Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Populisme Batu Bara

Produsen batu bara ramai setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang sementara ekspor batu bara (Foto:BPMI Setpres)

Publik dihebohkan dengan kebijakan pemerintah yang tiba-tiba saja ingin memberhentikan ekspor batu bara dari tanggal 1 sampai 31 Januari 2022. Meskipun diklaim untuk memenuhi stok dalam negeri, kebijakan ini dianggap dapat merugikan produsen batu bara. Mengapa hal ini bisa terjadi? 


PinterPolitik.com 

Belum lama ini, pemerintah mengumumkan akan menghentikan ekspor batu bara dari tanggal 1 sampai 31 Januari 2022. Kebijakan yang datang secara mengejutkan ini muncul setelah adanya laporan dari PT PLN (Persero) bahwa stok batu bara untuk pembangkit listrik dalam kondisi kritis. 

Berdasarkan data PLN, realisasi pemenuhan kebutuhan batu bara untuk ketenagalistrikan dalam negeri hanya mencapai 93,2 juta ton hingga Oktober 2021. Sementara, kebutuhan pasokan komoditas mencapai 137,2 juta ton hingga akhir 2021 kemarin.  

Artinya, realisasi pasokan yang diterima PLN hanya sekitar 67,8 persen. Sehingga masih terjadi gap atas realisasi pemenuhan batu bara, dengan kewajiban pemenuhan batu bara dalam negeri. 

Sebagai respons, pihak pengusaha dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melempar kritik keras. Ketua Umum (Ketum) KADIN, Arsjad Rasjid mengatakan pengestopan ekspor ini juga berpotensi merugikan pengusaha batu bara karena banyak perusahaan batu bara nasional yang juga terikat kontrak dengan luar negeri.  

Arsjad mengatakan ini akan mengganggu iklim investasi di Indonesia. Minat investor di sektor pertambangan, mineral dan batu bara akan hilang, karena dianggap tidak bisa menjaga kepastian berusaha bagi pengusaha. Terlebih lagi saat ini perekonomian nasional sempat mengalami percepatan pemulihan akibat meledaknya komoditas yang sangat dibutuhkan pasar global, salah satunya batu bara. 

Terkait kelangkaan pasokan, Arsjad mengatakan tidak semua PLTU grup PLN termasuk mengalami kondisi kritis persediaan batu bara. Ditambah lagi, mengetahui bahwa kebutuhan PLN adalah kurang dari 50 persen dari jumlah produksi nasional dan pemberlakuan sistem ini akan mengurangi pendapatan penerimaan negara bukan pajak (PNPB) serta pelaku bisnis harus menanggung biaya yang cukup signifikan. 

Lantas, mengapa pelarangan ekspor batu bara yang menghebohkan ini bisa terjadi? 

Baca juga: Mampu Indonesia Lepas dari Batu Bara?

Bentuk Populisme dan Solusi Serba Instan? 

Untuk dapat menggali permasalahan ini lebih lanjut, kita perlu mengetahui akar utama terjadinya kebijakan pengestopan ekspor batu bara, yaitu polemik skema Domestic Market Obligation (DMO). 

Sederhananya, dengan kebijakan DMO, perusahaan batu bara diwajibkan menyisihkan sebagian produksi batu baranya untuk kebutuhan dalam negeri, melalui PLN. Dari totalnya, pemerintah menetapkan target DMO mencapai persentase 25 persen setiap tahun, dengan harga batu bara yang dijual ditetapkan sebesar US$ 70 per ton.  

Dalam lima tahun terakhir, target tersebut hanya pernah tercapai satu kali, yaitu pada tahun 2018, dengan angka 27 persen. Sementara untuk tahun 2021 sendiri, DMO hanya terealisasi pada angka 10 persen. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kaltim Christianus Benny mengatakan ada 418 perusahaan per Oktober 2021 yang belum sama sekali atau 0% menjalankan DMO untuk PLN. 

Namun, layaknya koin dua wajah, para pengusaha batu bara yang selama ini selalu menjadi pihak yang sering dijadikan korban, sekaligus disalahkan, juga memiliki alasan kenapa sebagian dari mereka kesulitan mencapai ambang batas DMO yang ditetapkan pemerintah.  

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, dengan harga US$70 per ton dan kewajiban menyetor sebagian besar produksi batu bara ke PLN, pihak produsen batu bara cukup dirugikan, karena jika dibandingkan dengan harga permintaan internasional yang saat ini mencapai angka ratusan dolar per ton, akan jauh lebih efektif jika menjual batu bara ke luar negeri.  

Dengan demikian, terjadi disparitas antara harga batu bara domestik dan internasional. Di saat harga batu bara internasional melambung, PLN selalu mengeluh pasokan terkendala, tapi saat harga internasional rendah, pengusaha mengeluh karena mereka ingin jual ke PLN tapi slotnya tidak tersedia.  
 

Poin kerugian yang kedua adalah, tidak seluruh produsen batu bara memiliki kemampuan memenuhi biaya logistik demi memenuhi ambang batas DMO karena banyak produsen yang per bulannya hanya menghasilkan ribuan ton. Direktur Eksekutif Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan perkara seperti ini telah menyebabkan persoalan logistik di internal produsen. 

Sebagai contohnya, PLN tidak menyediakan loading facility, padahalkarakteristik setiap pembangkit berbeda-beda. Fabby menilai ini yang secara detail harus diatur dan disiapkan oleh pemerintah atau PLN. 

Dari pemaparan di atas, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya DMO telah menarik kesalahan tidak hanya dari pengusaha, tetapi juga pemerintah karena luput melihat variabel-variabel yang dapat merugikan pengusaha. Menariknya, isu pengestopan ekspor batu bara digemborkan merupakan akibat dari “kejahatan” pengusaha karena enggan memenuhi kebutuhan DMO. 

Apa yang dilakukan pemerintah menggambarkan yang dimaksud dengan konsep populisme dari ilmuwan politik, Cas Mudde. Dalam bukunya Populism: A Very Short Introduction, Mudde mengatakan bahwa aktor politik yang berpandangan seperti ini mengerucutkan masyarakat menjadi dua jenis kelompok, yaitu rakyat dan kelompok elite.  

Untuk mendapatkan legitimasi dari negara, aktor politik yang populis membuat narasi yang mengatakan bahwa kelompok elite adalah sosok antagonis yang bertindak selalu ingin merugikan negara, dan berkeyakinan bahwa manuver politik yang ia lakukan merupakan ekspresi dari kehendak umum rakyat. 

Padahal, kalau kita ingin melihat secara luas, pengusaha batu bara pun juga adalah bagian dari rakyat Indonesia. Di sisi lain, mereka bahkan turut berkontribusi pada perekonomian Indonesia. 

Fenomena yang kedua adalah, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga melihat pengestopan ekspor batu bara sebagai solusi paripurna yang instan, padahal sesungguhnya telah melahirkan masalah baru. Mark E. Van Buren dan Todd Safferstone dalam tulisannya The Quick Wins Paradox menjelaskan bahwa solusi instan yang merugikan muncul dari ketidakmampuan pemimpin dalam menangani lima faktor.  

Pertama, takut akan kritik; kedua, terlalu cepat berkesimpulan; ketiga, lemah dalam manajemen mikro; keempat, enggan menerima masukan dari pemangku kepentingan lain; dan kelima, luput dalam melihat konsekuensi berantai yang dapat terjadi.  

Bagaimanapun juga, kebijakan embargo ekspor ini sudah terjadi. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana konsekuensinya pada perdagangan internasional? 

Baca juga: Siasat Luhut ‘Lenyapkan’ Batu Bara

Mencederai Kepercayaan Internasional? 

Arsjad Rasjid mengatakan bahwa pengestopan ini berpotensi besar merusak iklim investasi indonesia, dan juga dapat mencoreng nama baik Indonesia dalam aspek perdagangan internasional. Benarkah anggapan demikian? 

Well, perlu diketahui bahwa Indonesia meskipun produksi kita masih di bawah India dan Tiongkok, Badan Energi Internasional (IEA) mencatat pada tahun 2020 bahwa Indonesia telah menjadi negara eksportir batu bara terbesar di dunia dengan nilai ekspor sebesar 405 juta ton. Gelar ini bertambah penting ketika negara-negara di dunia mulai kembali beralih ke batu bara sebagai sumber daya energi dari sumber-sumber energi terbarukan. 

Baca juga: Jokowi Lawan Uni Eropa Karena Tiongkok

Pada dasarnya, pelarangan ekspor batu bara yang dilakukan Indonesia adalah bentuk dari proteksionisme. Menurut Adam Smith, kebijakan proteksionis dapat melindungi produsen, pengusaha, dan pekerja dari persoalan domestik maupun internasional. Namun, kebijakan ini juga mengurangi intensitas perdagangan, dan dapat merugikan konsumen serta produsen di sektor ekspor, baik di negara yang menerapkan kebijakan proteksionis, maupun di negara yang bergantung pada ekspor tersebut. 

Kerugian ini kemudian dapat diperparah dengan status Indonesia sebagai negara berkembang, yang masih mengandalkan ekspor untuk perkembangan ekonomi. Untuk jangka pendeknya, ini bisa mencederai kepercayaan investor asing pada kesepakatan perdagangan yang sesungguhnya masih perlu dilakukan Indonesia.  

Lalu, untuk jangka panjangnya, tentu kebijakan seperti ini juga dapat merusak sistem perdagangan antar negara di dunia, khususnya yang berkaitan dengan batu bara. Indikasi awalnya sudah ada, dengan kabar bahwa ada penekanan dari Jepang yang meminta agar Indonesia melepas kebijakan embargo ekspor batu bara. 

Pada akhirnya, pemerintah perlu ingat kembali bahwa kita hidup dalam zaman yang penuh dengan adanya interdependensi atau saling ketergantungan ekonomi. Dalam perekonomian internasional, keharmonisan prinsip interdependensi ini sangat penting untuk dijaga karena apa yang dilakukan satu negara eksportir besar, seperti Indonesia, juga akan berdampak pada negara lain, terlebih lagi jika merugikan negara tersebut.  

Perdagangan internasional modern tidak lagi hanya perlu dilihat dari aspek ekonomi saja, tetapi juga sudah memiliki pengaruh langsung pada politik internasional. 

Hal ini karena kontribusi kita dalam perdagangan internasional telah menjadi bentuk soft power, atau daya tawar negara yang muncul dari adanya kerja sama ekonomi. Jika kita mencederai interdependensi internasional terhadap suatu kebutuhan sumber daya, maka wajar jika daya tawar negara kita pun ke depannya kemungkinan akan ikut tercoreng. (D74) 

Baca juga: Di Balik Jokowi dan Pengusaha Batu Bara

Exit mobile version