HomeNalar PolitikJokowi dan Militerisasi Penanganan Corona

Jokowi dan Militerisasi Penanganan Corona

Menjadi menarik untuk melihat perihal banyaknya sosok berlatar belakang militer justru berdiri dalam Gugus Tugas Covid-19. Berbagai pihak kemudian menyebut bahwa besarnya pelibatan sosok-sosok tersebut menjadi akar masalah dari buruknya penanganan Covid-19. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Sebelum viralnya berita kematian Sutopo Purwo Nugroho, mungkin tidak banyak yang memberi perhatian khusus terhadap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Karena fungsi dan tujuannya dalam menanggulangi bencana, BNPB sebenarnya merupakan badan yang memiliki kewenangan yang begitu besar.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Darurat Bencana yang merupakan UU yang satu level di bawah UU Darurat Militer, BNPB sejatinya memiliki kewenangan untuk mengkoordinir berbagai lembaga besar seperti kepolisian, militer, hingga intelijen.

Atas besarnya kewenangan BNPB, itu kemudian membuat berbagai pihak menyoroti Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika menunjuk Letjen Doni Monardo sebagai Kepala BNPB pada 9 Januari 2019 lalu. Melihat kariernya, Doni memang memperlihatkan catatan cemerlang, jabatan terakhirnya bahkan sebagai Sekjen Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas).

Akan tetapi, seperti yang disebutkan oleh pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, selain karena faktor kompetensi, penunjukan Doni boleh jadi memiliki faktor atau motif lain. Menurutnya, boleh jadi itu merupakan upaya Presiden Jokowi dalam merangkul Doni dan mengandalkannya untuk memperluas pengaruh di lingkungan keluarga besar TNI.

Kendati tidak dapat dikonfirmasi dengan pasti, dugaan Presiden Jokowi ingin membangun hubungan baik dengan militer sebenarnya telah dicium pula oleh berbagai pihak.

Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding misalnya, ia menyebutkan bahwa militer telah berperan penting dalam menjalankan agenda politik Presiden Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya.

Menurut Evan, karena Presiden Jokowi tidak memiliki modal politik yang cukup untuk menjaga koalisi, serta tidak memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, mantan Wali Kota Solo tersebut telah memainkan strategi dengan mengandalkan sosok berlatar belakang militer seperti Luhut Binsar Pandjaitan dan A.M. Hendropriyono.

Selain itu, Evan juga mencatat bahwa Presiden Jokowi telah membangun hubungan yang dekat dengan TNI, yang misalnya terlihat dengan ditingkatkannya anggaran TNI menjadi hampir dua kali lipat, ataupun dengan TNI dan Kementerian Pertahanan yang menandatangani 133 perjanjian dan memorandum dengan kementerian lain, organisasi sosial, dan universitas di berbagai program mulai dari pelatihan dasar militer hingga proyek pembangunan pedesaan.

Merujuk pada Fahmi dan Evan, tidak mengherankan kemudian mengapa berbagai pihak turut menyoroti perihal banyaknya sosok berlatar belakang militer yang justru berdiri di dalam Gugus Tugas Covid-19.

Selain Doni selaku Kepala Gugus Tugas Covid-19, terdapat pula sosok Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan dan juru bicara (jubir) Gugus Tugas Covid-19 Achmad Yurianto yang merupakan dokter militer, hingga pada diangkatnya Pangdam Jaya Mayor Jenderal TNI Eko Margiyono untuk memimpin rumah sakit (RS) darurat penanganan pasien positif Covid-19, Wisma Atlet Kemayoran Jakarta.

Lantas, benarkah Presiden Jokowi telah memberikan porsi pelibatan besar terhadap militer ataupun sosok berlatar belakang militer dalam penanganan Covid-19? Dan jika benar, mungkinkah itu menjadi akar persoalan mengapa penanganan Covid-19 menjadi bermasalah?

Kenangan Kelam Dwifungsi ABRI

Terkait adanya sentimen negatif terhadap besarnya pelibatan militer dalam penanganan Covid-19, ataupun banyaknya sosok berlatar belakang militer di dalam Gugus Tugas Covid-19, memang tidak dipungkiri itu terjadi karena masyarakat Indonesia telah mengalami kenangan kelam atas dwifungsi ABRI yang masif terjadi di era Orde Baru.

Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran (Unpad) Muradi juga turut menyoroti hal ini dengan menyebutkan bahwa masyarakat sipil memang “genit” ketika melihat adanya pelibatan militer di jabatan publik. Terlebih lagi, dengan banyaknya sosok berlatar belakang militer di kabinet Presiden Jokowi, rasa genit untuk berkomentar menjadi sulit untuk ditolak.

Konteks adanya sentimen negatif terhadap pelibatan militer tersebut dapat kita pahami melalui tulisan Alina Tugend yang berjudul Praise Is Fleeting, but Brickbats We Recall. Mengutip temuan Roy F. Baumeister, seorang profesor psikologi sosial dari Florida State University, Tugend menyebutkan bahwa manusia secara alamiah memang lebih mengingat kenangan buruk daripada kenangan baik.

Menurut Profesor Baumeister, hal tersebut merupakan bagian dari adaptasi manusia dalam bertahan hidup karena mengingat pengalaman buruk dapat memperbesar peluang manusia dalam menghindari bahaya.

Mengacu pada tulisan Tugend, kenangan kelam berbagai tindakan koersif pada era Orde Baru karena terjadinya dwifungsi ABRI, boleh jadi telah bersarang di benak publik, khususnya mereka yang mengalami peristiwa tersebut secara langsung.

Dengan kata lain, agar peristiwa serupa tidak terjadi, di mana adanya kekhawatiran akan tindakan koersif berlebihan dapat terjadi dalam penanganan Covid-19, pandangan minor terhadap banyaknya sosok berlatar belakang militer di Gugus Tugas Covid-19 menjadi lumrah terjadi.

Kemudian, dengan adanya berbagai kebijakan ganjil penanganan Covid-19, serta dinilai masih kurangnya pelibatan kalangan profesional di Gugus Tugas Covid-19, boleh jadi itu membuat terdapat pihak menghubungkan bahwa kebijakan ganjil tersebut terjadi karena sosok berlatar belakang militer di Gugus Tugas Covid-19 terlalu mengintervensi.

Terkait kurangnya kalangan profesional, hal tersebut juga menjadi sorotan Fahmi. Menurutnya, dengan tidak adanya representasi keilmuan dalam struktur Gugus Tugas Covid-19, itu dapat membuat kesan bahwa pemerintah lebih mengedepankan pendekatan sekuritisasi dan otoritatif daripada pendekatan governmentalisasi dan ilmiah dalam penanganan pandemi Covid-19.

Lantas, benarkah pelibatan militer dan sosok berlatar belakang militer yang terlalu dominan membuat penanganan pandemi Covid-19 menjadi bermasalah?

Akar Masalah?

Jika mengacu pada sejarah, kita tentu dapat menjumpai bagaimana kentalnya peran militer dalam proses politik tanah air. Dengan kata lain, apabila mengacu pada karakter militer Indonesia yang merupakan militer pretorian atau militer yang cenderung berpolitik, adanya berbagai sosok dengan latar belakang militer di pos-pos jabatan publik sebenarnya adalah hal yang lumrah.

Kemudian, mengkritik besarnya pelibatan militer dalam penanganan Covid-19 sebenarnya adalah suatu hal yang keliru. Pasalnya, dalam menghadapi bencana, militer memang merupakan salah satu unsur kekuatan utama yang harus dihadirkan.

Tidak hanya di Indonesia, pelibatan militer dalam penanganan bencana juga terjadi di berbagai negara. Alex Ward dalam tulisannya di Vox misalnya, ia menjabarkan bagaimana besarnya peran militer Amerika Serikat (AS) dalam menanggulangi ancaman non-militer, seperti pandemi Covid-19. Menurut Ward, militer AS bahkan telah terlibat selama lebih dari seabad dalam menangani krisis medis di seluruh dunia.

Capaian itu tidak terlepas dari kapabilitas militer AS yang memiliki keahlian untuk membantu perawatan medis, membangun rumah sakit mobile army surgical hospital (MASH), menyediakan tempat tinggal, makanan, dan peralatan medis, serta untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Pada kasus Covid-19, militer AS diketahui telah terjun ke berbagai daerah, seperti Georgia, Florida, dan New York untuk melakukan berbagai langkah penanggulangan.

Tom Kolditz dalam tulisannya Why the Military Produces Great Leaders juga turut menyebutkan bahwa militer dididik dalam etos kedisiplinan, memenuhi tugas, dan tanggung jawab yang tinggi. Kolditz juga menggarisbawahi, etos tersebut telah membuat militer menjadi semacam pemimpin alami.

Mengacu pada etos tersebut, tidak mengherankan kemudian mengapa militer kerap dijadikan garda terdepan dalam penanganan bencana. Mereka adalah eksekutor lapangan ulung.

Dengan kata lain, dilibatkannya militer ataupun pejabat berlatar belakang militer dalam penanganan Covid-19 memang merupakan suatu kebutuhan. Terlebih lagi, pelibatan militer dalam penanganan bencana memang memiliki payung hukum yang jelas.

Seperti yang dicatat oleh Fahmi, masalah yang terjadi dalam penanganan Covid-19 sejatinya bukan terletak pada adanya sosok berlatar belakang militer atau purnawirawan sebagai pengambil kebijakan, melainkan terletak pada adanya faksi-faksi yang bermain di belakang, yang mana itu membuat koordinasi ataupun perumusan kebijakan menjadi bermasalah.

Pada kasus penanganan Covid-19 di Surabaya misalnya, kendati tidak terdapat purnawirawan sebagai pengambil kebijakan, nyatanya tetap terjadi penerapan kebijakan penanganan yang tidak tepat, bahkan dinilai belum jelas oleh berbagai pihak.

Pada akhirnya, kita mungkin dapat memahami, adanya sentimen negatif terkait pelibatan militer ataupun purnawirawan dalam Gugus Tugas Covid-19, sepertinya terjadi karena masih lekatnya kenangan buruk akan dwifungsi ABRI yang masif terjadi di era Orde Baru.

Di luar itu semua, tentu kita berharap agar faksi-faksi yang bermain di belakang pengambil kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dapat menyatukan suara dan menghilangkan ego agar pandemi ini dapat segera berlalu. Itulah harapan kita semua. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Pak Bas Sang Pengurus IKN
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...