Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Foto: orangutan.com

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus lestari.


PinterPolitik.com

“Kita sudah memperbudak satwa, dan membiarkan sepupu jauh kita yang berbulu itu diperlakukan dengan sangat buruk. Kalau mereka bisa membuat agama, kita akan menjadi iblisnya”

-William Ralph Inge-

Beberapa hari terakhir, foto seekor orangutan yang sedang menghisap rokok menjadi viral di dunia maya. Tak hanya di dalam negeri, foto tersebut turut menjadi perbincangan di berbagai media internasional. The Blaze adalah salah satu yang menyorot kejadian ini dengan cukup tajam. Mewawancarai Indonesia Animal Welfare Society dan Animal Defender Indonesia, mereka secara keras mengutuk kejadian tersebut.

Belakangan diketahui, bahwa orangutan bernama Ozon tersebut hidup di Kebun Binatang (KB) Bandung. Pihak KB Bandung menyebut, Ozon mempelajari cara merokok dari pengunjung KB yang merokok dan berinteraksi dengannya. Ozon mendapatkan rokok itu dari pengunjung remaja yang iseng melempar rokok ke kandangnya.

Ozon, orangutan perokok

Ozon adalah orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), yang dikonservasi dari habitat aslinya sejak tahun 2012. Selain orangutan Kalimantan, adapula jenis orangutan Sumatera (Pongo abelii), yang juga banyak dikonservasi di luar habitat aslinya. Kedua jenis orangutan tersebut sudah masuk dalam daftar critical endangered species menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kerusakan lingkungan hidup orangutan didalangi salah satunya oleh para pemain bisnis di Sumatera dan Kalimantan. Ekspansi bisnis kelapa sawit selalu mengorbankan kehidupan orangutan bersama habitatnya.

Lalu, bagaimana pemerintah menanggapi masalah ini, khususnya di era Jokowi?

Ekspansi Bisnis “Pembunuh” Orangutan

Orangutan kerap dibunuh untuk perluasan perkebunan kelapa sawit

Orangutan adalah spesies primata yang hanya ditemukan di dua pulau di dunia, yakni Sumatera dan Borneo (Kalimantan). Di Borneo sendiri, orangutan tersebar baik di wilayah Indonesia maupun Malaysia, mulai dari Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan, serta di banyak daerah di Sabah dan Sarawak. Menariknya, baik Indonesia maupun Malaysia saat ini menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia, juga dengan pulau Sumatera, Kalimantan, serta wilayah Sabah dan Sarawak menjadi pusat produksinya.

Apakah ada hubungan antara berkurangnya populasi orangutan dengan bertambahnya produksi kelapa sawit?

Faktanya, memang penurunan luas habitat orangutan terjadi setelah bisnis-bisnis kelapa sawit menjamur di akhir tahun 1960-an, terutama di Kalimantan yang masuk wilayah Indonesia. Namun, dalam periode ini perkembangannya tidak terlalu besar, dan hanya memangkas sekitar 15 persen hutan tempat hidup orangutan.

Penurunan habitat orangutan lalu semakin parah pada era oil boom di akhir dekade 1990-an sampai tahun 2005. Menurut jurnal berjudul Palm Oil Plantation in Indonesia, pemerintah Indonesia melakukan perluasan perkebunan sawit hingga dua kali lipat, dari 2,5 juta hektar di tahun 1999 menjadi 5,5 juta hektar di tahun 2000. Angka yang sama, berkurang untuk habitat orangutan.

Catatan lain dari Population and Habitat Viability Assessment (PHVA), mengatakan bahwa orangutan Kalimantan mengalami pemangkasan habitat mencapai 55 persen dalam 20 tahun terakhir. Maka tidak heran, bila orangutan Kalimantan mengalami penurunan populasi dengan cukup signifikan, dari 230.000 ekor di tahun 1998, menjadi hanya 100.000 pada tahun 2008.

Peta penyempitan habitat orangutan di Kalimantan

Hal yang serupa juga terjadi dengan orangutan Sumatera. Pada era oil boom, orangutan Sumatera mengalami penurunan jumlah yang cukup signifikan. Tercatat, pada tahun 1994 terdapat 12.000 ekor orangutan, lalu pada tahun 2003 jumlah tersebut merosot menjadi 7.300 ekor. Artinya, hampir 5.000 ekor hilang dalam waktu sembilan tahun.

Menurut World Wildlife Fund (WWF) pengurangan hutan habitat orangutan juga signifikan di Sumatera. Pada tahun 1985, terdapat 3,1 juta hektar habitat orangutan di Sumatera, dan merosot menjadi 1,6 juta hektar pada tahun 2007. Angka yang memang tidak terlalu besar dibandingkan Kalimantan, namun tetap harus memaksa banyak orangutan Sumatera kehilangan habitat aslinya dan sebagian diungsikan ke luar Sumatera.

Lalu, apakah permasalahan habitat orangutan adalah satu-satunya sumber masalah? Tentu saja tidak. Nyatanya orangutan tidak hanya menghadapi masalah-masalah pengurangan habitat akibat penambahan perkebunan kelapa sawit. Ada masalah-masalah lain yang ditemui di lapangan.

Foto Ozon adalah satu bukti, bahwa sekalipun sudah dikonservasi, perlakuan yang kurang baik kepada orangutan tetap terjadi. Perilaku memelihara orangutan sejak bayi lalu mengerangkeng dan merantainya saat dewasa pun masih banyak terjadi. Praktik ini masih dijalankan di beberapa daerah sebagai simbol status sosial—mereka yang memelihara orangutan dianggap memiliki  status yang tinggi.

Beberapa tahun lalu, bahkan ada kasus ekstrem di mana seekor orangutan betina dijadikan pekerja seks, dan sudah ‘disewa’ oleh 50 laki-laki manusia. Perilaku di luar nalar tersebut menunjukkan masih tingginya perlakuan semena-mena kepada orangutan.

Kasus-kasus ini pun seolah terus lestari dengan ‘pembiaran’ dari pemerintah. Misalnya, masih adanya mindset tambal sulam, dengan hanya mengamankan orangutan ilegal yang ditemukan, namun tidak menindak pemilik serta pedagang hewan tersebut secara hukum.

Praktik-praktik demikian terus menerus terjadi kepada orangutan, dan dilakukan oleh oknum-oknum yang lepas dari pengawasan pemerintah. Bila diteruskan tanpa intervensi yang efektif dari pemerintah, bukan tidak mungkin spesies orangutan akan habis pada tahun 2040.

Menghadapi masalah ini, usaha konservasi memang terus ada. Tak hanya dari NGO atau pemerintah saja, perusahaan-perusahaan kelapa sawit juga telah berupaya menjaga eksistensi orangutan melalui berbagai program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka. Sejumlah perusahaan besar bahkan sudah membuat organisasi besar bersama banyak NGO, bernama Palm Oil-NGOs (PONGOs).

Akan tetapi, fakta bahwa jumlah habitat serta populasi mereka terus menurun, membuktikan sebaliknya. Bisnis kelapa sawit dan bisnis-bisnis ilegal masih lebih penting daripada perlindungan orangutan.

Lemahnya peran pemerintah dalam menegakkan hukum dan melindungi orangutan dianggap sebagai sebuah kewajaran yang diterima dari generasi ke generasi.

Apakah begitu pula di era Presiden Jokowi?

Era Jokowi, Semakin Suram?

“Orangutan gila karena manusia gila. Tak betah tinggal di kota, dia rindu habitatnya. Di rimba…”

-Navicula-

Ada tren yang terlihat di era Jokowi, bahwa populasi orangutan tetap menurun drastis. Beberapa pihak menilai ini terkait dengan ambisi Jokowi di sektor kelapa sawit. (Baca juga: Ambisi Perang Sawit Jokowi)

Akan tetapi, sesungguhnya Jokowi punya perhatian yang cukup baik kepada lingkungan hidup—khususnya hutan—sekalipun tidak pernah secara khusus mengangkat wacana perlindungan orangutan.

“Saya sudah janjian sama Kapolri dan Panglima TNI, ada reward and punishment. (Hutan) yang terbakar semakin banyak, semakin gede, ganti, copot! Dari atas sampai ke bawah. Yang baik, tentu saja dipromosi,” ujar Jokowi, pada Januari 2016.

Namun, pada Februari-Maret 2016 justru menjadi titik terendah lingkungan hidup dan kehutanan di era Jokowi. Ada 69 hotspot kebakaran hutan dalam dua bulan tersebut, yang memakan waktu lama untuk dipadamkan. Dari kebakaran itu, ada tiga ekor bayi orangutan yang mati, dan kasus itu pun disorot dunia internasional.

Menanggapi hal tersebut, Jokowi kemudian mengeluarkan moratorium perkebunan sawit pada tahun 2016. Moratorium itu sekaligus ingin menambahkan jumlah hutan gambut yang dapat menjadi sumber penghidupan biota-biota di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, Jokowi menunjukkan keseriusan dengan memperpanjang moratorium itu hingga tahun 2019.

Sejak saat itu, tidak banyak lagi pemberitaan mengenai kebakaran hutan yang parah, apalagi yang menyangkut kematian orangutan.

Walaupun demikian, fakta bahwa populasi orangutan terus menurun di era Jokowi menunjukkan adanya masalah lain. Bisa jadi, terdapat kenaikan perburuan dan perdagangan ilegal yang belum mampu ditangkal oleh pemerintahan Jokowi, yang tidak dapat dilacak datanya. Jokowi tetap memiliki PR besar dalam hal ini.

Yang pasti, penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian LHK di era Jokowi yang sempat disambut positif oleh para pegiat lingkungan, belum berdampak langsung kepada keselamatan orangutan.

Dengan modal politik lingkungan yang sebenarnya cukup baik, Jokowi punya potensi untuk mengembangkan orangutan menjadi satwa yang lebih ‘produktif’.

Indonesia dapat mulai mencontoh Tiongkok dalam hal melindungi hewan langka ciri khas negara mereka, panda. Tiongkok memiliki sistem konservasi panda yang baik dan negara ambil bagian yang besar dalam sistemnya.

Bahkan, negara pun menjadikan panda komoditas diplomasi, membuat istilah ‘diplomasi panda’ sangat dikenal di dunia. Praktik tersebut sudah dijalankan sejak tahun 1950-an di mana saat itu Tiongkok memberikan panda secara gratis sebagai tanda persahabatan. Lalu, setelah permintaan atas panda meningkat, pada tahun 1980-an panda-panda tersebut diberikan sebagai jaminan pinjaman jangka panjang yang diberikan kepada Tiongkok.

Dengan begitu, panda sukses menjadi sumber kapital politik dan ekonomi Tiongkok di dunia internasional. Lebih jauh lagi, populasi panda dapat diperbanyak dengan persebaran yang besar di seluruh dunia. Panda dapat diselamatkan dari status kritisnya.

Jokowi sepertinya dapat belajar praktik itu. Mungkinkah ada ‘diplomasi orangutan’ suatu saat nanti? (R17)

Exit mobile version