Januari 2022 bukan hanya diwarnai dengan hujan badai yang tiap hari makin menjadi, tetapi juga dihiasi beberapa kebijakan pemerintah yang menimbulkan badai perdebatan. Salah satu yang paling ramai dipergunjingkan adalah larangan ekspor batu bara yang sempat dikeluarkan lewat Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Belakangan kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan setelah menuai banyak protes – hal yang menggambarkan kompleksitas masalah “emas hitam” dalam politik di republik ini.
“A diamond is a chunk of coal that did well under pressure”.
::Henry Kissinger, Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat::
Ketika Marco Polo datang ke Tiongkok di abad ke-13, ia melihat masyarakat di sana menggunakan batu bara sebagai salah satu bahan bakar. Ia menyebutnya sebagai “batu hitam yang bisa terbakar seperti kayu bakar”. Keberadaan batu bara memang berlimpah di Tiongkok dan pemanfaatannya sendiri diketahui sudah dilakukan sejak tahun 1000 SM, tepatnya ketika batu bara dari pertambangan di wilayah Fushun sudah digunakan untuk peleburan tembaga.
Seiring perjalanan waktu, “batu hitam yang terbakar seperti kayu bakar” itu memang menjadi salah satu entitas penting dalam sejarah manusia – membuatnya sering dijuluki sebagai “emas hitam”.
Peleburan logam dengan bahan bakar batu bara misalnya, di kemudian hari terbukti menjadi salah satu tonggak yang mempengaruhi arah peradaban karena dari logamlah manusia menciptakan berbagai macam teknologi, baik untuk persenjataan maupun untuk yang lain. Invasi dan perang adalah ujung efek negatifnya.
Baca juga: Corona, Ibu Kota Baru Batal?
Lalu, dari batu bara pula industrialisasi bisa terjadi. Mesin uap misalnya, bisa menjadi tonggak revolusi industri berkat penggunaan batu bara sebagai sumber energi utama. Di kemudian hari, batu bara juga dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, yang semuanya kemudian berujung pada makin masifnya perkembangan kehidupan manusia.
Tak heran ada istilah yang menyebut batu bara sebagai the heart of economy atau jantung dari ekonomi dunia. Bukan tanpa alasan, karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan sumber energi yang lain, batu bara menjadi pilihan utama ketika bicara soal efisiensi pembangunan ekonomi. Emas hitam itu menjadi sentral dari aktivitas ekonomi di banyak negara.
Hal inilah yang setidaknya menjadi alasan lahirnya protes dari negara-negara macam Jepang, Korea Selatan dan Filipina setelah beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia sempat menghentikan ekspor batu bara. Bagaimana tidak, negara-negara tersebut punya ketergantungan besar terhadap batu bara dari Indonesia. Adapun kebijakan larangan ekspor itu diberlakukan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, utamanya terkait kebutuhan Perusahaan Listrik Negara alias PLN.
Larangan ekspor ini sendiri kemudian telah dicabut lagi oleh pemerintah sendiri – hal yang kemudian melahirkan perdebatan soal relasi kebijakan tersebut dengan posisi para pengusaha batu bara yang kini berseliweran di lingkungan kekuasaan.
Tentu pertanyaannya adalah apakah benar konteks kebijakan di lingkungan batu bara ini bisa terjadi karena relasi kekuasaan dan pengusaha?
Republik Emas Hitam
Setiap bulannya Indonesia disebut mengekspor sekitar 30-40 juta ton batu bara. Jumlah tersebut menjadi bagian dari pemenuhan energi negara-negara macam Jepang, Korsel dan Filipina. Negara seperti Filipina misalnya, memenuhi sekitar 75 persen kebutuhan batu bara dalam negerinya dari batu bara asal Indonesia dan Australia.
Sementara di Indonesia sendiri, sekitar 60 persen bauran energi untuk pembangkit listrik masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utamanya. Dengan demikian, bisa dibilang bahwa demand atau permintaan terhadap batu bara cukup tinggi.
Baca juga: Jokowi dan Perangkap Ibu Kota Baru
Terkait kebijakan larangan ekspor, pemerintah Indonesia memang memberlakukan mekanisme domestic market obligation alias DMO. Ini adalah ketentuan yang “memaksa” para pengusaha tambang batu bara untuk memasok produksi batu bara mereka kepada pembangkit-pembangkit listrik di dalam negeri yang berbahan bakar batu bara. Umumnya pembangkit-pembangkit listrik itu dimiliki oleh PLN.
DMO inilah yang oleh banyak pihak dianggap menjadi sebab larangan ekspor batu bara dikeluarkan, serta menjadi ujung awal persoalan mengapa banyak pengusaha tak mau menjual batu bara mereka ke PLN. Pasalnya, ada disparitas harga yang sangat jauh.
Untuk DMO, pengusaha diwajibkan menjual batu bara dengan harga tak lebih dari US$70 per ton. Padahal, harga jual batu bara di pasar saat ini telah menembus rekor tersendiri – mencapai US$161,3 per ton pada Agustus 2021 lalu. Dari sudut pandang pengusaha, jelas lebih menguntungkan bagi mereka untuk menjual batu bara ke luar negeri.
Selain harga, beberapa sumber juga menyebutkan bahwa ada mekanisme pembayaran yang dilakukan misalnya oleh PLN Batubara sebagai anak usaha PLN di bidang pembelian batu bara, yang kerap tak beres. Banyak pengusaha yang menyebut PLN Batubara bisa telat membayar hingga 5-6 bulan. Tak heran, sempat ada usulan agar PLN Batubara dibubarkan saja.
Dari perspektif tersebut, jelas bahwa pengusaha tentu akan lebih melihat pasar di luar PLN yang cenderung lebih menguntungkan bagi mereka. Dalam ilmu ekonomi, pemikiran yang demikian ini memang sesuai dengan gagasan “invisible hand” seperti yang digariskan oleh Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations. Mekanisme permintaan dan penawaran yang bergantung pada harga ini menjadi “tangan tak terlihat” yang mengarahkan pasar.
Pemikiran itu kemudian dilengkapi oleh ekonom asal Inggris Alfred Marshall lewat karyanya Principles of Economics yang terbit tahun 1890. Marshall mengemukakan apa yang disebut sebagai law of supply atau hukum penawaran, di mana ketika harga barang naik, maka penjual atau produsen cenderung akan lebih banyak menjual barang dagangannya.
Hukum penawaran ini terlihat dalam persoalan larangan ekspor batu bara. Jelas bahwa ketika harga sedang tinggi, para pengusaha akan lebih memilih untuk menjual lebih banyak di posisi harga tersebut.
Secara keseluruhan, bisa disimpulkan bahwa persoalan batu bara ini memang punya kompleksitasnya tersendiri. Yang patut menjadi garis bawah adalah pemerintah bisa memberikan perhatian lebih pada PLN dan penunggakan pembayaran yang merugikan pengusaha. Sebab bagaimanapun juga, para pengusaha tak bisa sepenuhnya disalahkan dalam kebijakan tersebut.
Jokowi Terperangkap Batu Bara?
Harus diakui bahwa keberadaan batu bara sebagai sumber energi yang murah ikut berdampak pada efisiensi ekonomi dari sisi biaya produksi. Tidak heran negara seperti Tiongkok misalnya, mampu tampil menjadi kekuatan ekonomi baru salah satunya karena efisiensi yang didapatkan lewat penggunaan batu bara sebagai sumber energi utama.
Pada tahun 2019, bauran energi Tiongkok dari batu bara mencapai 57,7 persen. Jumlah tersebut mencapai lebih dari separuh total penggunaan batu bara di seluruh dunia. Meskipun didesak soal penggunaan sumber energi lain, Tiongkok berdalih bahwa batu bara tetap menjadi sumber energi yang paling stabil ketersediaannya.
Dari kasus Tiongkok tersebut, bisa saja memang masih tingginya penggunaan batu bara punya pertalian dengan narasi pembangunan ekonomi nasional. Ketika sumber energi bisa diakses dengan harga yang lebih murah, maka efeknya akan merembet ke rantai ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia, menggantungkan pertumbuhan ekonomi lewat sumber energi yang murah tentu menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian, bisa dipastikan ada dilema juga bagi Presiden Jokowi terkait masih tingginya angka penggunaan batu bara sebagai sumber energi utama.
Selain itu, persoalan politik juga bisa menjadi hambatan Jokowi. Pasalnya, lingkaran kekuasaan Jokowi juga melibatkan para pengusaha batu bara. Lingkaran kekuasaan batu bara itu bisa disaksikan dalam documenter Sexy Killers karya Watchdoc. Dengan demikian, arah pertalian dengan kepentingan para pengusaha dipastikan akan selalu ada.
Pada akhirnya semuanya akan kembali pada bagaimana perusahaan macam PLN dikelola. Bukan rahasia lagi bahwa PLN memiliki segudang masalah terkait utang dan lain sebagainya, yang pada akhirnya berujung pada persoalan macam batu bara ini.
Bagaimanapun juga, jika masalah yang ada di PLN tidak diselesaikan, jangan heran kalau persoalan di sektor batu bara ini akan tetap ada. Jika pengelolaan perusahaan pelat merah tersebut dan SDM yang ada di sana bisa diperbaiki, niscaya segala sesuatu bisa menjadi lebih baik. Sebab, seperti kata Alfred Marshall: “The most valuable of all capital is that invested in human beings”. (S13)
Baca juga: Ibu Kota Baru, Penentuan Jokowihttps://www.youtube.com/embed/bnYr6AZjdkM
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.