Pernyataan Jokowi yang ingin melawan kampanye hitam terhadap minyak sawit seolah mengabaikan fakta catatan kelam di sektor bisnis ini. Perusahaan besar macam Indofood pun kini mendapat tuntutan serius terkait masalah perburuhan perempuan dan anak di perkebunan sawit.
PinterPolitik.com
“Palm oil is the dirtiest ingredient on our shelves”. – Joanna Blythman, jurnalis investigatif The Guardian
[dropcap]H[/dropcap]ubungan antara bisnis dan politik ibaratnya sekeping mata uang: selalu bersama sepanjang waktu. Persoalannya tinggal sisi mana yang akan lebih dominan ditunjukkan.
Hubungan ini tampak jelas di sektor perkebunan, utamanya kelapa sawit. Komoditas primadona ini memang menjadi salah satu potret paling nyata pertalian antara kepentingan bisnis dan politik. Maka, bukan tanpa alasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut sawit sebegai ‘emas hijau’ – merujuk pada signifikansi produk minyak sawit bagi perekonomian Indonesia.
Dalam kunjungannya ke Kuching, Malaysia beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi bersama Perdana Menteri (PM) Malaysia, Dato Sri Mohd. Najib Razak sepakat untuk memerangi kampanye hitam atas produk minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia. Kesepakatan ini merupakan bagian dari komitmen kedua negara yang menguasai 85 persen ekspor minyak sawit dunia ini untuk membentengi komoditas sawit dari serangan beberapa negara.
Kesepakatan ini beralasan, mengingat pada April 2017 lalu, Uni Eropa mengeluarkan larangan impor minyak sawit dari Indonesia. Beberapa alasan yang menjadi dasar larangan tersebut antara lain terkait deforestasi atau penggundulan hutan, degradasi habitat satwa, korupsi, mempekerjakan anak, dan pelanggaran HAM.
17. Selain itu, Presiden @jokowi juga menyerahkan sejumlah sertifikat tanah untuk rakyat dan melakukan penanaman bibit pohon kelapa sawit #PeremajaanSawit pic.twitter.com/BLWoEwgX9B
— Kantor Staf Presiden (@KSPgoid) November 27, 2017
Kesepakatan untuk melawan kampanye hitam minyak sawit ini juga menjadi isu yang hangat setelah beredar gosip bahwa Uni Eropa menerapkan kebijakan tersebut untuk melindungi produsen minyak masak berbahan canola, bunga matahari dan olive oil. Jokowi juga menyebut bahwa posisi produsen terbesar minyak sawit membuat Indonesia menguasai bahan baku pembuatan sabun, margarin, farmasi, dan yang terbaru: biodiesel.
Namun, apa yang dibanggakan oleh Jokowi ini seolah mengabaikan fakta masih banyaknya masalah dalam industri ini. Seperti dilansir dari Koran Tempo edisi Selasa, 28 November 2017, kabar terbaru datang dari raksasa produsen mie instan Indofood yang dituding melanggar aturan perburuhan kelapa sawit.
NGO Rainforest Action Network (RAN) menyebut perusahaan milik Salim Group ini masih melanjutkan pelanggaran terkait persoalan perburuhan perempuan dan anak. Indofood juga ditengarai hanya satu dari beberapa grup bisnis lain yang juga melakukan hal yang sama.
Fakta ini tentu membingungkan. Apakah pemerintahan Jokowi tutup mata terhadap sisi kelam bisnis sawit tersebut? Atau jangan-jangan pemerintah begitu terbuai dengan pemasukkan dari sektor sawit yang menyentuh angka Rp 194 triliun setiap tahunnya?
Gurita Bisnis Sawit Indonesia
Bisnis kelapa sawit memiliki nilai historis karena merupakan rintisan dari pemerintahan kolonial. Sawit pertama kali ditanam di Indonesia pada tahun 1884 di kebun raya Bogor. Industri sawit sendiri mulai berkembang signifikan sejak tahun 1960-an.
Pada tahun 2016, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan menguasai 51,7 persen ekspor sawit dunia senilai 14,4 miliar dollar (Rp 194 triliun). Uni Eropa adalah tujuan ekspor minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India. Sementara Malaysia menjadi produsen minyak sawit terbesar kedua dengan nilai 9,1 miliar dollar (Rp 122 triliun).
Bisnis sawit Indonesia saat ini dikuasai oleh 29 taipan melalui 25 grup bisnis di lahan seluas 5,1 juta hektar. Luas lahan ini mencapai hampir setengah Pulau Jawa. Jika ditotal, kekayaan para pengusaha sawit ini mencapai 71,5 miliar dollar atau Rp 922,3 triliun – berdasarkan data kekayaan dari Forbes tahun 2013. Adapun dari seluruh perkebunan sawit di Indonesia, sebesar 52 persen adalah milik swasta, rakyat menguasai 41 persen, dan BUMN hanya 7 persen.
Bisa dibayangkan betapa berkuasanya sektor ini secara bisnis. Bahkan, jika punya pengaruh bisnis yang demikian besar, para pengusaha ini juga sangat mungkin mempengaruhi kebijakan pemerintah, atau bahkan membuat pemerintah ‘tutup mata’ terhadap persoalan perburuhan dan lingkungan. Who knows.
Beberapa grup bisnis sawit paling besar di Indonesia saat ini antara lain Grup Sinar Mas milik Eka Tjipta Widjaja, Grup Salim yang dipimpin Anthoni Salim, Grup Jardine Matheson milik Henry Kaswick dari Skotlandia, Grup Wilmar milik Martua Sitorus, dan Grup Surya Dumai milik Martias dan Ciliandra Fangiono.
Kelima grup bisnis ini merupakan grup bisnis sawit terbesar yang diperkirakan memiliki separuh dari total 10 juta hektar lahan sawit di Indonesia. Jika dibandingkan, mungkin luasnya bisa mencapai 20 kali luas Pulau Bali.
Beberapa grup bisnis dalam daftar ini juga mempunyai sektor bisnis lain yang bergantung dari minyak sawit. Indofood misalnya sangat bergantung pada minyak sawit sebagai salah satu bahan baku pembuatan mie instan.
Dari fakta-fakta tersebut sangat jelas bahwa bisnis sawit merupakan salah satu sektor yang sangat kuat secara ekonomi. Bahkan, jika dikulik satu per satu, sektor ini juga sangat kuat secara politik. Dari 29 nama taipan bisnis sawit, ada nama politisi senior Golkar, Aburizal Bakrie. Beberapa pihak menyebut Wakil Gubernur Jakarta, Sandiaga Uno pernah juga berkecimpung di bisnis ini.
Gurita Persoalan
Mengguritanya bisnis, menggurita pula persoalan yang terjadi di sektor sawit. Yang utama tentu saja adalah masalah ekologi terkait deforestasi dan perusakan habitat hewan (misalnya gajah dan orang utan yang sering menjadi korban bisnis sawit). Kerusakan struktur tanah juga menjadi salah satu isu lingkungan akibat perkebunan sawit.
Persoalan lain yang juga disoroti adalah tentang perburuhan. Kasus yang menimpa Indofood misalnya melibatkan masalah perburuhan anak dan perempuan yang menjadi kuli angkut tanpa dibayar. Selain itu, LSM Institute of Ecosoc Rights menyebut sebagian besar buruh sawit bekerja 7-12 jam sehari dengan upah minim berkisar Rp 48.000-Rp 65.000 per hari dengan risiko kerja yang sangat tinggi.
Sementara itu, tender lahan sawit juga punya potensi penyalahgunaan dan melahirkan praktik KKN. Pada 2015 lalu, The Guardian menyoroti praktik KKN di bisnis sawit Indonesia, dan menyebut ada hubungan yang sangat dekat antara pengambil kebijakan politik dengan para pengusaha sawit.
https://t.co/yYGHk0aTxo #PeremajaanSawitRakyat pic.twitter.com/F3KpZGMpcx
— Winda Michelle Mulya (@MichelleWinda) November 28, 2017
Patrick Anderson, seorang peneliti masalah-masalah Indonesia, juga menyebut sektor bisnis kertas dan sawit sebagai dua sektor yang memiliki potensi korupsi. Dua sektor ini pula yang sering menjadi pemasukkan untuk partai-partai politik di Indonesia. Hal ini tentu menunjukkan pertautan kepentingan yang sangat besar antara bisnis dan politik di sektor sawit.
Pendapatan yang luar biasa besar dari sektor sawit nyatanya juga mengabaikan banyak hal, misalnya terkait nasib buruh. Buruh sawit memang tidak begitu lantang bersuara karena lokasi mereka yang ada di pelosok Kalimantan dan Sumatera – berbeda dengan organisasi buruh di ibukota yang sedikit tutup jalan saja, tuntutannya langsung didengar. Ini merupakan potret yang cukup buram dari bisnis ‘emas hijau’ sawit yang begitu cerah bersinar.
Jokowi dan Bias Politik Industri Sawit
Tentu pertanyaan terbesarnya adalah mengapa pemerintahan Jokowi tidak banyak memperhatikan sisi kelam industri sawit ini. Pelarangan impor minyak sawit oleh Uni Eropa memang menunjukkan keberhasilan NGO dan LSM yang memperjuangkan persoalan lingkungan hidup dan kesejahteraan buruh – walaupun harus diakui hal ini bisa berdampak bagi buruh juga jika perusahaan harus merugi akibat kebijakan tersebut.
DPR juga belum menghasilkan produk hukum yang jelas. RUU Sawit saat ini masih dibahas dan seolah terabaikan dan kalah dengan kepentingan politik dalam UU yang lebih ‘seksi’, misalnya UU Pemilu atau UU Ormas.
Padahal RUU Sawit adalah salah satu UU yang harus diselesaikan tahun ini. Selain itu, pembahasan RUU Sawit ini juga perlu dikawal demi mengurangi potensi menabrak UU Lingkungan. RUU Sawit juga selayaknya diarahkan bukan hanya untuk melindungi bisnisnya saja, tetapi juga pekerja dan lingkungan.
Bias politik dalam bisnis sawit memang tidak dapat dihindari. Tengok saja nama-nama taipan pengusaha sawit yang rata-rata adalah pengusaha besar. Dengan kondisi politik Indonesia yang lekat dengan fenomena ‘perkawinan’ pebisnis dan oligark politik, jelas Jokowi mungkin tidak dapat berbuat banyak karena ‘berkuasanya’ para pebisnis tersebut. Posisi Jokowi boleh jadi tersandera oleh kepentingan para pengusaha tersebut.
Pada akhirnya, care atau tidaknya Jokowi terhadap nasib rakyat kecil, salah satunya akan terlihat dari isu ini. Jika Jokowi tetap hanya mengutamakan kepentingan bisnis sawit tanpa mempedulikan nasib para buruh dan lingkungan, maka jangan heran jika akan semakin banyak kritik datang dari para pemerhati lingkungan. Dengan demikian, benar kata Joanna Blythman di awal tulisan ini: minyak sawit mungkin menjadi bahan paling ‘kotor’ yang kita konsumsi. (S13)