Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Jebakan Vaksin Tiongkok

Jokowi dan Jebakan Vaksin Tiongkok

Jokowi dan Xi Jinping (Foto: istimewa)

Seri pemikiran Kishore Mahbubani #14

Vaksin Covid-19 kini menjadi komoditas politik paling hangat dan penting untuk dibicarakan. Bukan tanpa sebab, di tengah pandemi global yang disebut belum akan berakhir dalam waktu dekat ini, keberadaan produk vaksin ini akan jadi kunci utama pertaruhan kekuatan politik global di antara negara-negara yang ada di dunia, terutama antara Tiongkok dan Amerika Serikat.


PinterPolitik.com

“However, America also began to see its many Cold War allies in a new light, questioning their usefulness and seeing their flaws in sharper relief”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Seperti yang sudah terjadi pada politik internasional sebelum Covid-19 menyebar, persaingan utama peta kekuatan global masih akan melibatkan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok. Dua negara ini memang sedang ada dalam tahap persaingan memperebutkan dominasi global, terutama setelah Perang Dagang yang “berdarah-darah” terjadi di antara mereka.

Menariknya, banyak pihak kini melihat Tiongkok sebagai yang terdepan dalam pertarungan perebutan pengaruh dengan menggunakan produk vaksin ini.

Hal ini salah satunya diulas oleh Sui-Lee Wee di The New York Times. Ia menyebutkan bahwa Tiongkok menggunakan vaksin Covid-19 sebagai alat untuk meningkatkan “pertemanan” dengan banyak negara. Upaya ini tergambar dari bagaimana perusahaan-perusahaan pembuat vaksin asal negara ini menjadi alat bagi Tiongkok untuk meluaskan pengaruhnya ke berbagai negara, mulai dari Asia, Amerika Latin hingga ke Afrika.

Hal yang serupa nyatanya juga terjadi pada Indonesia, di mana Tiongkok juga memberikan perhatian lebih pada produksi vaksin untuk Indonesia – tak tanggung-tanggung – lewat janji langsung yang disampaikan oleh Presiden Xi Jinping.

Lalu, seperti apa akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani menilai fenomena ini?

Politik Vaksin Tiongkok

Dalam tulisan di The New York Times tersebut, memang disebutkan ada beberapa negara yang mendapatkan keistimewaan dari Tiongkok terkait vaksin Covid-19.

Filipina misalnya, akan mendapatkan akses cepat produksi vaksin Tiongkok. Presiden Rodrigo Duterte disebut telah melakukan “pendekatan” terhadap Presiden Xi Jinping untuk membantu negaranya terkait persoalan vaksin.

Duterte bahkan menyebut tak akan mengkonfrontasi Tiongkok di Laut China Selatan jika diberikan bantuan pengadaan vaksin yang cepat dan diprioritaskan. Sehari kemudian, pernyataan resmi dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok yang menyebutkan bahwa mereka akan memberikan akses prioritas kepada Filipina terkait vaksin.

Hal ini tentu mengejutkan, mengingat Filipina selalu dianggap sebagai sekutu AS di kawasan Asia Tenggara dan untuk beberapa waktu terakhir, negara yang dipimpin oleh Duterte itu mulai cukup keras mengkonfrontasi Tiongkok di Laut China Selatan. Jaminan bahwa Filipina tak akan mengkonfrontasi Tiongkok di konflik teritorial tersebut membuktikan secara jelas bahwa vaksin telah menjadi alat politik yang sangat efektif.

Selain Filipina, negara lain yang disinggung adalah Bangladesh, di mana Tiongkok disebut menjanjikan 110 ribu dosis vaksin gratis yang diproduksi oleh Sinovac Biotech. Sementara negara-negara Amerika Latin dan Karibia disebut akan mendapatkan bantuan pinjaman dana hingga US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,8 triliun dari Tiongkok yang akan digunakan untuk kebutuhan obat-obatan.

Kemudian, pemerintah Tiongkok juga telah melakukan pendekatan kepada Thailand, Vietnam, Kamboja dan Laos untuk menyelesaikan sengketa terkait tuduhan bahwa negara tersebut bertanggungjawab pada kekeringan yang terjadi di keempat negara lain.

Memang sempat diberitakan bahwa Tiongkok melakukan pembatasan terhadap aliran sungai Mekong, sehingga menjadi penyebab kekeringan di negara-negara lain yang dialiri oleh sungai tersebut. Menariknya, Tiongkok mendinginkan persoalan tersebut dan justru menawarkan vaksin sebagai bagian dari kesepakatan. Proposal ini diterima dengan baik oleh negara-negara tersebut.

Lalu terhadap Indonesia sendiri, Presiden Xi Jinping disebut telah memberikan jaminan bahwa negaranya akan memberikan bantuan terkait pengadaan vaksin. Seperti yang banyak diberitakan, Indonesia bahkan telah menandatangani kesepakatan pengadaan vaksin dalam bentuk konsentrat sebanyak 50 juta dosis, yang nantinya akan diproduksi secara lokal oleh PT Bio Farma – perusahaan farmasi pelat merah.

Konteks kerja sama ini memang belum terlihat dampaknya yang lebih besar dalam hubungan politik di konflik Laut Natuna Utara misalnya. Namun, dengan kerja sama ekonomi yang terjadi di antara kedua negara, efeknya sangat mungkin akan terasa dalam hal pembangunan proyek-proyek tertentu serta dalam bidang perdagangan.

Manuver-manuver yang demikian ini dipercaya juga akan terjadi di banyak negara. Tujuannya sangat mungkin untuk menggeser posisi AS dari kepemimpinan global.

Di AS sendiri, saat ini memang setidaknya ada 3 perusahaan yang telah ada di tahap-tahap akhir produksi vaksin. Namun, posisi produksinya dianggap masih tertinggal beberapa langkah dibandingkan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Pfizer misalnya disebut bisa memproduksi vaksin untuk “keperluan emergency” pada Oktober 2020. Ya, bisa diproduksi di bulan Oktober, tetapi hanya untuk keadaan yang sangat mendesak. Perusahaan lain, Moderna, menyebutkan baru bisa memproduksi vaksin di akhir tahun 2020.

Sementara AstraZeneca – sebuah perusahaan asal Inggris-Swedia yang mendapatkan pendanaan dari pemerintah AS – menghentikan sementara uji coba lanjutan setelah ditemukan reaksi dari sukarelawan yang berpartisipasi. Apa yang terjadi pada AstraZeneca ini sedikit banyak akan menguntungkan bagi posisi politik Tiongkok yang nota bene perusahaan-perusahaannya tak menemui hambatan berarti sejauh ini.

Fenomena ini oleh beberapa pihak dianggap menunjukkan bahwa AS mulai tertinggal dari Tiongkok dalam pertarungan perebutan pengaruh lewat bidang keilmuan pembuatan vaksin. Bahkan, Kishore Mahbubani dalam salah satu wawancara online bersama Centro Brasileiro de Relacoes Internacionais, menyebutkan bahwa AS telah kalah dalam pertarungan menghadapi Tiongkok ini secara keseluruhan.

Setidaknya ada 3 hal yang ia sebut menjadi alasan utama kemunduran AS.

Pertama adalah “kerusakan otak” AS dan negara-negara Barat akibat artikel yang dibuat oleh Francis Fukuyama berjudul The End of History and The Last Man. Artikel ini meninabobokan peradaban Barat dan membuatnya buta terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di Timur.

Alasan kedua adalah karena filosofi Raegan yang digariskan oleh Presiden Ronald Raegan, bahwa pemerintah bukanlah solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada, melainkan pemerintahlah yang menjadi masalahnya. Konteks ini berbeda dengan negara-negara seperti Tiongkok yang tingkat kepercayaan terhadap pemerintahnya masih sangat tinggi, sehingga memudahkan pembangunan menuju kemajuan.

Alasan ketiga adalah karena makin terpecahnya masyarakat AS akibat politik. Sejak Donald Trump berhadapan dengan Hilary Clinton, dan sekarang Trump akan berhadapan dengan Joe Biden, keterpecahan masyarakat AS ini menambah buruk kondisi sosial-politik negara tersebut.

Sementara, Tiongkok justru melakukan hal-hal yang menjadi kunci kemajuannya seperti sekarang ini.

Pertama, negara tersebut meninggalkan peradaban lama dan masuk ke dunia modern yang mengedepankan multilateralisme. Akibatnya, Tiongkok kini menjadi “negara pedagang” nomor satu di dunia.

Kedua, Tiongkok disebutnya telah bertransformasi dari negara feodal menjadi sebuah negara yang menjunjung meritokrasi. Kesempatan untuk menjadi yang terbaik kini terbuka bagi semua orang.

Dan yang ketiga adalah karena pragmatisme. Apa yang dilakukan oleh Deng Xiaoping misalnya dengan membuka negara tersebut di bidang ekonomi adalah contoh pragmatisme tersebut.

Dari variabel-variabel yang disebutkan oleh Mahbubani ini, memang bisa dipastikan bahwa jika AS tak berbuat banyak dalam beberapa waktu ke depan, posisinya akan makin digantikan oleh Tiongkok.

Tarung Sengit vs Amerika Serikat

Walaupun demikian, selalu ada alasan untuk tidak dengan begitu saja menyisihkan AS dari persaingan. Bahkan, muncul juga argumentasi lain yang menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan pembuat vaksin milik Tiongkok diklaim mendapatkan pendanaan dari negara-negara Barat, termasuk AS.

Jika ditelusuri satu per satu, dari 3 perusahaan di negara tersebut yang terdepan mengembangkan vaksin, beberapa memang punya pertalian dengan negara Barat.

CanSino misalnya, adalah perusahaan Tiongkok yang punya pertalian dengan Kanada. Namanya saja mewakili dua negara tersebut, yakni Can untuk Canada dan Sino untuk China. Chief Scientific Officer CanSino, Zhu Tao juga merupakan seorang ilmuwan senior di perusahaan Sanofi Pasteur yang ada di Kanada. Walaupun demikian, basis operasi dan petinggi perusahaan ini kebanyakan berasal dari Tiongkok.

Perusahaan lain, Sinovac, disebut-sebut juga mendapatkan pendanaan dari perusahaan yang berbasis di AS. Beberapa sumber menyebutkandari sekitar US$ 15 juta yang didapatkan oleh Sinovac untuk pengembangan vaksin Covid-19, berasal dari dua perusahaan, yakni Advantech Capital dan Vivo Capital yang masing-masing menginvestasikan US$ 7.5 juta. Advantech Capital adalah perusahaan yang berbasis di Tiongkok, sementara Vivo Capital menurut website resminya berbasis di California, Amerika Serikat.

Sedangkan perusahaan pengembang vaksin yang terakhir, Sinopharm adalah perusahaan pelat merah yang 100 persen dimiliki oleh pemerintah Tiongkok.

Walaupun dua dari tiga perusahaan tersebut punya keterkaitan dengan Barat, cukup sulit untuk menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan ini cenderung berpihak ke para pendananya ketimbang pada pemerintah Tiongkok sendiri. Pasalnya, dengan diplomasi vaksin yang digalakkan oleh negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu, jelas bahwa ada kepentingan negara yang dibawa di dalamnya.

Yang jelas, pertarungan perebutan pengaruh ini masih akan terjadi dalam waktu-waktu ke depan. Semuanya akan ditentukan dari perusahaan mana yang terlebih dahulu sampai pada produk final vaksin tersebut. Bagi publik, pragmatisme dan kebangkitan politik Tiongkok lewat vaksin Covid-19 adalah hal yang menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version