Bencana dan politik dalam kadar tertentu dapat menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]encana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah memang tergolong memilukan. Ribuan nyawa harus terenggut akibat bencana berkekuatan 7,7 skala richter tersebut. Tak hanya nyawa, banyak pula bangunan yang porak-poranda ditelan kemarahan bumi.
Siapa pun pasti berduka melihat kondisi di Palu dan Donggala, termasuk para politisi. Banyak pesohor dunia politik Indonesia yang menunjukkan kepedulian mereka ke provinsi tersebut. Para politisi tersebut tidak hanya mengungkapkan rasa duka cita mereka, tetapi beberapa menyatakan kesiapan mereka untuk membantu daerah yang terdampak bencana.
Meski ungkapan duka merupakan hal yang manusiawi, hal ini kerap menjadi sasaran kritik jika dilakukan oleh para politisi. Apalagi, tahun politik kini tengah bergulir. Pesta demokrasi terbesar Pemilu 2019 sudah di ambang pintu. Praktis, nyaris semua sikap politisi terkait bencana alam tersebut akan dipertanyakan kemurniannya.
Mau tidak mau, urusan bencana alam tetap memiliki kaitan dengan urusan politik. Lalu bagaimana jika pertalian kedua dunia itu harus terjadi di tahun politik? Apakah keuntungan politik dari bencana adalah hal yang harus dihindari sama sekali?
Bencana dan Politik
Jelang Pemilu 2019, negeri ini dihantam dua bencana alam besar dengan daya rusak luar biasa. Belum kering luka akibat gempa yang menimpa Lombok, Nusa Tenggara Barat, negeri ini kembali diberi ujian berupa gempa dan tsunami di Palu dan Donggala.
Di tengah duka tersebut, muncul imbauan kepada aktor-aktor politik Indonesia untuk terlebih dahulu menghentikan aktivitas kampanye mereka. Para politisi terutama para peserta Pilpres diminta untuk terlebih dahulu mengarahkan mata mereka ke Sulteng.
Salah satu sorotan diarahkan kepada presiden sekaligus kandidat petahana Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi). Kubu penantangnya di tim pemenangan Prabowo menyebut bahwa Jokowi sebaiknya tidak menggunakan fasilitas negara saat melakukan kunjungan ke lokasi bencana. Secara khusus, mereka meminta Jokowi untuk tidak melakukan kampanye saat memberikan bantuan kepada korban-korban gempa dan tsunami.
Sahabat, saya baru saja mendarat di kota Semarang dan mendapat kabar bahwa Sulawesi Tengah terkena gempa. Mari kita do’akan agar saudara kita yang terkena musibah diberi kesabaran dan bagi yang meninggal mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT.
— Prabowo Subianto (@prabowo) September 28, 2018
Kampanye atau tidak, pertemuan antara politik dengan bencana alam merupakan hal yang sering kali tidak terhindarkan. Dalam kadar tertentu, melakukan sikap yang tepat dalam menghadapi sebuah bencana dapat memberikan keuntungan tertentu bagi politisi.
Ada beberapa literatur yang menunjukkan bahwa bencana alam dapat memiliki dampak pada partisipasi politik masyarakat. C. Christine Fair, Patrick M. Kuhnz, Neil Malhotrax, dan Jacob N. Shapiro misalnya mengungkap bahwa bencana alam dapat menimbulkan perilaku pro-sosial yang berpengaruh pada meningkatnya voter turnout atau partisipasi pemilih.
Fair, Kuhnz, Malhotrax, dan Shapiro menyebutkan bahwa sumber daya ekonomi adalah hal yang penting, sehingga jika ada dislokasi ekonomi seperti saat bencana, maka partisipasi politik bisa terhambat. Menurut mereka, partisipasi tersebut bisa kembali meningkat, apabila pemerintah dan masyarakat sipil bisa mengurangi dampak ekonomi dari bencana tersebut.
Berdasarkan kondisi tersebut, wajar jika politisi ingin menunjukkan kepeduliannya kepada masyarakat yang tertimpa bencana. Di satu sisi, mereka memiliki hak untuk menunjukkan simpati terhadap masyarakat yang mengalami kehilangan. Di sisi yang lain, ada keuntungan politik yang dapat diraih, entah politisi tersebut memang sengaja mengincarnya atau tidak.
Mengubah Momentum
Dalam kadar tertentu, ada banyak pemimpin dunia yang mendapatkan keuntungan elektoral ketika menghadapi sebuah bencana alam. Keuntungan elektoral tersebut dapat mereka raup umumnya karena sikap yang tepat saat menghadapi bencana tersebut.
Salah satu pemimpin yang dianggap mengalami keuntungan besar akibat bencana alam adalah Presiden AS Barack Obama. Banyak media dan pecinta teori konspirasi yang menyebut bahwa Obama diselamatkan oleh Badai Sandy pada Pilpres AS 2012.
Beberapa survei di negeri Paman Sam sempat menggambarkan bahwa kandidat dari Partai Demokrat tersebut tertinggal dari pesaingnya dari Partai Republik, Mitt Romney. Akan tetapi, pasca Badai Sandy menerpa sebagian wilayah AS, momentum perlahan mulai berpihak pada Obama.
Berdasarkan survei yang dibuat oleh Real Clear Politics, sebelum Badai Sandy menerjang AS, Romney menikmati keunggulan dengan perolehan 47,7 persen, sementara Obama tipis di belakangnya dengan 46,8 persen. Pasca badai menyerang, keunggulan tipis berbalik di mana Obama meraup 47,9 sementara Romney 47,7. Sekilas, keunggulan terlihat sangat kecil, akan tetapi keunggulan ini berhasil menaikkan tren Obama jika dibandingkan dengan Romney.
Duka rakyat Sulawesi Tengah, duka kita semua.
Dengan saling bergandeng tangan, dampak bencana ini kita hadapi bersama. pic.twitter.com/i9imWHKMgm
— Joko Widodo (@jokowi) September 30, 2018
Respons Obama terhadap bencana tersebut memang tergolong cepat. Ia segera menghentikan kegiatan kampanyenya dan bekerja sebagai orang nomor satu di AS. Ia menemui sejumlah ahli cuaca terkait dengan badai tersebut.
Koordinasi juga ia lakukan dengan badan penanggulangan bencana dan instansi pemerintahan lain untuk membahas, keamanan, infrastruktur, pendanaan dan lain-lain. Selain itu, Obama juga segera menghubungi gubernur-gubernur yang daerahnya terkena badai untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan.
Sikap Obama saat menghadapi Badai Sandy direspons baik oleh masyarakat. Berdasarkan data Pew, 67 persen masyarakat menyetujui langkah Obama dalam menangani Badai Sandy, sementara 15 persen tidak setuju.
Banyak dari media AS yang menyebutkan bahwa Badai Sandy adalah political hurricane atau badai politik. Badai Sandy mampu menggeser Romney dari tajuk-tajuk utama berita dan seperti menghilangkan semua momentum yang ia miliki.
Sikap Petahana
Serupa dengan Pilpres AS 2012 dan Badai Sandy, gempa dan tsunami di Palu dan Donggala juga bisa memiliki dampak politik elektoral. Hal ini terutama jika respons politisi tergolong cepat dan tepat seperti yang dilakukan Obama.
Sebagaimana disebut sebelumnya respons yang tepat dari politisi terhadap bencana alam dapat memiliki pengaruh terhadap langkah elektoral mereka. Hal ini disoroti oleh Moritz P. Rissmann saat mempelajari pengaruh bencana alam terhadap suatu pemilihan. Salah satu hipotesis Rissmann adalah pengaruh tersebut tergantung pada respons pemerintah atau disebut sebagai attentive electorate.
Ada dua hal yang disoroti Rissmann saat membahas respons pemerintah tersebut. Menurutnya, penggambaran media terhadap kandidat petahana dan juga bantuan bencana memiliki pengaruh terhadap keterpilihan petahana.
Sejauh ini, salah satu politisi yang dapat meraup untung dari bencana tersebut adalah Jokowi sebagai presiden sekaligus kandidat petahana. Jokowi, menjadi kandidat Pilpres 2019 pertama yang hadir di Sulteng pasca bumi mengamuk di area tersebut.
Respons Jokowi terhadap bencana di Sulteng terlihat memiliki kemiripan dengan Obama. Ia segera menghentikan kegiatan kampanyenya di Solo dan terbang ke lokasi bencana. Di sana, serupa dengan Obama, ia juga segera melakukan rapat terbatas dengan berbagai pihak. Tujuan dari pertemuan itu cukup jelas: evakuasi korban.
Perlu diakui, ada keuntungan sebagai petahana yang dimiliki oleh Jokowi. Ia memiliki sumber daya yang tergolong mumpuni untuk memberikan sikap yang tepat kepada bencana alam tersebut. Jokowi jelas memiliki keleluasaan anggaran yang besar untuk memberi bantuan kepada korban bencana. Hal ini sekilas memberikan Jokowi keunggulan satu langkah di depan ketimbang kandidat lawannya.
Berdasarkan kondisi ini, kemampuan sumber daya Jokowi bisa saja membantu dislokasi ekonomi masyarakat di Palu dan Donggala. Jika merujuk kepada Fair, Kuhnz, Malhotrax, dan Shapiro, hal ini bisa memberikan keikutsertaan politik yang signifikan karena menjadi pertunjukan kemampuan pemerintah untuk mengatasi kesulitan ekonomi masyarakat pasca-bencana.
Jokowi ke Sulteng dianggap sebagai kepala negara atau capres ya? Share on XPenggambaran media terhadap Jokowi juga tergolong amat baik. Baik media internal pemerintah maupun media lain tampak tidak banyak menggambarkan langkah Jokowi sebagai hal yang buruk. Sebagian besar menggambarkan bahwa sikap ini adalah sikap umum Jokowi sebagai kepala negara ini. Penggambaran media ini bisa memberikan keuntungan kepada Jokowi jika merujuk kepada Rissmann.
Sejauh ini, sikap Jokowi terhadap bencana mendapat respons positif dari masyarakat. Memang, belum ada survei yang membahas sikap Jokowi terhadap Palu dan Donggala. Akan tetapi, merujuk pada data LSI Denny JA, 48,4 persen masyarakat meningkatkan dukungan pada Jokowi karena sikapnya pada gempa di Lombok. Bukan tidak mungkin, tren ini berlanjut ketika Jokowi berkunjung ke Palu dan Donggala.
Berdasarkan kondisi tersebut, penantangnya di tim pemenangan Prabowo harus menyiapkan langkah strategis untuk merespons bencana di Palu dan Donggala. Salah mengambil langkah, mereka bisa saja bernasib seperti Romney yang tersapu Badai Sandy. Hal itu jelas bukan yang diinginkan oleh tim pemenangan Prabowo. (H33)