Wacana investasi yang disebut bernilai hingga US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.400 triliun) oleh Softbank untuk ibu kota baru disoroti banyak pihak. Persoalan yang muncul adalah terkait skema timbal balik seperti apa yang akan diterima oleh Softbank dengan investasi yang jumlahnya sudah melebihi biaya pembangunan ibu kota baru yang “hanya” menyentuh Rp 466 triliun. Selain itu, karena proyek ini bersifat jangka panjang, Presiden Jokowi diprediksi akan memastikan agar penggantinya di 2024 adalah yang punya visi yang sama soal ibu kota baru. Tak heran banyak yang menyebut proyek ibu kota baru ini bisa menjadi “perangkap” untuk Jokowi. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“We do not look in our great cities for our best morality”.
:: Jane Austen (1775-1817), penulis asal Inggris ::
Ketika Konstantin Agung memindahkan ibu kota Kekaisaran Romawi dari kota Roma ke Konstantinopel pada tahun 330 M, ia berharap ibu kota baru tersebut mampu menunjang aktivitas politik dan ekonomi.
Konstantinopel memang pada akhirnya mampu menjadi pusat perdagangan karena efektif memperpendek jalur perdagangan dari Timur, serta membuat kontrol kekuasaan Konstantin atas seluruh wilayah kekaisaran dapat lebih terjaga.
Dalam nuansa yang berbeda, mungkin hal itulah yang ada dalam pikiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika mewacanakan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Alasan ekonomi mungkin bukan yang utama, namun jelas secara politik, lokasi ibu kota baru diharapkan dapat lebih menunjang pemerintahan, pun karena Jakarta dianggap tak mampu menampung beban lebih banyak lagi.
Kini setelah beberapa waktu bergulir, wacana pembangunan ibu kota baru itu akhirnya memasuki babak berikutnya. Adalah Softbank, perusahaan asal Jepang, yang menunjukkan ketertarikannya berinvestasi di mega proyek ini.
Tak tanggung-tanggung, awalnya wacana yang mengemuka menyebutkan bahwa perusahaan ini ingin berinvestasi hingga US$ 100 miliar atau sekitar Rp 1.400 triliun di proyek tersebut.
Jumlah tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan total keseluruhan anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan ibu kota baru yang ditaksir akan mencapai US$ 33 miliar atau sekitar Rp 466 triliun.
Namun, hingga kini angka pasti investasi yang dicanangkan belum disebutkan secara pasti. Presiden Softbank, Masayoshi Son menyebut perusahaannya tertarik dengan konsep smart city yang ingin diterapkan di ibu kota dengan teknologi terbaru. Pun demikian dengan ide green city atau kota hijau, serta pengembangan aplikasi teknologi artificial intelligence (AI) di ibu kota baru ini.
Menariknya, presiden Jokowi juga disebut membentuk Dewan Pengarah pembangunan ibu kota baru yang di dalamnya beranggotakan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair serta Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed (MBZ).
Financial Times menyebut langkah ini untuk meningkatkan kepercayaan investor untuk menginvestasikan dananya di ibu kota baru ini. Konteks tersebut beralasan, mengingat dua tokoh ini tak lagi diragukan kredensialnya.
Namun, akibat arah kebijakan yang lebih banyak melibatkan pihak asing, baik dalam hal pendanaan maupun pengarah pembangunan, membuat kritik pun berdatangan. Beberapa pihak menyebut investasi yang besar dari asing bisa berpengaruh pada penguasaan atas lahan di ibu kota nantinya.
Selain itu, di beberapa tulisan lain, misalnya dari South China Morning Post (SCMP) juga disinggung soal kemungkinan besar bahwa proyek ini tak akan selesai di era kekuasaan Jokowi. Akibatnya sang presiden disebut akan berupaya mencari penggantinya yang punya visi dan arah pembangunan yang serupa.
Persoalannya adalah akankah Jokowi mampu melakukan hal tersebut? Lalu, seberapa besar sebetulnya dampak keberadaan investasi asing ini terhadap kepentingan Indonesia di ibu kota baru?
Ibu Kota Dibangun Asing?
Kritik terkait investasi asing di ibu kota ini salah satunya berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai tersebut menilai Presiden Jokowi mengambil risiko yang terlalu besar di proyek ibu kota baru jika terlalu melibatkan asing.
Sekretaris Bidang Ekuintek PKS, Handi Idris menyebutkan bahwa jika investasi Softbank pada akhirnya berujung pada skema timbal balik, maka kemungkinan yang akan direlakan adalah konsesi lahan ibu kota untuk dikelola perusahaan tersebut.
Menurut Handi, jangan heran jika suatu saat, hampir semua fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolah, hotel dan lain sebagainya di ibu kota baru akan dikuasai oleh Softbank. Apalagi jika melihat angka investasi yang ditawarkan yang bahkan besarannya sudah melewati total pembiayaan pembangunan ibu kota negara.
Belakangan diketahui bahwa Softbank akan berinvestasi pada pembangunan infrastruktur di ibu kota baru, kecuali untuk pembangunan Istana Negara.
Namun, mempercayakan pembangunan sepenuhnya pada pihak asing boleh jadi akan berbahaya untuk Indonesia. Pasalnya yang dibangun adalah ibu kota negara yang nota bene adalah pusat aktivitas kekuasaan dan kedaulatan sebuah negara. Beberapa pengamat misalnya menyinggung soal bahaya aktivitas intelijen di balik investasi besar tersebut.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi misalnya, mengingatkan pemerintah soal penentuan skema timbal balik. Pasalnya, pihak investor haruslah untung secara ekonomi dari investasi yang dilakukan. Sebab, jika bukan itu yang diincar, kecurigaan soal motif politik di baliknya pasti akan muncul dengan sendirinya.
Menurut Fithra, pemindahan ibu kota negara hanya akan menyumbang 0,1 hingga 0,2 persen dari proporsi ekonomi nasional. Konteks ini tentu akan menjadi pertanyaan tersendiri ketika ada perusahaan yang menawarkan investasi dengan jumlah yang begitu besar, mengingat daerah ibu kota baru ini dikenal masih sepi.
Konteks kecurigaan terhadap akses akan informasi intelijen yang diincar memang sah-sah saja. “Tidak ada makan siang yang gratis”, demikian kata Robert Heinlein dalam novel fiksi ilmiahnya berjudul The Moon Is a Harsh Mistress merujuk pada konteks investasi tersebut.
Istilah ini juga digunakan oleh ekonom Milton Friedman dalam bukunya There’s No Such Thing as a Free Lunch yang terbit tahun 1975 untuk menggambarkan opportunity cost atau biaya peluang. Artinya, Softbank tak mungkin begitu ingin berinvestasi hingga Rp 1.400 triliun jika tak punya maksud lain di balik investasi tersebut.
Perusahaan yang kita bicarakan ini adalah yang kini menempati urutan ke-36 sebagai perusahaan publik paling besar di dunia versi Forbes2000 untuk tahun 2019 dengan nilai kapitalisasi US$ 112 miliar dolar. Artinya, tak mungkin tak ada hal lain yang dikejar di balik proyek ini jika menilik konteks nilai ekonomis yang bisa didapatkan sebagai timbal balik dari investasi ini.
Perangkap di Ibu Kota Baru?
Pembangunan ibu kota baru Indonesia memang termasuk yang cukup mahal. Malaysia misalnya, hanya menghabiskan sekitar Rp 15,4 triliun untuk membangun Putrajaya sebagai ibu kota baru.
Biaya ibu kota baru Indonesia mungkin sedikit mirip pembangunan ibu kota Kazakhstan, Astana – yang kini berganti nama menjadi Nur-Sultan – yang menghabiskan antara US$ 10 miliar hingga US$ 30 miliar. Bahkan beberapa sumber ada yang memperkirakan biayanya mencapai US$ 40 miliar.
Dari sisi estimasi waktu pembangunannya pun, proyek ibu kota baru Indonesia ini dipercaya belum akan tuntas pada 2024. Joe Cochrane dalam ulasannya di SCMP menyebutkan bahwa hal ini akan mempengaruhi secara langsung kontestasi elektoral di 2024 mendatang. Pasalnya, Jokowi disebut akan “mengupayakan” – misalnya dengan mendukung tokoh tertentu – yang dianggap bisa melanjutkan visi pembangunan ibu kota baru tersebut.
Tak heran, banyak pihak menunjuk manuver politik Jokowi beberapa waktu terakhir, misalnya ketika menyebut nama Sandiaga Uno sebagai calon penggantinya di 2024, sebagai salah satu indikator keinginan untuk mendukung tokoh yang punya visi serupa.
Namun, persoalannya akan berbeda jika pada 2024 nanti tokoh yang terpilih adalah yang punya visi berbeda dari Jokowi. Hal inilah yang membuat beberapa pihak menyebut pembangunan ibu kota ini bisa saja menjadi perangkap untuk Jokowi sendiri.
Apalagi, hingga kini belum ada payung hukum untuk mengatur berbagai proses pembangunan yang akan dilaksanakan. Dengan anggaran yang begitu besar, investasi asing yang begitu besar, dan katakanlah jika presiden selanjutnya adalah yang tak satu visi dengan Jokowi, maka bisa dipastikan ini akan menjadi hal yang serius untuk Jokowi.
Yang jelas, publik berharap investasi di ibu kota baru ini tidak merugikan Indonesia dengan skema timbal balik yang tak membahayakan negara. Entah itu Softbank, entah itu perusahan dari manapun, semuanya harus tetap berdiri di atas payung hukum Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan melindungi kepentingan masyarakatnya.
Semoga ibu kota baru ini bisa berjaya layaknya Konstantinopel. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.