HomeHeadlineJokowi dan Sekuritisasi Minyak Goreng

Jokowi dan Sekuritisasi Minyak Goreng

Di tengah isu kelangkaan minyak goreng di masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya memberlakukan pelarangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Mengapa akhirnya Jokowi memutuskan demikian?


PinterPolitik.com

Tingginya harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) di pasar global (sekitar USD1.305 atau Rp18,2 juta per ton) memicu produsen minyak sawit domestik untuk menjual komoditasnya ke pasar global. Namun, hal tersebut ditengarai menyebabkan terganggunya pasokan minyak goreng dalam negeri. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor CPO pada 28 April 2022. 

Kemudian, pemerintah baru-baru ini mendetailkan aturannya dan menyebut bahwa produk yang dilarang untuk diekspor adalah semua produk meliputi CPO; red palm oil (RPO); refined, bleached, dan deodorized (RBD) palm olein; pome; dan used cooking oil. Harapannya, kebijakan ini dapat meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga minyak goreng di pasar domestik.

Kebijakan ini tentunya menuai pro dan kntra. Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan tindakan yang benar dan bagus karena polemik minyak goreng nasional sudah berjalan selama kurang lebih empat bulan terakhir. 

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa kebijakan tersebut adalah kebijakan yang frustrasi lantaran justru akan menimbulkan banyak masalah baru alih-alih menjadi sebuah solusi.

Pro dan kontra soal kebijakan ini tentu meninggalkan sejumlah pertanyaan tak terjawab di benak masyarkata. Lanta, sebenarnya apa hal yang melatarbelakangi kebijakan ini ditelurkan? Mengapa persoalan minyak goreng ini mendorong kebijakan larangan ekspor dari pemerintahan Jokowi?

Upaya Sekuritisasi ala Jokowi?

Pangan merupakan salah satu komponen kebutuhan dasar bagi masyarakat sehingga isu ketahanan pangan merupakan isu yang sangat krusial dalam konteks politik. Apabila menilik sejarah Indonesia, setidaknya terdapat dua peristiwa politik yang cukup besar dan erat kaitannya dengan permasalahan pangan nasional.

Jokowi Larang Ekspor Sawit

Pada tahun 1966 silam, misalnya, masyarakat merasakan kesulitan untuk mengakses pangan dikarenakan inflasi yang secara besar-besaran terjadi. Oleh karenanya, sebagian mahasiswa dan masyarakat Indonesia melakukan aksi unjuk rasa yang ditujukan kepada pemerintah dengan tiga tuntutan atau dikenal sebagai Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) – salah satunya adalah untuk menurunkan harga pangan.

Terbaru, pada 11 April 2022 lalu, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas menggelar aksi unjuk rasa kepada pemerintah dengan enam poin tuntutan. Salah satu tuntutan tersebut adalah menjaga kestabilan harga dan ketersediaan bahan pangan di masyarakat. 

Baca juga :  Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Tuntutan ini lantaran disebabkan oleh sulitnya akses masyarakat terhadap minyak goreng akibat kelangkaan serta mahalnya harga minyak goreng di pasar domestik. Polemik soal kelangkaan minyak goreng ini bahkan menciptakan kecurigaan akan permainan mafia tertentu di masyarakat.

Contoh-contoh tersebut mengindikasikan bahwa isu ketahanan pangan merupakan aspek yang penting guna menjaga stabilitas dalam negeri. Dengan demikian, isu ketahanan pangan bisa dikatakan juga telah bergeser menjadi isu keamanan. 

Pergeseran isu pangan menjadi isu keamanan ini bisa terjadi karena, pada dasarnya, menurut Barry Buzan yang mencetuskan konsep securitization (sekuritisasi), keamanan merupakan suatu kondisi yang mana manusia terbebas dari segala ancaman – termasuk ancaman yang mengganggu manusia untuk mengakses kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan pangan. Oleh karenanya, konsep keamanan telah meluas dari keamanan tradisional yang sifatnya pertahanan militer ke keamanan non-tradisional yang sifatnya merupakan hal-hal penopang kualitas hidup manusia.

Dalam konteks kelangkaan minyak goreng yang dirasakan oleh masyarakat, hal tersebut juga bisa diinterpretasikan sebagai sebuah ancaman yang perlu ditindaklanjuti – bahkan dengan cara-cara di luar kebiasaan atau dalam hal ini disebut sebagai sekuritisasi. Dalam praktiknya, sekuritisasi merujuk pada upaya atau kebijakan untuk menanggulangi suatu permasalahan dari penanganan yang ‘biasa’ menjadi penanganan yang luar biasa dan perlu penanganan khusus dari pemerintah – atau disebut sebagai extraordinary measures.

Erick Thohir Sebut Mafia Bibit di Kementan

Untuk melakukan sekuritisasi, diperlukan aktor yang dapat mengumumkan bahwa masalah tertentu merupakan hal yang urgent ditanggapi dengan extraordinary measures sehingga upaya sekuritisasi bisa mendapatkan legitimasi publik. Oleh sebab itu, Presiden Jokowi dengan kewenangan dan modal sosialnya dapat mendefinisikan kelangkaan minyak goreng sebagai sebuah ancaman sehingga diperlukan upaya sekuritisasi melalui pelarangan ekspor produk-produk minyak kelapa sawit oleh pemerintah. 

Apalagi, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang telah ditelurkan terbukti tidak efektif untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga dari minyak goreng di pasar domestik. Lantas, apakah upaya sekuritisasi tersebut tepat? Atau malah kebijakan ini justru akan menimbulkan blunder?

Jokowi Perlu Hati-hati?

Apabila kebijakan ini ditelurkan, tentu terdapat trade-off yang dampaknya perlu dicermati. Setidaknya, terdapat dua potensi dampak yakni dampak ekonomi dan dampak politik yang dapat ditilik. 

Terkait dengan dampak ekonomi, di tengah pertumbuhan ekonomi global yang lesu, kelapa sawit justru menjadi komoditas yang memiliki daya tahan harga yang luar biasa baik – bahkan harganya melejit walaupun daya beli masyarakat global menurun. Momentum ini mendatangkan keberkahan tersendiri bagi Indonesia yang tengah berupaya untuk memulihkan perekonomian nasional. 

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Sejak tahun 2021 lalu, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), nilai ekspor kelapa sawit mencapai USD35 miliar (sekitar Rp490 triliun). Jika kebijakan ini ditelurkan, upaya pemulihan ekonomi nasional akan mungkin terhambat – apalagi kelapa sawit telah menjadi salah satu tumpuan devisa negara.

Selain itu, petani sebagai salah satu aktor kunci dalam rantai produksi kelapa sawit menjadi salah satu pihak yang paling terdampak. Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari petani di berbagai daerah menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menjadi turun sekitar tiga puluh hingga lima puluh persen. 

Korporasi Sawit Dukung Jokowi 3 Periode

Kelapa sawit yang dihasilkan mayoritas diserap untuk ekspor terancam tidak terserap akibat kebijakan ini. Memang, stok kelapa sawit akan menjadi berlimpah sehingga akan membuat harga minyak goreng semakin terjangkau. Namun, kesejahteraan petani yang sangat dipengaruhi oleh harga TBS kelapa sawit akan terancam oleh pemberlakuan kebijakan ini. 

Terkait dengan dampak politik, sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia, hubungan perdagangan lewat kegiatan ekspor kelapa sawit dapat menjadi sumber soft power Indonesia yang bisa dimanfaatkan dalam kancah politik internasional.

Ekonomi menurut Sook Jong Lee dan Jan Melissen dalam bukunya berjudul Public Diplomacy and Soft Power in East Asia merupakan sumber soft power sehingga hubungan perdagangan juga termasuk sebagai sumber soft power. Disebut sebagai sumber soft power karena hubungan perdagangan dapat memperkuat keterikatan antara negara eksportir dan negara importir. 

Dalam konteks kebijakan pelarangan ekspor produk kelapa sawit, maka Indonesia berpotensi kehilangan salah satu sumber soft power yang potensial. Terlebih, kelapa sawit merupakan minyak nabati yang paling unggul dari sisi produksi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya sehingga pengaruh kelapa sawit begitu besar.

Presiden Jokowi sebenarnya sudah menyadari bahwa kebijakan ini akan menimbulkan beberapa dampak negatif. Namun, Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian, kebijakan ini dengan segala risikonya merupakan salah satu kebijakan yang cukup berani diambil oleh Presiden Jokowi.

Terlepas dari potensi-potensi dampak yang akan terjadi, perlu dipastikan bahwa kebijakan ini dapat menjadi sebuah solusi bagi rakyat. Alih-alih hanya sebagai bentuk lip service semata Presiden Jokowi guna meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah yang saat ini turun di angka 59,9 persen dibandingkan pada bulan Januari 2022 sebesar 75,3 persen menurut survei Indikator Politik. (V71)


Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan? 

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Mistikus Kekuatan Dahsyat Politik Jokowi?

Pertanyaan sederhana mengemuka terkait alasan sesungguhnya yang melandasi interpretasi betapa kuatnya Jokowi di panggung politik-pemerintahan Indonesia meski tak lagi berkuasa. Selain faktor “kasat mata”, satu hal lain yang bernuansa dari dimensi berbeda kiranya turut pula memengaruhi secara signifikan.

Ketika Chill Guy Hadapi PPN 12%?

Mengapa meme ‘Chill Guy’ memiliki kaitan dengan situasi ekonomi dan sosial, misal dengan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada Januari 2025?

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

More Stories

Sulit Jokowi Selesaikan Isu Papua

Di tengah pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan penyelesaian persoalan Papua dan...

Meramal #ReformasiDikorupsi Jilid 2

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali tuai kontroversi di masyarakat pada tahun 2021. Padahal, pada tahun 2019 silam, RKUHP menjadi salah satu rancangan...

Siasat Sri Mulyani di Pajak Karbon

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memunculkan sinyal bahwa pemerintah berencana untuk memberlakukan pajak karbon pada individu ataupun badan usaha yang memiliki barang atau...