Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Jebakan Simbol Negara

Jokowi dan Jebakan Simbol Negara

Jokowi dan Moeldoko berpose bersama dalam suatu kegiatan. (Foto: Istimewa)

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengingatkan kepada masyarakat bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah simbol negara. Oleh sebab itu, ia mengimbau kepada masyarakat agar tidak memperlakukan Jokowi secara semena-mena.


PinterPolitik.com

“It’s the double entendre monster takin’ haunted constant trips through your conscious. So, be cautious” – Joey Bada$$, penyanyi rap asal AS

Sebelumnya diberitakan bahwa ada seorang pemuda berinisial HS yang mengancam untuk memenggal kepala Jokowi dalam sebuah video yang viral di media sosial. Video tersebut direkam ketika terjadi demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait isu kecurangan Pemilu 2019 beberapa waktu lalu.

Pihak kepolisian akhirnya menangkap pria tersebut dan dikenakan status tersangka atas dugaan makar setelah Tim Jokowi Mania melaporkan HS. Pihak perekam yang terlihat dalam video tersebut juga sedang dicari oleh polisi.

Terkait ancaman pemenggalan tersebut, Moeldoko meminta masyarakat agar menjaga etika dalam bernegara. Kepala Staf Kepresidenan tersebut juga menyatakan bahwa Jokowi sebagai simbol negara tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu.

Senada dengan pernyataan Moeldoko, Wakil Ketua Rumah Aspirasi Jokowi-Ma’ruf Amin, Michael Umbas, mengatakan bahwa presiden merupakan simbol negara dan mengimbau pelaku untuk ditindak secara hukum.

Pengancam pun disebut-sebut merupakan pendukung kubu lawan Jokowi dalam Pilpres 2019, yaitu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Salah satu tuduhan tersebut datang dari pihak pelapor, yaitu Tim Jokowi Mania, didasarkan pada atribut-atribut yang terlihat.

Guna menampik berbagai tuduhan tersebut, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, juga mengeluarkan pernyataan yang senada dengan Moeldoko dan Umbas. Andre berpendapat bahwa ancaman terhadap presiden sebagai simbol negara tetaplah tidak pantas, terlepas dari arah dukungan politik individu tersebut.

Dengan alasan status presiden sebagai simbol negara ini, beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Apakah benar presiden Indonesia merupakan simbol negara? Apa sebenarnya peran presiden sebagai simbol negara?

Simbol Negara?

Status presiden sebagai simbol negara sebelumnya pernah menjadi polemik di masyarakat pada tahun 2015 dan tahun 2018. Polemik tersebut mencuat akibat perdebatan mengenai perlu tidaknya pasal penghinaan presiden dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Terkait polemik saat itu, Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sendiri menyatakan bahwa jabatan kepresidenan merupakan simbol negara. Oleh sebab itu, JK menambahkan bahwa penghinaan terhadap presiden tidak boleh dilakukan.

Di sisi lain, beberapa pakar hukum dan politisi mengatakan bahwa presiden bukanlah simbol negara karena Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnnya tidak menyatakan bahwa presiden merupakan lambang negara.

Jika kita perhatikan kembali, UUD 1945 memang tidak menjelaskan status presiden sebagai simbol negara Indonesia. Dalam Pasal 36A Bab XV UUD 1945, lambang negara yang disebutkan hanyalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Terlepas dari benar tidaknya status presiden sebagai simbol negara, apa sebenarnya peran presiden sebagai simbol negara? Apakah perannya sebagai simbol negara hanya berkutat pada persoalan penghinaan dan ancaman?

Di berbagai negara lain, kepala negara memang memiliki peran simbolis bagi negaranya. Sebagian besar peran simbolis tersebut diisi oleh monarki, seperti Inggris dan Jepang.

Selain negara-negara kerajaan, beberapa negara lain juga menempelkan peran simbolis kepala negara pada jabatan presiden. India misalnya, memiliki dua pejabat tertinggi yang memiliki peran masing-masing, yaitu presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.

Berbeda dengan India, terdapat juga presiden di beberapa negara yang mengemban dua peran tersebut secara bersamaan, seperti Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Profesor sejarah dari Yale University, Joanne B. Freeman, menjelaskan bahwa Presiden AS sebagai kepala negara juga memiliki peran simbolis.

Kepala negara sebagai simbol negara memiliki peran-peran tertentu di luar politik bagi masyarakat. Share on X

Terlepas dari sistem pemerintahan yang digunakan di negara-negara tersebut, peran simbolis kepala negara tidaklah hanya menjadi wajah bagi negara tersebut. Tentunya, kepala negara sebagai simbol negara memiliki peran-peran tertentu di luar politik bagi masyarakat.

Ratu Inggris misalnya, tidak memiliki peran politik dan eksekutif, tetapi perlu bertindak sebagai fokus bagi persatuan, kebanggaan, dan identitas nasional. Dalam situs keluarga kerajaan Inggris, dijelaskan pula bahwa peran monarki sebagai kepala negara juga meliputi penjagaan stabilitas dan keberlanjutan negara.

Di AS, presiden juga memiliki peran simbolis. David Nasaw dari City University of New York (CUNY) menjelaskan bahwa seorang presiden merepresentasikan harapan, mimpi, dan ketakutan masyarakat. Selain sebagai pemersatu bangsa, menurut Patrick Spero dari American Philosophical Society, peran simbolis presiden AS juga terletak pada bagaimana masyarakat mencari pemahaman mengenai nilai-nilai bersama negara tersebut.

Jika kita memperhatikan di berbagai negara tersebut, kepala negara tentunya memiliki peran-peran simbolis bagi rakyatnya. Lalu, bagaimanakah peran simbolis kepala negara di Indonesia?

Sebagai kepala negara, presiden Indonesia memang memiliki kewenangan tertentu dalam urusan dalam dan luar negeri sesuai yang telah diatur dalam UUD 1945. Peran presiden sebagai kepala negara yang diatur lebih terbatas pada hak-hak prerogatif presiden, seperti pengangkatan duta dan konsul.

Tentunya, selain hak prerogatif yang dimiliki, Jokowi juga perlu berpikir untuk mencontoh peran simbolis yang diisi oleh berbagai kepala negara lainnya, seperti sebagai pemersatu bangsa. Selain itu, kepala negara mungkin juga perlu mempertimbangkan berbagai aspirasi masyarakat dan menempatkan diri berada di tengah segala kepentingan.

Jebakan Simbol Negara

Peran simbolis kepala negara memang terdengar memiliki manfaat yang luas bagi kebaikan masyarakat, seperti rasa persatuan dan pembawa aspirasi. Namun, peran simbolis tersebut belum tentu dapat dihadirkan oleh presiden.

Hal ini terlihat dari bagaimana Presiden AS selalu gagal mengisi peran simbolisnya sebagai pemersatu bangsa. Michael Auslin dari American Enterprise Institute dalam tulisannya di Politico menjelaskan bahwa kegagalan Presiden AS dalam mengisi peran simbolisnya sebagai pemersatu selalu terjadi di tengah-tengah masyarakat yang terpolarisasi.

Kegagalan dalam mempersatukan masyarakatnya ini disebabkan oleh kepentingan politis sang presiden. Polarisasi politik antara Partai Republik dan Partai Demokrat di AS juga terlihat pada kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Polarisasi tersebut pun membawa masyarakat AS, termasuk para politisi, semakin tidak keberatan untuk menegasikan kubu lawannya. Hal ini terlihat dari bagaimana kelompok sayap kiri selalu menuduh bahwa Partai Republik membenci minoritas dan warga miskin, sedangkan kelompok sayap kanan selalu mempertanyakan kewarganegaraan Barack Obama serta meyakini kelompok progresif AS merupakan sosialis.

Auslin juga menjelaskan bahwa presiden AS sebagai politisi turut terjebak dalam polarisasi politik. Hal ini terlihat dari bagaimana Partai Demokrat AS dan Presiden Obama menuduh gerakan konservatif Tea Party – gerakan di AS yang menuntut penurunan pajak – dan pendukungnya sebagai rasis dan penyandera masyarakat tanpa bukti yang jelas.

Jika melihat apa yang terjadi di AS, peran simbol negara sebagai pemersatu bangsa justru semakin tenggelam akibat polarisasi politik. Lantas, apakah hal serupa juga terjadi di Indonesia?

Kondisi Indonesia di tengah-tengah Pemilu 2019 kali ini memang disertai dengan polarisasi politik. Polarisasi Indonesia kali ini juga diperburuk dengan permainan politik identitas.

Hampir sama dengan yang terjadi di AS, polarisasi politik juga dinilai membuat masyarakat semakin sensitif dan saling menegasikan satu sama lain antar-kubu politik. Hal ini terlihat dari bagaimana kedua kubu saling mengolok menggunakan nama-nama hewan – cebong dan kampret – dan saling menyebarkan hoaks.

Buruknya, Jokowi sebagai presiden nampaknya tidak mengisi peran simbolisnya sebagai kepala negara di tengah-tengah polarisasi politik ini – hal yang tidak bisa dipisahkan dari posisinya yang kembali bersaing untuk memperebutkan posisi kursi orang nomor satu di negeri ini. Mantan Wali Kota Solo tersebut bahkan dinilai semakin menggunakan cara-cara represif dalam menghabisi lawan-lawan politiknya.

Seperti yang dijelaskan oleh Thomas P. Power dalam tulisannya yang berjudul “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline”, Jokowi disebut telah menggunakan cara-cara otoriter untuk melawan Prabowo dan kelompok-kelompok Islam puritan.

Harapan akan simbol negara yang mempersatukan bangsa pun semakin sirna dengan penjegalan tokoh-tokoh oposisi dengan kasus hukum, seperti penetapan Eggi Sudjana sebagai tersangka dan penyelidikan terhadap Kivlan Zen. Tim Asistensi Hukum – dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengawasi ucapan, pemikiran, dan tindakan para tokoh – telah menilai bahwa ucapan Eggi dan Kivlan memenuhi unsur pidana.

Seharusnya, sebagai simbol negara, Jokowi dapat menjadi simbol pemersatu bagi setiap kelompok di masyarakat. Namun, sang kepala negara dan kubu pendukungnya tampaknya hanya ingin menjadi simbol bagi kelompoknya sendiri dengan mempertajam polarisasi politik melalui peraturan-peraturan represifnya.

Pada akhirnya, lirik rapper Joey Bada$$ menjadi relevan. Interpretasi frase “simbol negara” pun hanya berakhir sebagai representasi bagi kehormatannya sendiri. Jika demikian, untuk apa ada kata “negara”? Bukannya Indonesia terdiri atas berbagai kelompok yang berbeda? (A43)

Exit mobile version