Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Mimpi Berjuta Sarjana

KIP Kuliah

Jokowi menunjukkan kartu andalannya. (Foto: Antara Foto)

Berkuliah tentu adalah hak yang perlu dilindungi dan bahkan diberikan negara. Meski demikian, apakah mimpi mewujudkan berjuta sarjana adalah hal yang perlu diwujudkan?


Pinterpolitik.com

“[dropcap]M[/dropcap]enjadikan Indonesia negeri berjuta sarjana”. Itulah kata-kata yang keluar dari kandidat presiden nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) dalam iklan resminya yang diunggah oleh kanal YouTube KPU. Kata-kata itu ia gunakan untuk mendeskripsikan salah satu kartu andalannya, yaitu Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah.

Kartu tersebut akan melengkapi KIP miliknya yang sudah lebih dahulu terlaksana dan menjadi andalannya di Pilpres lima tahun yang lalu. Sebelumnya, siswa di tingkat SD hingga SMA yang kurang mampu sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah melalui program KIP tersebut, sehingga kini programnya adalah kartu baru untuk mereka yang berkuliah.

Jika diperhatikan, sebenarnya kemunculan KIP Kuliah ini terdengar rasional. Banyak masyarakat yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi dapat terbantu jika pemerintah turun tangan memberi dana layaknya KIP di tingkat pendidikan yang lain.

Meski demikian, apakah program ini adalah hal yang benar-benar mungkin dilaksanakan di Indonesia? Jika melihat kondisi masyarakat dan dinamikanya, apakah program ini bisa menjadi solusi yang tepat untuk dilaksanakan di negeri ini?

Demi Negeri Berjuta Sarjana

Jika mau adil, tidak banyak masyarakat Indonesia yang memiliki keuntungan dapat mengenyam pendidikan tinggi di bangku kuliah. Pendidikan tinggi, baik itu sarjana maupun diploma, kerap kali dianggap sebagai barang mewah bagi banyak orang Indonesia.

Padahal, bangku kuliah kerap dianggap sebagai salah satu cara untuk mengubah nasib. Banyak orang berharap dengan berkuliah dan mendapatkan gelar sarjana, maka mereka bisa mengalami perubahan taraf hidup karena mendapatkan keahlian baru dan CV mentereng, sehingga dapat melabuhkan pekerjaan dengan prestise dan penghasilan tinggi.

Idealnya, pendidikan – termasuk bangku kuliah – adalah hak bagi semua orang. Sayangnya, hal itu masih belum juga bisa terwujud bagi banyak masyarakat Indonesia. Biaya kuliah di sejumlah perguruan tinggi terbaik dan terfavorit di Indonesia memang bisa membuat sejumlah orang tua berpikir dua kali untuk mengirim putra-putri mereka berkuliah.

Hal ini masih ditambah dengan inflasi biaya pendidikan Indonesia yang tergolong tinggi. Menurut lembaga keuangan Jiwasraya, kenaikan biaya pendidikan Indonesia bisa mencapai 15 persen per tahunnya. Padahal, pertumbuhan pendapatan masyarakat tak setara dengan hal tersebut.

Merujuk pada hal tersebut, maka sebenarnya niat Jokowi untuk memberikan KIP Kuliah menjadi sesuatu yang masuk akal. Bagaimanapun, pendidikan tinggi idealnya bisa diakses masyarakat manapun, sehingga memberikan bantuan dana kepada masyarakat tidak mampu dapat menjadi solusi dari hal tersebut.

Tak Terserap Kerja

Meski memberikan sesuatu yang menjadi hak warga adalah hal yang baik, sebenarnya ada potensi masalah yang dapat terjadi jika KIP Kuliah dibagikan tanpa perencanaan yang baik. Sumber masalahnya boleh jadi terkait pernyataan Jokowi dalam iklannya bahwa Indonesia akan menjadi negeri berjuta sarjana.

Di atas kertas, duduk di bangku kuliah dianggap sebagai investasi jangka panjang, di mana orang mempersiapkan keahlian baru demi mendapatkan pekerjaan dengan kedudukan tinggi di masyarakat. Sayangnya, hal tersebut ternyata kerap kali tak terjadi. Para lulusan perguruan tinggi di Indonesia misalnya, harus menghadapi ancaman pengangguran yang ada di depan mata.

Jika statistik jadi acuannya, angka pengangguran sarjana di Indonesia mencapai titik yang cenderung tinggi. Berdasarkan data BPS tahun 2018, terjadi kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen.

Tak hanya itu, TPT di tingkat diploma juga sebenarnya mengalami kenaikan. Tingkat pengangguran di jenjang ini mengalami kenaikan dari semula 2,62 persen menjadi 2,67 persen.

Pasca lulus kuliah, dunia ternyata tak semata-mata menjadi lebih mudah bagi para pemuda Indonesia. Hal ini merujuk pada data yang disebutkan oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi bahwa 8,8 persen dari 7 juta pengangguran Indonesia adalah sarjana yang baru saja lulus.

Kondisi tersebut tentu merupakan hal yang ironis. Bagaimana mungkin masyarakat yang menghabiskan waktu dan dana begitu besar selama lebih kurang empat tahun masih harus menganggur ketika lulus dari bangku kuliah?

Merujuk pada survei yang dibuat oleh Willis Towers Watson, sebagaimana dikutip oleh Kompas, perusahaan-perusahaan di Indonesia mengalami kesulitan untuk mencari lulusan perguruan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan. Padahal, permintaan perusahaan akan tenaga kerja lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah lulusan setiap tahunnya.

Berdasarkan survei tersebut, ada alasan mengapa para lulusan perguruan tinggi di Indonesia kesulitan untuk diserap oleh dunia kerja. Perkara skill atau keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan merupakan biang keladi dari minimnya serapan lulusan tersebut oleh perusahaan.

Fenomena seperti ini tidak unik terjadi di Indonesia dan terjadi pula di belahan bumi lainnya. Graduate unemployment atau pengangguran berlatar belakang kuliah menjadi hal yang lazim terjadi sejak beberapa tahun terakhir.

Menurut Jaison R. Abel, Richard Deitz dan Yaqin Su memang ada kecenderungan beberapa program studi mengalami tingkat pekerjaan kerja yang rendah jika dibandingkan dengan program studi lainnya. Menurut mereka, studi yang terkait dengan kemampuan teknis seperti teknik atau komputer cenderung terserap lebih baik. Selain itu, studi yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi seperti pendidikan dan kesehatan juga cenderung berperforma baik.

Sinkronisasi Industri

Merujuk pada kondisi tersebut, menjadikan Indonesia sebagai negeri berjuta sarjana bisa saja menimbulkan masalah baru, jika tidak ditangani secara serius. Kenaikan persentase pengangguran sarjana tentu merupakan hal yang mengkhawatirkan dan berpotensi tambah pelik jika pemerintah memaksakan KIP Kuliah tanpa perencanaan matang.

Tentu, menyesuaikan dengan kebutuhan industri tidak berarti sepenuhnya meninggalkan jurusan-jurusan yang tidak menarik minat industri secara statistik. Jika hal ini diterapkan sepenuhnya, maka studi-studi sosial humaniora akan hilang karena dianggap tak sesuai kebutuhan industri. Padahal, menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) studi-studi ini juga memberikan kontribusi bagi industri.

Pada titik tersebut, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi agar hal tersebut tidak menjadi masalah. Di satu sisi, menutup dan menghentikan sama sekali program studi sosial humaniora tentu akan menjadi masalah besar. Di sisi yang lain, perlu pula menyiapkan lulusan pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Salah satu strategi yang dapat diambil adalah dengan meninjau ulang izin pendirian perguruan tinggi di Indonesia sampai ke titik moratorium. Berdasarkan data Asosisasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi), terjadi kenaikan jumlah perguruan tinggi dari 2.408 menjadi 4.264 di tahun 2015.

Sayangnya, banyak yang mengeluhkan kualitas dari pendidikan di balik pertumbuhan perguruan tinggi tersebut. Tak hanya itu, banyak pula yang menuding bahwa perguruan tinggi tersebut selalu memiliki fakultas ekonomi dan hukum padahal penyerapan kerjanya tak selalu maksimal.

Selain itu, yang juga penting adalah pemerintah idealnya mampu menyadari bahwa unsur kreativitas adalah hal yang mampu membuat para lulusan perguruan tinggi tersebut bertahan hidup pasca lulus dari kampus. Di Inggris misalnya, ekonomi kreatif memberikan pekerjaan sebanyak 2,6 juta.

Alih-alih terburu-buru menyiapkan berjuta sarjana, idealnya pemerintah bisa membuat sistem yang membuat calon lulusan terbiasa kreatif. Kreativitias merupakan industri yang berasal dari kreasi otak, sehingga akan selalu relevan dan tak bisa diambil oleh robot atau mesin. Pada titik ini, perlu ada perubahan besar dalam pendidikan nasional agar tak hanya menunggu tersedianya pekerjaan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja itu sendiri.

Meski baik, KIP Kuliah bisa memberikan masalah baru jika dilakukan terburu-buru. Share on X

Secara khusus, di sinilah pula letak bagaimana pemerintah bisa menerima bukti bahwa lulusan studi sosial humaniora adalah lulusan yang penting karena terkait dengan kreativitas tak semata-mata kemampuan teknis.

Secara spesifik, pemerintah juga dapat mengambil langkah yang dilakukan oleh Jerman. Negara di Eropa Barat tersebut memiliki tingkat penyerapan lulusan pendidikan tinggi atau graduate employment terbaik kedua di Eropa.

Di negara tersebut ada banyak opsi yang diambil ketika masyarakat lepas dari pendidikan setingkat SMA. Ada pilihan lazim seperti universitas dan sekolah tinggi. Akan tetapi, di negara tersebut ada pula pendidikan vokasional dan juga Duale Hochschule atau  sekolah tinggi yang berkooperasi secara langsung dengan industri. Melalui sistem ini, lulusan pergururuan tinggi mendapatkan keahlian yang benar-benar dibutuhkan oleh industri, sehingga bisa terserap dengan baik.

Oleh karena itu, penting bagi Jokowi untuk mengatasi perkara ketidakcocokan antara dunia usaha dengan dunia pendidikan ini terlebih dahulu. Jika tidak, berjuta sarjana yang diimpikan melalui KIP Kuliah berpotensi menghasilkan berjuta pengangguran baru.

Inisiatif memberi kesempatan kepada banyak orang untuk bisa mencicipi bangku kuliah tentu adalah hal yang penting. Akan tetapi, tanpa memperbaiki perkara penyerapan industri, kebijakan ini hanya akan menjadi penambah statistik buruk bagi negeri ini. (H33)

Exit mobile version