Bank Indonesia (BI) menerbitkan uang baru dengan nilai Rp 75 ribu guna memperingati HUT ke-75 Kemerdekaan RI. Namun, adakah makna politik dalam uang baru ini?
“A thousand words leave not the same deep impression as does a single deed.” – Henrik Ibsen, dramawan dan sutradara teater asal Norwegia
Peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia memang menjadi momen yang spesial bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Hampir setiap tahun, masyarakat akan merayakan hari tersebut dengan sejumlah perlombaan di kampung masing-masing.
Suasana semarak mungkin akan selalu diidentikkan dengan tanggal 17 Agustus ini. Berbagai lomba asyik – dari balap karung, makan kerupuk, hingga panjat pinang – menjadi simpul penanda bahwa kerukunan tetap terjalin di antara masyarakat Indonesia.
Tidak hanya perlombaan, momen-momen Proklamasi Kemerdekaan yang terjadi pada 75 tahun yang lalu ini juga selalu diperingati dengan upacara di berbagai tempat – dari sekolah, perkantoran, hingga Istana Kepresidenan.
Namun, suasana semarak tersebut harus tertunda terlebih dahulu pada tahun 2020 ini. Pasalnya, ancaman pandemi Covid-19 hingga kini masih menjadi marabahaya yang harus diwaspadai oleh masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mungkin, momen pandemi ini turut menjadi pengingat bagi Indonesia bahwa para pejuang di masa lampau juga menghadapi persoalan-persoalan yang menyangkut hidup dan mati. Perjuangan yang akhirnya berujung pada Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 ini mungkin patut menjadi teladan bagi Indonesia di masa kini.
Ilham dan inspirasi inilah yang bisa jadi ingin disematkan oleh Bank Indonesia (BI) dan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Beberapa waktu lalu, BI mengumumkan penerbitan uang kertas baru dengan nominal senilai Rp 75 ribu.
Nuansa persatuan dan pembangunan akan sangat terasa bila mengamati uang kertas ini. Bagaimana tidak? Di bagian belakang uang ini, terdapat gambar sejumlah anak kecil yang mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah Indonesia – melambangkan keanekaragaman masyarakat Indonesia.
Selain itu, di bagian depan, sejumlah infrastruktur nasional turut terpampang – mulai dari Ratangga Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, Jembatan Youtefa, hingga jalan tol Trans-Jawa. Kabarnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menganggap munculnya infrastruktur-infrastruktur ini sebagai wujud pembangunan Indonesia hingga HUT ke-75 ini.
Meski begitu, keputusan untuk mengeluarkan uang baru ini tetap menyisakan pertanyaan di benak masyarakat. Mengapa BI memutuskan untuk menerbitkan pecahan Rp 75 ribu? Apa ada alasan politik dan ekonomi di baliknya?
Ikonografi dalam Uang
Apa yang dikatakan oleh Perry mengenai ikon-ikon yang muncul dalam pecahan Rp 75 ribu ini bisa saja benar. Pasalnya, pecahan uang kerap digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan politik tertentu.
Hal ini sejalan dengan ungkapan umum yang ada dalam Bahasa Inggris. “A picture is worth a thousand words,” begitu bunyi ungkapan tersebut.
Andrew Champagne dalam tulisannya yang berjudul At the Intersection of Place Branding and Political Branding setidaknya juga menjelaskan mengenai pentingnya gambar dalam cetakan uang. Menurutnya, uang (banknote) kerap digunakan oleh pemerintah untuk menyalurkan pesan-pesan politik.
Champagne pun mencontohkan beberapa negara yang menggunakannya, seperti Kanada, Argentina, dan Inggris (United Kingdom).
Dalam kasus Kanada, Champagne menceritakan bahwa Bank of Canada pada tahun 2004 merilis sebuah cetakan uang yang memasukkan budaya bangsa asli asal Kanada – terutama Haida First Nation. Keputusan tersebut dianggap revolusioner karena akhirnya dapat memberikan kesempatan pada masyarakat Kanada untuk berbincang soal sejarah dan budaya negaranya.
Champagne menganggap keputusan Kanada kala itu sebagai hal yang sejalan dengan pola dan nilai politik yang dianut negara tersebut. Namun, keputusan itu juga dinilai sejalan dengan kebijakan Perdana Menteri (PM) Paul Martin.
Martin kala itu sedang menjalani negosiasi dengan komunitas bangsa asli Kanada guna menghasilkan kebijakan sosial dan ekonomi yang lebih inklusif. Kesepakatan yang tercapai kala itu disebut sebagai Kelowna Accord.
Apa yang terjadi di Kanada ini merefleksikan nilai-nilai politik yang dianut oleh pemerintah tersebut. Pasalnya, di pemerintahan berikutnya yang bersifat konservatif, kesepakatan tersebut tidak dilanjutkan.
Perdebatan ikon dalam uang ini juga terjadi di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun terakhir ini. Pada pemerintahan Barack Obama, AS berencana menerbitkan uang yang bergambar Harriet Tubman – seorang perempuan Afrika-Amerika.
Rencana tersebut disambut baik karena dianggap menjadi ikon inklusivitas bagi perempuan dan komunitas Afrika-Amerika. Bagaimana tidak? Sebelumnya tidak ada tokoh perempuan yang muncul dalam desain cetakan dolar AS.
Namun, keputusan itu akhirnya tidak dilanjutkan di bawah pemerintahan Donald Trump yang konservatif. Trump menganggap sosok Andrew Jackson di pecahan uang 20 dolar AS tidak perlu digantikan dengan Tubman.
Politik seputar cetakan uang ini memang wajar. Pasalnya, menurut Champagne, uang kerap menjadi medium komunikasi massal yang sangat berarti – mengingat uang yang dipergunakan dapat dicetak dalam jumlah besar.
Bila berkaca pada apa yang terjadi di Kanada dan AS, apakah mungkin pemerintahan Jokowi juga menginginkan adanya kegunaan medium komunikasi via uang juga? Kira-kira, pesan politik apa yang ingin disampaikan dalam pecahan baru Rp 75 ribu itu?
Di Balik Uang 75 Ribu
Bila berkaca pada fungsi ikonografi dalam uang yang terjadi di Kanada dan AS, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi ingin menjadikan uang sebagai medium komunikasi massal juga. Hal ini juga terlihat dari bagaimana uang ini memiliki unsur dan gambar terkait persatuan dan pembangunan Indonesia.
Di sisi belakang pecahan Rp 75 ribu tersebut, misalnya, terdapat sejumlah figur anak-anak yang mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah. Selain itu, di bagian atas gambar tersebut, terdapat peta Indonesia yang digambarkan dengan warna emas – menunjukkan simbol kemajuan Indonesia.
Di samping peta tersebut, terdapat juga Satelit Merah Putih (Satelit Telkom-4) yang dioperasikan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) sebagai penanda bagi transformasi digital Indonesia. Satelit ini diluncurkan oleh SpaceX pada 7 Agustus 2018 di Canaveral Air Force Station, Orlando, AS.
Di sisi depan, sejumlah infrastruktur yang dibangun di masa pemerintahan Jokowi juga terpampang jelas. Beberapa di antaranya adalah Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta, Jembatan Youtefa di Papua, dan Jalan Tol Trans-Jawa.
Sebagaimana yang telah diketahui, infrastruktur merupakan salah satu sektor yang menjadi fokus utama Jokowi di periode pemerintahannya yang pertama. Saking besarnya pembangunan infrastruktur kala itu, Jokowi sendiri disebut-sebut dapat menjadi Bapak Infrastruktur bagi Indonesia.
Bukan tidak mungkin, banyaknya infrastruktur transportasi dan digital yang terpampang pada pecahan uang Rp 75 ribu yang baru ini merupakan cara Jokowi untuk mengingatkan masyarakat akan warisan politik yang telah dibangunnya.
Pasalnya, Jokowi bisa saja ingin meninggalkan warisan politik (political legacy) setelah periode kedua jabatannya berakhir. Mengacu pada tulisan Christian Fong, Neil Mahotra, dan Yotam Margalit yang berjudul Political Legacies, seorang presiden dapat meninggalkan warisan-warisan politik, baik berupa hard legacy seperti kebijakan dan pembangunan maupun soft legacy berupa nilai dan prinsip.
Dalam hal ini, ikonografi yang dimunculkan dalam pecahan uang Rp 75 ribu yang baru dapat mencerminkan dua jenis warisan tersebut. Ikon infrastruktur, misalnya, dapat menjadi hard legacy dari pemerintahan Jokowi. Sementara, nilai persatuan dan keberagaman dapat menjadi soft legacy.
Meski begitu, alasan ekonomi dari penerbitan pecahan baru ini bisa saja turut melandasi. Pasalnya, di tengah ancaman resesi ekonomi, pemerintah bisa juga perlu menambahkan likuiditas di masyarakat agar aktivitas ekonomi dapat terpacu.
Asumsi seperti ini sejalan dengan Modern Monetary Theory (MMT) yang mendorong pencetakan uang sebagai jalan keluar untuk mengatasi krisis dan resesi ekonomi. Usulan ini sempat diperdebatkan sebelumnya karena dapat berujung pada inflasi dengan suplai uang yang berlebihan di masyarakat.
Bukan tidak mungkin, penerbitan uang Rp 75 ribu ini menjadi momen yang pas untuk memberikan suntikan uang ke masyarakat. Pasalnya, meski Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menampik akan adanya tujuan tersebut, penerbitan uang ini dapat menambahkan suplai uang di masyarakat hingga senilai Rp 5,625 triliun.
Meski begitu, gambaran kemungkinan yang telah dijelaskan di atas belum tentu benar adanya. Yang jelas, gambar yang ada dalam pecahan uang baru ini dapat menjadi ikonografi bagi pemerintahan Jokowi – entah pesan apa yang ingin disampaikan pada masyarakat. (A43)