strategi pembelahan ideologi – demokrasi vs otokrasi – untuk meletakkan posisinya sebagai pemimpin global kembali. Ia memfokuskan persaingan terhadap Tiongkok dan Rusia – yang sejak dulu menjadi lawan tradisional AS.
Baca Juga: Menelisik Ekuivalensi Jokowi dan Joe Biden
Indikasi pembelahan ideologis ini terlihat jelas dari kata-kata Biden di pertemuan virtual Munich Security Conference pada Februari 2021 lalu. Dalam kesempatan tersebut, Biden memposisikan AS kembali sebagai pemimpin global, sembari mengajak negara-negara lain untuk “memerangi” Tiongkok dan Rusia yang disebutnya telah berada dalam kutub yang berseberangan dengan demokrasi liberal ala barat.
Jika dulu ada pembelahan antara komunisme vs kapitalisme yang terjadi sejak tahun 1940-an, Biden kini membawa pembelahan ideologis antara demokrasi vs otokrasi. Ia juga menuduh Tiongkok telah bermain curang dalam konteks persaingan ekonomi.
Menariknya, banyak yang menyebutkan bahwa manuver Biden ini bisa saja berbahaya dalam konteks akibatnya yang bisa saja melahirkan kutub-kutub politik kembali, sama seperti yang terjadi di era Perang Dingin.
Lalu, apakah pembelahan ideologis yang dilakukan oleh Biden ini harus diwaspadai dan benar-benar dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya? Bagaimana fenomena ini dilihat dari kacamata akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?
Pembelahan Ideologis ala Biden
Bagi orang-orang yang larut dalam polarisasi politik di AS saat Pilpres lalu, memang pasti akan ada perdebatan, apakah Biden sedang bermain dramaturgi – meminjam istilahnya sosiolog asal Kanada, Erving Goffman.
Konsep dramaturgi ini menganalisis sikap politik dari sisi front stage atau panggung depannya – yang merujuk pada pernyataan-pernyataan resmi serta sikap politik yang ditunjukkan di depan media atau publik secara keseluruhan – dan back stage atau panggung belakang – yang merujuk pada kepentingan sesungguhnya yang diperjuangkan di belakang layar.
Hal ini beralasan, mengingat Biden selalu dicap sebagai “kaki tangan” Tiongkok oleh lawan-lawan politiknya. Sementara para scholar, termasuk Kishore Mahbubani juga menganalisis bahwa dalam konteks hubungannya dengan Tiongkok, pendekatan politik yang dipakai Biden akan lebih soft dibandingkan Trump yang cenderung konfliktual dengan segala kebijakan Perang Dagang yang dibuatnya.
Namun, pernyataan Biden yang cenderung memposisikan Tiongkok di kutub yang berseberangan dan cenderung menginisiasi permusuhan lewat pembelahan ideologis memang mengindikasikan bahwa ia bisa saja menggunakan pendekatan yang berbeda. Ini juga sesuai dengan pandangan yang menganggap bahwa setiap presiden AS seberapapun positifnya posisi politik dia terhadap Tiongkok, akan selalu kembali pada kepentingan tradisional AS.
Tentu pertanyaan terbesarnya adalah mengapa AS memicu permusuhan yang demikian?
Kalau dianalisis dari konteks perebutan posisi sebagai negara dominan, sikap politik Biden ini memang terkesan ingin kembali menempatkan AS ke status lamanya sebagai pemimpin negara-negara barat. Memori McCarthyism di era tahun 1940-an serta Perang Dingin seolah menjadi referensi sikap politik Biden itu. Jika dulu McCarthyism menggunakan komunisme sebagai sumber ancaman, kini otokrasi digunakan sebagai ancaman utama.
Membangkitkan kembali permusuhan juga sesuai dengan pemikiran bahwa rivalitas sering kali penting dalam penguatan status sebuah negara di ranah politik internasional. Clay Chandler dan Grady McGregor dalam tulisannya di Fortune menyebutkan bahwa sikap politik biden ini merupakan upaya menguatkan rivalitas. Ini juga menjadi ciri khas AS karena di era manapun, negara yang satu ini selalu berusaha “menciptakan musuh”.
Konteks menciptakan musuh ini adalah strategi politik yang berangkat dari pemikiran di dunia marketing – hal yang sering dibahas di banyak video PinterPolitik. Ini penting untuk dilakukan oleh Biden saat ini karena sadar atau tidak, di jelang-jelang akhir pemerintahan Trump, ada dua momen besar yang menjadi tonggak “kekalahan” AS dari Tiongkok.
Baca Juga: Diplomatic Game, Menlu Retno Butuh Biden?
Ini berkaitan dengan 2 perjanjian blok dagang penting yang dilakukan oleh Tiongkok, yakni Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang melibatkan ASEAN bersama negara-negara di Asia Pasifik dan Australia, serta penandatanganan Comprehensive Agreement on Investment antara Uni Eropa dan Tiongkok pada Desember 2020 lalu.
Sebagai catatan, RCEP adalah blok dagang terbesar sepenjang sejarah yang menguasai 30 persen GDP global dan 30 persen populasi global. Ini jadi sebuah kekalahan bagi AS karena tidak ada blok tandingannya, pun juga karena AS tidak ada dalam blok dagang ini.
Sementara perjanjian dengan Uni Eropa seolah membuktikan mulai makin dekatnya visi Jalur Sutera Tiongkok yang menghubungkan Asia, Eropa dan belahan dunia lainnya. Dengan latar memburuknya hubungan AS di bawah Trump dengan negara-negara Eropa – misalnya soal Trump yang menyebut NATO sebagai “hal yang buruk untuk anggaran negaranya” dan sempat mempertimbangkan menarik AS keluar dari pakta pertahanan tersebut – Biden tentu tidak bisa tinggal diam dan membiarkan Tiongkok memenangkan perebutan pengaruh.
Selain Tiongkok, Rusia juga disebut-sebut tengah gencar-gencarnya meningkatkan posisi politiknya di hadapan negara-negara di berbagai kawasan, baik itu di Asia maupun Eropa. Artinya ada pertaruhan kehilangan pengaruh yang bisa saja akan dihadapi oleh AS di berbagai kawasan.
Dengan demikian, pernyataan Biden bisa dianggap sebagai jalan untuk kembali menegaskan posisi politik negara tersebut di hadapan rival-rival dan negara dominan lainnya.
Terkait pembelahan ideologis, hal ini sebetulnya sesuai dengan ideological conflict project theory yang ditulis oleh Steven Mock dan Thomas Homer-Dixon. Mereka menyebutkan bahwa ideologi adalah hal yang penting dalam konflik karena menjadi identitas yang menegaskan posisi kelompok di hadapan lawan. Pemahaman tentang ideologi juga akan memudahkan orang memahami seluk beluk sebuah konflik.
Jelas bahwa dalam konteks pembelahan ideologis yang dilakukan oleh Biden, ada upaya untuk menegaskan identitas kolektif antara AS dengan sekutu-sekutu tradisionalnya. Pertanyaannya tinggal apakah cara Biden ini bisa efektif memberikan keuntungan politik dan ekonomi bagi AS.
Pasalnya, banyak negara sekutu tradisional AS justru melihat hubungan yang kondusif dengan Tiongkok misalnya, justru akan lebih menguntungkan mereka secara ekonomi.
Bahaya Untuk Jokowi?
Lalu, seperti apa dampaknya untuk pemerintahan Presiden Jokowi? Well, secara umum pembelahan ideologis ini akan memantik lahirnya faksi atau kubu-kubu negara yang satu posisi dengan AS di kawasan Asia.
Wacana lahirnya The Quadrilateral Security Dialogue alias QUAD misalnya, dianggap sebagai salah satu contohnya. QUAD sendiri beranggotakan Jepang, India, Australia dan tentu saja AS. Kelompok ini dianggap berupaya untuk membendung pengaruh politik Tiongkok di kawasan. Beberapa scholar bahkan menyebutnya sebagai “mini-NATO”.
Baca Juga: Jokowi dan Ancaman McCarthyism Joe Biden
Bagi Indonesia, adanya perkubuan yang demikian ini bisa saja merugikan secara politik. Pasalnya, selama ini Indonesia menikmati kedekatan dengan Tiongkok dalam hampir segala aspek, terutama dalam berbagai kerja sama ekonomi. Dengan kembalinya AS ke panggung utama politik global, tentu akan ada efek yang dirasakan dalam konteks hubungan luar negeri Indonesia.
Presiden Jokowi tentu akan menimbang-nimbang berbagai kerja sama yang mungkin saja akan diupayakannya dalam konteks apakah kerja sama tersebut akan membuat Indonesia terjebak dalam benturan yang terjadi dalam pembelahan ideologis ala Biden ini. Bagaimanapun juga, politik bebas aktif Indonesia kini akan mendapatkan ujian terbesarnya.
Apalagi, AS untuk beberapa waktu lamanya selalu dilihat sebagai “sekutu jauh” Indonesia, setidaknya sejak era Soeharto berkuasa. Dengan demikian, tanpa hitung-hitungan politik yang taktis, kembalinya AS ke panggung global bisa saja berbahaya untuk Indonesia.
Pada akhirnya, semuanya akan bergantung pada arah politik Presiden Jokowi. Pada siapa Indonesia berkawan dan pada siapa Indonesia akan melawan? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.