Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Sengkarut Propaganda Rusia

Jokowi dan Sengkarut Propaganda Rusia

Isu propaganda Rusia menjadi warna terbaru jelang Pilpres 2019 (Foto: istimewa)

Pernyataan Jokowi tentang propaganda Rusia menjadi polemik terbaru yang tengah dipergunjingkan jelang Pilpres 2019. Kedubes Rusia telah mengeluarkan bantahan resmi, sementara Jokowi juga membantah dan menyebut dirinya tidak sedang menunjuk pada negara tersebut. Nyatanya, konteks pernyataan tentang propaganda Rusia adalah isu yang dipergunjingkan di banyak negara belakangan ini terkait intervensi politik elektoral. Lalu, apakah pernyataan Jokowi ini sekedar sebuah ketidaksengajaan yang menimbulkan ambiguitas – bagian dari pemikiran Aristoteles tentang amphiboly – atau sang presiden memang sengaja menyinggung persoalan intervensi Pilpres?


PinterPolitik.com

“All art is propaganda. It is universally and inescapably propaganda; sometimes unconsciously, but often deliberately, propaganda”.

:: Upton Sinclair (1878-1968), penulis ::

[dropcap]K[/dropcap]isah Perang Diadochi (322-275 SM) yang terjadi pasca mangkatnya Alexander Agung memang menjadi salah satu contoh peralihan kekuasaan yang berjalan tidak mulus.

Namun, perang pergantian kekuasaan di negara Qi (643-642 SM) era Tiongkok kuno mungkin yang paling relevan untuk dilihat dalam konteks keterlibatan negara-negara luar dalam pergantian kepemimpinan di negara tersebut. Faktanya, memang peran negara-negara asing dalam peralihan kekuasaan di sebuah negara adalah hal yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya.

Bak mengulang sejarah, walau tidak menimbulkan pertumpahan darah, kini konteks keterlibatan negara luar dalam peralihan kekuasaan itu menjadi cerita yang dipergunjingkan di Indonesia jelang Pilpres 2019. Adalah pernyatan Presiden sekaligus kandidat petahana Joko Widodo (Jokowi) tentang “propaganda Rusia” yang digunakan oleh lawanannya, Prabowo Subianto yang jadi lembar terbarunya.

Sekalipun tuduhan keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS hingga kini masih cenderung “abu-abu” – beberapa pihak menyebutnya sebagai pelarian politik dari kubu yang kalah – namun, tetap saja ada hal serius yang bisa juga dimaknai di… Share on X

Pasalnya pernyataan Jokowi itu kini menjadi polemik berkepanjangan karena diinterpretasikan secara beragam oleh masyarakat. Kedutaan Besar Rusia telah mengeluarkan pernyataan resmi dan membantah konteks interpretasi pernyataan Jokowi dan menyebut negaranya tidak mengintervensi persoalan dalam negeri di banyak negara, termasuk dalam hal Pemilu.

Selain itu, Indonesia dan Rusia juga disebut sebagai dua negara yang bersahabat dekat dan merupakan mitra penting. Istilah “propaganda Rusia” – menurut keterangan tersebut – tidak tepat karena tidak sesuai dengan realitas serta merupakan hasil rekayasa politik.

Bantahan itu memang dikeluarkan untuk meredam kontroversi yang muncul pasca pidato Jokowi tersebut. Pasalnya,  batasan “propaganda Rusia” dengan “propaganda ala Rusia” – dua frasa yang berbeda maksud – menjadi tidak jelas.

Jokowi sendiri dalam kata-katanya memang tidak menggunakan kata “ala”, sehingga membuat pernyataan tersebut menjadi multi-interpretatif dan bahkan – meminjam kata-kata Aristoteles dalam De Sophisticis Elenchis (Sophistical Refutations) yang berbicara tentang 13 fallacies atau kesalahan reasoning/membuat penjelasan – cenderung ambigu atau bermakna lebih dari satu.

Penyebutan propaganda Rusia kemudian bisa dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan oleh Rusia dalam upaya mengintervensi Pilpres 2019. Padahal, Jokowi dalam bantahannya menyebut bahwa ia tidak spesifik menunjuk pada negara tertentu – dalam hal ini Rusia.

Mantan Wali Kota Solo itu menyebut bahwa dirinya merujuk pada cara-cara propaganda yang menggunakan semburan kebohongan dalam kampanye politik. Model kampanye yang oleh Rand Corporation disebut sebagai firehose of falsehood ini memang menjadi topik perbicangan di Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016 lalu dan disebut sebagai model propaganda ala Rusia.

Model propaganda itu memang dilakukan Rusia saat berkonflik dengan negara-negara tetangganya, misalnya dengan Ukraina terkait semenanjung Krimea, dan untuk melawan pengaruh negara-negara anggota NATO.

Dengan konteks posisinya sebagai seorang kepala negara sekaligus sebagai kandidat yang bertarung, pernyataan Jokowi tentang propaganda Rusia ini di satu sisi bisa dimaknai sebuah ketidaksengajaan yang melahirkan salah satu fallacy atau kesalahan reasoning seperti yang disebut Aristoteles.

Namun, di sisi lain, sangat mungkin juga pernyataan Jokowi ini sengaja disampaikan untuk tujuan tertentu. Pasalnya propaganda yang dilakukan Rusia – sekalipun dibantah oleh Kedubes negara tersebut seperti di awal tulisan – diklaim terjadi di 27 negara sejak tahun 2004. Selain itu, isu keterlibatan negara asing pada Pilpres kali ini juga disebut-sebut sangat mungkin terjadi.

Tentu pertanyaannya adalah sengaja atau tidak sengajakah Jokowi dalam pernyataannya ini?

Ada Apa Propaganda Rusia?

Pasca Pilpres AS 2016 lalu, isu tentang propaganda Rusia memang menjadi topik yang dibahas di mana-mana. Konteks pembahasannya pun bukan hanya propaganda ala Rusia – atau menggunakan model yang digunakan negara tersebut – saja, tetapi juga melibatkan negara tersebut secara langsung sebagai pihak yang terlibat aktif dalam mendukung calon tertentu.

Portal Politico menyebutkan bahwa beberapa negara di kawasan Eropa memang ditengarai menjadi tempat propaganda tersebut digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Rusia memang menggunakan model propaganda kebohongan – seperti yang disebut oleh Rand Corporation tersebut – untuk kepentingan politiknya di kawasan.

Pasca Perang Dingin, Rusia sebagai kelanjutan Uni Soviet memang masih menyimpang persaingan politik dengan musuh lamanya, AS. Kekuatan negeri Paman Sam memang masih kuat di Eropa lewat NATO, termasuk lewat pengaruhnya di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Rusia. Ini juga termasuk yang terjadi di Suriah.

Sementara, Rusia di sisi lain punya banyak kepentingan, termasuk dalam hal bisnis energi. Sebagai catatan, pipa gas dari Rusia melintas hampir di seluruh kawasan Eropa dan membuat negara-negara tersebut cukup bergantung pada negeri Beruang Merah itu.

Kasus pertentangan antara Rusia dan Ukraina terkait semenanjung Krimea disebut-sebut salah satunya juga melibatkan propaganda. Pada pertengahan Maret 2018 lalu, TIME memuat pengakuan seorang mantan anggota buzzer team dari Rusia bernama Vitaly Bespalov yang berperan dalam propaganda di media sosial.

Aktivitas yang disebut sebagai online trolling – mungkin bisa diartikan sebagai aktivitas “memancing secara online” – bertujuan untuk mengubah opini dan pandangan publik tentang suatu hal tertentu.

Kala itu, dalam sebuah video singkat, Vitaly menjelaskan bagaimana aktivitas trolling tersebut dilakukan untuk menyebarkan berita bohong dan membentuk opini masyarakat di beberapa negara, misalnya di Ukraina, AS dan Jerman. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan citra pemimpin-pemimpin negara itu di mata masyarakatnya, dan pada akhirnya menguatkan posisi politik Rusia – terutama Vladimir Putin – di hadapan negara tersebut.

Tidak jarang juga propaganda politik yang terjadi di sekitaran kontestasi elektoral itu ditujukan untuk mendukung kandidat tertentu yang dianggap mampu mengakomodir negara yang kini dipimpin Presiden Putin itu.

Dalam konteks Indonesia, memang Pilpres 2019 secara tidak langsung berhubungan dengan kepentingan negara tersebut. Rusia punya banyak perjanjian kerja sama dengan Indonesia, termasuk di bidang alutsista, kereta api, minyak dan tambang.

Selain itu, Asia diprediksi akan menjadi center of the world’s gravity atau pusat gravitasi peradaban dunia – pandangan yang salah satunya diungkapkan oleh ekonom AS Gary Becker – dan Asia Tenggara secara khusus, akan menjadi poros di dalamnya. Dengan konteks “gemuruh” ekonomi-politik di Laut China Selatan misalnya, negara seperti Rusia perlu jaminan untuk tetap menjadi pemain utama di dalamnya.

Oleh karena itu, memastikan kepentingan-kepentingannya tetap terjaga di Indonesia sebagai bagian dari poros gravitasi dunia di masa yang akan datang adalah sebuah keharusan bagi negara tersebut. Artinya, ada persilangan kepentingan yang sangat mungkin diperjuangkan juga oleh Rusia dan konteks tersebut membuat negara ini punya konsen dalam pergantian kekuasaan di negeri ini.

Ketakutan Jokowi?

Persoalan terbesar dalam kasus ini adalah apakah Jokowi sengaja atau tidak dalam kata-katanya tersebut. Jika tidak sengaja dalam konteks menghilangkan kata “ala” dari ucapannya yang merujuk pada model propagandanya saja – bukan Rusia sebagai negara yang aktif melakukan propaganda – maka sang presiden memang sudah bisa menduga akan ada dampak kegaduhan yang ditimbulkannya.

Secara politik kata-katanya tentu saja menyerang kubu Prabowo yang selama ini dituduh menggunakan firehose of falsehood yang adalah model propaganda ala Rusia itu. Namun, ada dampak lanjutannya jika ternyata pernyataan Jokowi tersebut membuat negara di utara Mongolia itu “tersinggung”.

Selain itu, Jokowi juga bisa dituduh menyebarkan hoaks – seperti yang belakangan diungkapkan oleh oposisi – dan dianggap melakukan fallacy karena mengungkapkan hal yang ambigu.

Lalu, bagaimana kalau Jokowi sebetulnya sengaja dalam pernyataan tersebut?

Jika ini yang terjadi, maka sang presiden tentu saja tengah “menggertak” dalam artian yang sesungguhnya. Pasalnya, isu Rusia ini telah menjadi gosip yang bertebaran di media sosial dalam beberapa waktu terakhir. Konteks itu ditambah “bumbu-bumbu” sikap sang lawan, Prabowo Subianto, yang terekam sebelum pidato kebangsaan beberapa waktu lalu menyalami Artem Turkin, seorang perwakilan dari Kedubes Rusia.

Selain itu, konteks Pilpres 2019 ini cenderung linear dengan apa yang terjadi di AS pada 2016 lalu dalam konteks penggunaan isu-isu kampanye. Sekalipun tuduhan keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS hingga kini masih cenderung “abu-abu” – beberapa pihak menyebutnya sebagai pelarian politik dari kubu yang kalah – namun, tetap saja ada hal serius yang bisa juga dimaknai di baliknya.

Pada akhirnya, sengaja atau tidaknya Jokowi, hanya sang presiden yang tahu.

Yang jelas, kisah peralihan kekuasaan yang telah terjadi sejak Alexander Agung wafat atau seperti di era perang suksesi kekuasaan negara Qi di Tiongkok kuno masih akan menjadi warna politik.

Sebab, sering kali semua hal berhubungan dengan propaganda – demikian kata Upton Sinclair di awal tulisan. Bahkan, kopi yang Anda minum pun tidak lepas dari propaganda. Selamat berpikir! (S13)

Exit mobile version