[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #32]
Beberapa hari terakhir masyarakat internasional kembali dikejutkan oleh peristiwa kudeta militer yang terjadi di Myanmar. Aung San Suu Kyi dan partainya National League for Democracy yang tengah berkuasa di negeri itu harus menerima kenyataan dikudeta oleh militer. Ini tentu menjadi pembalikan situasi di negara tersebut setelah pada 2015 lalu untuk pertama kalinya sejak 54 tahun Myanmar memiliki presiden yang bukan berasal dari militer. Peristiwa ini juga menjadi refleksi besar hubungan legitimasi kekuasaan yang dihasilkan oleh demokrasi dengan posisi militer di dalamnya.
“Political power grows out of the barrel of a gun”.
:: Mao Zedong, pemimpin komunis Tiongkok::
Kembali berkuasanya junta militer di negara ini memang melahirkan banyak perdebatan tentang bagaimana simpul politik yang melibatkan militer di dalamnya akan punya kecenderungan untuk berputar ulang kembali ke masa kejayaannya setelah untuk beberapa waktu demokrasi dengan masyarakat sipil sebagai sentral utamanya berhasil ditegakkan.
Hal ini juga menjadi refleksi tentang bagaimana posisi militer dalam politik dan kekuasaan harus dimaknai, baik dalam konteks politik domestik sebuah negara, maupun dalam konteks hubungan internasional.
Menariknya, pembacaan situasi terkait posisi militer juga saat ini tengah menjadi topik perbincangan utama di Indonesia beberapa hari terakhir, terutama pasca ribut-ribut terkait isu kudeta yang menimpa Partai Demokrat. Tuduhan yang mengemuka adalah bahwa kudeta tersebut melibatkan sosok mantan Panglima TNI Moeldoko.
Sang jenderal itu kini menjabat sebagai Kepala Staf Presiden (KSP) di kabinet Presiden Jokowi dan oleh beberapa pihak dianggap sebagai salah satu sosok militer utama yang menjamin legitimasi kekuasaan Jokowi sejak pertama kali menjabat pada 2014 lalu.
Baca juga: Tuah Moeldoko Lampaui Luhut
Konteks tersebut beralasan mengingat Jokowi bukan berlatar belakang militer dan bukan pula penguasa partai. Moeldoko yang kala itu masih menjabat sebagai Panglima TNI dipercaya menjadi salah satu alasan posisi Jokowi tetap kokoh di pucuk kekuasaan berkat dukungan dari militer.
Pertanyaannya tentu saja adalah dengan santernya isu kudeta Partai Demokrat yang disebut-sebut merupakan bagian dari rencana besar Moeldoko untuk mencalonkan diri di Pilpres 2024 – demikian yang digembar-gemborkan oleh kader-kader partai tersebut – akankah di ujung pemerintahan Presiden Jokowi kita akan menyaksikan kembali pembalikan kekuasaan militer ke tempat teratas kepemimpinan di negara ini?
Kemudian seperti apa akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani melihat fenomena kekuasaan militer ini?
Demokrasi dan Konsensus Militer
“Dalam demokrasi, militer tidak boleh mengesampingkan keinginan masyarakat”. Demikian kata-kata Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebagai tanggapannya atas apa yang terjadi di Myanmar. Pernyataan Biden tersebut memang menjadi gambaran umum bagaimana militer seharusnya diposisikan dalam demokrasi, yakni tidak boleh ada di seberang keinginan masyarakat.
Jika Pemilu dianggap sebagai perwujudan dari konsensus bersama terkait pemilihan pemimpin, maka konsensus tersebut sudah selayakanya mendapatkan penghormatan tertinggi.
Ini senada dengan kata-kata Menteri Pertahanan AS di era kepemimpinan Presiden Ronald Reagan, Caspar W. Weinberger. Dalam salah satu sambutannya di hadapan National Press Club pada November 1984, ia menyebutkan bahwa demokrasi yang berhasil adalah yang mampu mendapatkan konsensus atas dukungan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.
Artinya, militer bisa menjadi bagian dari dukungan terhadap konsensus tersebut. Jika demokrasi dan kepentingan nasional menjadi hal yang utama, maka militer seharusnya berdiri untuk mendukung pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Di sisi yang berbeda, kondisi di Myanmar saat ini sebenarnya pernah “hampir” terjadi di AS juga pasca Pilpres 2020 lalu. Pasalnya, kandidat petahana Donald Trump kala itu juga menuding adanya kecurangan Pemilu dalam kekalahan yang ia alami.
Menariknya, sempat beredar desas-desus Trump akan menggunakan Martial Law – yakni perangkat hukum yang memungkinkan militer mengambil alih fungsi-fungsi pemerintahan atau menunda sementara pelaksanaan hukum sipil. Desas-desus tersebut muncul pasca penyerangan Capitol Building yang dilakukan oleh pendukung sang petahana sendiri.
Sementara dalam konteks yang lebih besar, walaupun disebut harus patuh pada konsensus dan mendukung demokrasi, nyatanya peran militer juga membantu menjaga stabilitas internasional. Ini misalnya disampaikan oleh Kishore Mahbubani untuk menggambarkan peranan besar militer AS dalam panggung politik internasional.
Baca Juga: Gatot, Anomali Eks Panglima?
Menurutnya, militer AS adalah “hadiah besar” yang diberikan kepada dunia untuk melahirkan stabilitas politik akibat aturan tidak langsung yang dihadirkannya. Contohnya, akibat posisi militer AS yang kuat, tak ada negara yang berani untuk memprivatisasi atau memberlakukan tarif tol di jalaur-jalur pelayaran laut yang melewati negara tertentu. Pasalnya, jika ada negara yang berani, maka sudah pasti mereka akan langsung berhadapan dengan militer AS. Pada titik ini, militer memberikan legitimasi pada kekuasaan AS secara internasional.
Walaupun berbeda antara konteks domestik dan internasional, yang jelas kata kunci utama dari posisi militer di dua kondisi tersebut adalah terkait legitimasi. Secara domestik, walaupun tetap ada dalam koridor penghormatan terhadap konsensus kekuasaan sipil, militer tetap menjadi alasan legitimasi kekuasaan pemerintahan terpilih.
Artinya, posisi militer seharusnya hand in hand dengan pemerintahan yang dihasilkan oleh sebuah proses demokrasi. Dalam konteks internasional, hal tersebut diwujudkan dengan pemenuhan kepentingan nasional yang diperjuangkan oleh pemerintahan sah yang sedang berkuasa di suatu negara dalam panggung politik antarnegara.
Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa militer hanya akan kembali menjadi pemain utama dalam panggung politik jika konsensus tersebut dilanggar, sehingga menandai berakhirnya legitimasi pemerintahan sipil. Konteks ini bisa terjadi mengingat militer – dengan konteks penguasaannya atas senjata – memampukannya menjadi satu-satunya institusi yang punya power tanpa batas.
Ini sesuai misalnya dengan kata-kata yang pernah disampaikan oleh pemimpin tertinggi Tiongkok, Mao Zedong bahwa political power grows out of the barrel of a gun. Kekuasaan politik bertumbuh keluar dari ujung senjata. Inilah yang memungkinkan peristiwa seperti di Myanmar bisa terjadi lagi, pun di AS sendiri yang desas-desusnya juga sempat muncul kembali ke permukaan di akhir era kekuasaan Trump.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Militer di Balik Legitimasi Jokowi
Indonesia pernah mengalami era panjang ketika legitimasi kekuasaan sipil digantikan oleh militer, tepatnya di era pemerintahan Soeharto. Pasca reformasi di 1998, militer kemudian menarik diri dan Indonesia ada dalam konsensus bersama tentang kekuasaan sipil di panggung politik nasional.
Walaupun demikian, legitimasi kekuasaan sipil masih sangat bergantung pada posisi militer. Di era Presiden Jokowi misalnya, sebagai tokoh politik yang tidak berlatarbelakang penguasa partai, elite, maupun militer, mantan Wali Kota Solo itu sesungguhnya mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari militer.
Baca Juga: Operasi Intelijen di Balik Kudeta Demokrat
Strategi Jokowi ini salah satunya diungkapkan oleh Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia. Menurutnya, Jokowi menggunakan TNI – terutama Angkatan Darat – untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya saat awal-awal menduduki kursi kekuasaan tertinggi di negeri ini. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah.
Untuk tujuan tersebut, maka posisi Moeldoko menjadi sangat sentral. Jokowi mulai menjabat saat Moeldoko masih duduk sebagai Panglima TNI. Artinya, momentum kedekatan keduanya merupakan basis legitimasi kekuasaan sang presiden. Konteks kedekatan tersebut masih tetap punya pengaruh hingga saat ini dan bahkan bisa sangat menentukan kekuasaan selanjutnya.
Desas-desus yang terjadi di seputaran isu kudeta Partai Demokrat dengan Moeldoko sebagai salah satu sentralnya adalah bukti masih besarnya pengaruh Moeldoko. Tinggal pertaruhannya adalah apakah posisi Moeldoko sebagai mantan Panglima TNI masih bisa dianggap linear dengan kekuasaan militer atau tidak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.