Reaksi dingin pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha atas demonstrasi paling radikal sepanjang sejarah negeri Gajah Putih dinilai menyiratkan bahwa protes tersebut seolah tak terlalu dihiraukan saat ini. Lantas, adakah keterkaitan fenomena tersebut dengan berbagai kritik terhadap pemerintah di tanah air yang juga seolah tak didengarkan selama ini?
Peristiwa bersejarah sedang terjadi di negeri tetangga, Thailand. Sebuah rangkaian demonstrasi sejak awal Februari lalu terus berlangsung hingga saat ini dan bahkan membawa tuntutan yang selama ini menjadi tabu untuk dikemukakan.
Ya, puluhan ribu demonstran yang mayoritas kaum muda tak hanya menuntut reformasi pemerintah, tetapi juga merembet pada tuntutan untuk mengurangi peran Raja dalam konstitusi.
Para pemrotes dinilai sangat berani karena selama ini monarki Thailand merupakan sebuah institusi paling sakral yang tak bisa disentuh dan sangat dicintai, bersanding dengan agama dan negara.
Oleh karenanya, Kanokrat Lertchoosakul, seorang dosen ilmu politik dari Chulalongkorn University Bangkok menyebut bahwa tuntutan ini merupakan yang paling radikal dalam sejarah politik Thailand.
Namun anehnya, respon pemerintah Thailand di bawah Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha dinilai cenderung tak “seagresif” biasanya jika berkaca pada bagaimana pemerintah memperlakukan berbagai bentuk protes yang pernah terjadi di negeri Gajah Putih sebelumnya.
Salah satunya adalah pemberlakukan martial law atau darurat militer yang menjadi hal lumrah di Thailand dalam merespon sebuah demonstrasi besar dan tak jarang berujung jatuhnya korban jiwa seperti yang terjadi pada tahun 2010 dan 2014.
Terkini, PM Prayuth terkesan mengizinkan protes terjadi namun tak bereaksi pada substansial persoalan, dengan menggeser justifikasi pada fokus penanganan pandemi Covid-19.
Begitu pun dengan respon kerajaan di bawah kuasa Raja Maha Vajiralongkorn yang merasa tidak terganggu oleh “protes anak-anak” dan mengatakan bahwa pemrotes harus diizinkan menyampaikan pendapat mereka.
Sayangnya, reaksi pemerintah dan kerajaan ini di sisi berbeda dinilai meninggalkan impresi bahwa substansi dari suara dan protes mereka sesungguhnya tak terlalu dihiraukan.
Sebuah impresi yang dinilai juga merupakan realita di tanah air ketika berbagai bentuk kritik rakyat terhadap pemerintah dinilai jamak tak dihiraukan dan tak ditransformasikan menjadi sebuah perbaikan kebijakan.
Paling tidak sejak demonstrasi mahasiswa pada tahun lalu mengenai sejumlah regulasi kontroversial yang tampaknya tak satupun direfleksikan berupa perbaikan secara nyata sampai saat ini, hingga jamak tak dihiraukannya berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 seolah membuat publik lelah secara batin.
Lantas dengan similaritas impresi yang ada, apakah terdapat keterkaitan antara fenomena politik yang terjadi di Thailand dan Indonesia? Serta mengapa impresi dari tak dihiraukannya suara dan kritik publik terhadap pemerintah tersebut bisa terjadi?
Bendung Demokrasi Sejak Awal?
Resistensi politik yang berujung pada demonstrasi “radikal” di Thailand dinilai merupakan akumulasi dari semakin tertekannya kritik saat salah satu partai oposisi Phak Anakhot Mai atau Future Forward Party (FFP) dibubarkan pengadilan atas kasus pendanaan partai.
Tudingan bahwa pembubaran beraroma politis sontak mengemuka karena FFP merupakan pihak yang sangat vokal dalam menentang rezim junta militer dan membuat kehidupan sosial dan politik Thailand mengalami jalan buntu selama 15 tahun meski terdapat saluran demokratis seperti pemilu.
Pembubaran FPP kemudian jamak dianggap merupakan pemantik paling signifikan dari aksi massa yang telah berlangsung sekitar tujuh bulan terakhir. Ihwal yang juga kemudian berkembang pada narasi ketidakpercayaan pada pemilu 2019, hingga mosi mempertanyakan peran konstitusional kerajaan.
Gejala yang terjadi di Thailand sendiri dinilai dapat dipahami sebagai terciptanya sebuah illiberal democracy atau demokrasi illiberal. Frasa tersebut menjadi yang ditonjolkan Fareed Zakaria dalam publikasinya yang berjudul The Rise of Illiberal Democracy.
Demokrasi illiberal sendiri menjelaskan situasi ketika sistem pemerintahan membuka saluran demokrasi seperti pemilu, namun warga negara seolah terputus dari pengetahuan tentang kegiatan dijalankannya kekuasaan pemerintah karena kurang atau tertekannya kebebasan sipil.
Artinya, fungsi keterwakilan atau hubungan dua arah antara pemerintah dan masyarakatnya menjadi samar atau bahkan tak terjadi.
Sementara Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga acapkali dianggap merepresentasikan gejala seperti apa yang disebutkan Zakaria. Tom Power dalam Jokowi’s Authoritarian Turn menyebut bahwa Presiden Jokowi memilih memerintah dengan memobilisasi peran lebih atas militer, melakukan represi terhadap pengkritik, dan menggunakan instrumen hukum sebagai “senjata politik” untuk mengontrol oposisi.
Power lantas mengatakan karakteristik pemerintahan di bawah kendali eks Wali Kota Solo tersebut sebagai pemicu terjadinya demokrasi yang illiberal di Indonesia yang meninggalkan preseden berbahaya.
Meskipun tipe rezim dan sistem pemerintahan Thailand dan Indonesia memiliki perbedaan, Zakaria menyebut bahwa demokrasi illiberal dapat terjadi di negara yang memang berkarakter demokratis maupun negara berfundamental otoriter.
Hal tersebut dikarenakan rezim otokratis pun dapat mencoba menunjukkan kecenderungan liberal palsu untuk mengkonsolidasikan kelanggengan kekuasaan mereka.
Karenanya, tak keliru kiranya jika menyebut dinamika politik yang terjadi di kedua negara tampak memiliki benang merah tersendiri pada konteks berlangsungnya proses politik dan pemerintahan kekinian.
Hal tersebut juga kemudian dinilai dapat menjadi pintu masuk untuk memahami mengapa muncul impresi bahwa pada akhirnya pemerintah seolah tak menghiraukan berbagai bentuk kritik dan protes yang mengemuka.
Sadar Miliki Total Authority?
Selain kecenderungan fundamental atas terciptanya sebuah demokrasi illiberal, ihwal pada bagaimana pemerintah mendefinisikan kritik dan protes itu sendiri juga dinilai memainkan peran penting.
Moisés Naím dalam Why Street Protests Don’t Work mengamati bagaimana protes dan unjuk rasa di berbagai belahan dunia saat ini jamak yang tak menemui cita-cita luhurnya.
Mengutip Zeynep Tufekci, hal tersebut dikarenakan peran teknologi dan informasi yang menjadi alat konsolidasi massa justru membuat jarang tercipta gerakan konkret yang permanen dalam melakukan tugas politik yang kompleks untuk mengawal tuntutan secara konsisten.
Hasilnya, tujuan kolektif untuk berkontribusi bagi perbaikan nyata dalam kebijakan politik dan pemerintahan menjadi urung terlaksana. Berbeda dengan era saat absennya peran teknologi informasi di mana sensitivitas terhadap sensor pemerintah dan pengorganisasian protes secara tradisional turut membuat momentum dan energi politik tetap berjalan.
Naím pun menyebut kegagalan gerakan massa yang terjadi di Bangkok, Thailand pada tahun 2014 sebagai salah satu sampel dari tendensi bahwa kritik dan protes di era kontemporer dapat melemah dan kehilangan taring dengan sendirinya.
Sementara di Indonesia, selain tercermin pada demo mahasiswa di tahun 2019, munculnya Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan narasi yang belum benar-benar terarah pun dinilai membuat esensi sebuah kritik menjadi kehilangan daya magisnya.
Selain itu, para pemimpin di berbagai belahan dunia juga tampaknya mulai menyadari bahwa dalam berkuasa, mereka sesungguhnya bisa saja berpegang pada konsep total authority.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merupakan sosok yang mengejawantahkan konsep tersebut. Pada April lalu, Trump menyebut bahwa sebagai presiden, dirinya memiliki total authority yang dijamin konstitusi dalam menerapkan berbagai kebijakan.
Oleh karenanya, selain menyadari bahwa substansi kritik seringkali kehilangan taring dan efektivitas dengan sendirinya, para pemimpin juga dianggap mulai menganggap bahwa mereka dapat mendefinisikan total authority atas kekuasaannya, yang kemudian membuat tak dihiraukannya kritik dan protes menemui kausa terkuatnya.
Terlebih lagi, jika sang pemimpin menyadari bahwa mereka memiliki basis kekuatan atau koalisi politik yang kuat. Pada konteks Thailand dan Indonesia saat ini, kedua pemimpin juga dinilai memiliki kekuatan semacam ini.
PM Prayuth sendiri merupakan petahana dan memiliki beking kuat dari kalangan militer, plus selama ini juga didukung penuh oleh kerajaan. Sementara Presiden Jokowi tampaknya berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan politik yang besar, bahkan gerbong politiknya turut mendominasi parlemen.
Kombinasi efektivitas kritik kekinian yang cenderung lemah, kepercayaan diri pemimpin akan total authority, serta basis kekuatan politik yang mumpuni dinilai membuka kecenderungan kuat bagi adanya impresi pengabaian protes dan kritik terhadap kekuasaan.
Akan tetapi, impresi tersebut belum tentu dianut baik oleh PM Prayuth maupun Presiden Jokowi. Yang jelas, pada hakikatnya bentuk protes dan kritik positif apapun dari rakyat harus tetap diserap dan diartikulasikan oleh seorang pemimpin ke dalam perbaikan kebijakan di sebuah tatanan politik dan pemerintahan yang konstruktif. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.