Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Misteri Jack Ma

Jokowi dan Misteri Jack Ma

Jokowi dan Jack Ma (Foto: istimewa)

Seri pemikiran Kishore Mahbubani #29

Beberapa waktu terakhir publik diramaikan dengan pergunjingan terkait menghilangnya pendiri Alibaba, Jack Ma. Seperti diberitakan beberapa media internasional, Jack Ma disebut tak terlihat di hadapan publik selama hampir 2 bulan terakhir. Ia juga tak lagi mengeluarkan cuitan lewat akun Twitter-nya dalam 3 bulan terakhir.


PinterPolitik.com

Tak heran berbagai spekulasi pun bermunculan terkait orang terkaya ke-21 di dunia versi Forbes ini, apalagi beberapa bulan sebelum menghilang, ia diketahui melancarkan kritik kepada pemerintah Tiongkok terkait sistem perbankan negara tersebut yang menurutnya ketinggalan zaman.

Kritikan itu dilancarkan beberapa hari sebelum grup usaha milik Jack Ma, Ant Group, akan melakukan penawaran publik atau IPO yang kala itu sempat disebut-sebut akan menjadi IPO terbesar sepanjang sejarah dengan total nilai mencapai US$ 37 miliar atau sekitar Rp 515 triliun. Sebagai catatan tambahan, Ant Group adalah yang menguasai sistem pembayaran Alipay yang digunakan sekitar 70 persen masyarakat di Tiongkok.

Baca Juga: Tugas Berat Budi Sadikin: Rangkul IDI

Namun, gara-gara kritikannya itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping, disebut marah terhadap Jack Ma. Informasi yang diperoleh dari internal pemerintah Tiongkok bahkan menyebutkan bahwa Xi meminta untuk menggagalkan IPO Ant Group – yang kemudian akhirnya batal terjadi. Itu juga kemudian menandai mulai tak tampaknya Jack Ma di hadapan publik.

Konteksi ini membuat kembali populer beberapa percakapan yang pernah terjadi, misalnya antara miliarder Tiongkok, Go Wengui yang tengah dalam pengasingan, dengan founder dari Hayman Capital Management, Kyle Bass pada tahun 2019 lalu. Kala itu mereka memprediksi dua pilihan nasib yang akan menimpa para billionaire di Tiongkok seperti Jack Ma, yakni dipenjara atau mati.

Hal ini memang terkait dengan bagaimana kepemimpinan Tiongkok di bawah Presiden Xi Jinping yang memang cenderung bertangan kuat. Nyatanya, Xi Jinping memang muncul sebagai pemimpin bertangan kuat yang menguasai Tiongkok dengan kekuasaan yang cenderung mutlak.

Bahkan kekuasaannya menjadi lambang digdaya era di bawah Partai Komunis Tiongkok yang oleh banyak penulis telah dicap sebagai dinasti paling berkuasa sepanjang sejarah Tiongkok – sekalipun kekuasaan kepartaian tak melibatkan hubungan darah. Xi Jinping juga dianggap sebagai gambaran kekuasaan seorang kaisar sesungguhnya di abad ke-21.

Lalu, seperti apa kasus yang menimpa Jack Ma ini dilihat dari sudut pandang akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani?

21st Century Emperor: Muscle and Brain

Ian Bremmer, Presiden Eurasia Group dalam salah satu kolomnya di TIME, menyebutkan bahwa era saat ini adalah era kebangkitan para pemimpin bertangan kuat alias strongmen. Brian Lai dan Dan Slater dalam tulisannya “Institutions of the Offensive: Domestic Sources of Dispute Initiation in Authoritarian Regimes, 1950-1992″ yang diterbitkan oleh American Journal of Political Science secara spesifik mendefinisikan strongman sebagai salah satu bentuk pemerintahan otoriter.

Menariknya, ada semacam trend bahwasanya model pemerintahan yang demikian ini menjadi begitu populer dan mulai terjadi di banyak negara di dunia.

Mulai dari Russia yang kuat di bawah Vladimir Putin, kemudian ada Turki di bawah Erdogan, Filipina di bawah Rodrigo Duterte dan tentu saja Tiongkok di bawah Xi Jinping. Secara khusus, di Tiongkok sendiri Bremmer menyebutkan bahwa Xi Jinping menggunakan cara-cara keras untuk menghadapi lawan-lawan politiknya, katakanlah misalnya lewat kebijakan pemberantasan korupsi yang cenderung terlihat menyasar tokoh atau kelompok tertentu.

Tak heran, banyak yang menyebutkan bahwa konteks strongman pada Xi Jinping sangat dipengaruhi oleh kemampuannya menggunakan segala perangkat aturan hukum yang ada untuk mengukuhkan posisi politiknya.

Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh posisinya yang memegang hampir setiap kunci kekuasaannya di Tiongkok. Selain sebagai Presiden Tiongkok, Xi juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, serta Komandan Angkatan Bersenjata. Ia juga menjadi satu dari 7 anggota Politburo Standing Committee (PSC) yang merupakan dewan tertinggi penentu kebijakan di Partai Komunis Tiongkok. Lebih hebatnya lagi, hanya Xi yang punya hak veto tunggal dalam dewan tersebut.

Baca Juga: Di Balik Jokowi Pecat Terawan

Tak heran banyak yang menyebutkan bahwa jabatan presiden sebenarnya hanyalah formalitas karena kekuatan utama Xi adalah dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Partai Komunis Tiongkok dan komandan militer. Xi juga sudah mendapatkan gelar “lingdao hexin” atau “pemimpin inti” – gelar yang dalam sejarah Tiongkok hanya diperoleh oleh Mao Zedong, Deng Xiaoping dan Jiang Zemin.

Xi juga kini dijuluki sebagai “the paramount leader” – sebutan yang diberikan kepada politisi paling berpengaruh atau paling penting di partai dan negara tanpa memandang jabatan formalnya. Julukan tersebut terakhir kali disematkan pada Deng Xiaoping (1978-1989) yang berhasil mereformasi ekonomi dan politik Tiongkok.

Kemampuan Xi dalam menyusun strategi politiknya juga sangat menarik untuk diamati, terutama dalam hal bagaimana ia membangun kekuasaannya dengan menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dalam sebuah podcast di Vox, professor hukum dari Fordham Law School New York, Carl Minzner menyebutkan bahwa Presiden Xi membangun kekuatannya secara bertahap dengan menyingkirkan satu per satu lawan politiknya.

Setelah merebut kekuasaan sebagai presiden misalnya, lawan politik Xi, Bo Xilai terkena skandal terkait pembunuhan warga Inggris yang dilakukan oleh istrinya. Bo Xilai kehilangan posisinya di partai, parlemen, dan akhirnya menghadapi tuntutan hukum. Kemudian, berturut-turut satu per satu lawan politik Xi terkena skandal hukum, termasuk para jenderal militer, baik yang terjerat korupsi atau kasus hukum lainnya.

Kampanye anti korupsi Xi nyatanya bukan hanya untuk membersihkan negara itu dari pencurian uang, tetapi juga menjadi alat politiknya untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Jika disederhanakan, kekuasaan Xi ditentukan oleh posisi kuncinya dalam 3 faktor, yakni negara (jabatannya sebagai presiden), partai dan militer.

Saking berkuasanya, dalam kapasitasnya itu Xi bahkan telah memiliki hak untuk menentukan masa depan Tiongkok tanpa dipengaruhi oleh dewan pimpinan partai dalam PSC.

Buat yang belum tahu, PSC sendiri adalah dewan yang lahir untuk menjaga adanya keseimbangan kekuasaan, setelah lebih dari 3 dekade (1949-1978) Tiongkok berada dalam kekuasaan perorangan tunggal di bawah Mao Zedong. PSC bertujuan untuk menjaga marwah kekuasaan yang lebih kolegial. Namun, kini dewan tersebut tak lebihnya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Xi Jinping.

Posisi Xi Jinping ini memang di satu sisi dianggap buruk karena adanya kekuasaan yang cenderung absolut. Apa yang terjadi pada Jack Ma misalnya – kalau benar ia telah disingkirkan – adalah salah satu contohnya.

Baca Juga: Corona, Indonesia Ungguli Singapura?

Namun, ini juga menjadi penentu Tiongkok untuk menjadi semakin besar dalam konteks kekuatan ekonomi dan politiknya secara global sebab pemimpin yang seperti Xi Jinping akan mampu menentukan arah kemajuan Tiongkok.

Hal inilah yang pernah disinggung oleh Kishore Mahbubani dalam salah satu ulasannya terkait ciri-ciri kepemimpinan yang disebut sebagai great leader. Xi Jinping adalah salah satu pemimpin yang menurut Mahbubani mewakili karakter brain atau kecerdasan karena bisa mengolah semua informasi yang didapatkannya untuk menghasilkan kebijakan yang melingkupi semua orang dan dengan perhitungan jangka panjang yang matang pula.

Xi Jinping disebut sebagai pemimpin yang paham tentang perubahan ekonomi dan sosial serta mampu melihat kesempatan di balik Revolusi Industri 4.0. Pada saat yang sama ia juga punya muscle atau otot untuk menciptakan stabilitas politik dan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya justru terlihat positif untuk negaranya.

Lalu, apa yang bisa direfleksikan dalam konteks Xi Jinping dan Jac Ma ini pada pemerintahan yang berkuasa di Indonesia?

Akankah Jokowi jadi Xi Jinping?

Sepertinya bukan rahasia lagi Presiden Jokowi adalah salah satu pemimpin yang sangat mengidolakan Xi Jinping. Jokowi pernah menyebut dirinya begitu terpesona dengan cara Presiden Xi mengubah perekonomian Tiongkok dan membuat pertumbuhan ekonomi negara berpopulasi besar itu menyentuh dua digit.

Xi Jinping pun pernah membagi tiga resep pembangunan ekonomi kepada Jokowi, yakni kondisi politik yang kondusif ditandai dengan partai politik yang bersatu, adanya visi jangka panjang, serta pembangunan infrastruktur – hal-hal yang pernah diungkapkan sendiri oleh Jokowi.

Artinya, jika menilik kebijakan ekonomi-politik Jokowi, jelas bahwa pria kelahiran Solo itu sangat “Xi-Jinping-isme”. Jokowi seolah ingin meniru bagaiman Xi menyulap Tiongkok menjadi negara dengan perekonomian yang luar biasa besar. Berbagai proyek infrastruktur yang dikebut Jokowi merupakan salah satu contohnya.

Persoalannya tinggal apakah Jokowi akan menggunakan cara-cara yang sama dalam menghadapi lawan-lawan politiknya?

Well, kalau melihat kasus yang menimpa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan yang terbaru Front Pembela Islam (FPI) agaknya ada kemiripan dalam konteks pengambilan kebijakan yang melibatkan penggunaan kekuasaan tersebut. Apalagi, HTI dan FPI sempat menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang mengancam kekuasaan Jokowi.

Walaupun demikian, Jokowi belum sampai level Xi Jinping yang benar-benar menggunakan kekuasaannya secara absolut. Hal ini bisa saja diakibatkan faktor Jokowi yang belum punya konteks kekuasaan dalam 3 faktor: negara, militer dan partai, seperti yang dipunyai Xi Jinping.

Pada akhirnya, publik tentu akan menanti-nantikan, akan seperti apa pemerintahan presiden Jokowi dijalankan di sisa waktu kekuasaannya ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version