Peristiwa penembakan di Papua membuka kembali isu tentang separatisme di tanah tersebut
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]emberitaan media massa hari ini dipenuhi oleh tragedi yang terjadi di tanah Papua. Kepolisian Daerah (Polda) Papua menginformasikan bahwa terjadi peristiwa penembakan yang menewaskan pekerja PT Istaka Karya.
Para pekerja ini ditembak saat sedang mengerjakan proyek jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, di Kabupaten Nduga. Polda Papua menyebut bahwa kejadian itu memakan korban sebanyak 31 pekerja.
Meskipun masih simpang siur, tudingan polisi kini mengarah pada kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang dipimpin oleh Egianus Kogoya.
Juru bicara Kodam Cenderawasih juga menyebut pelaku penembakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang terkait Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Persoalan separatisme di Papua memang sudah menjadi lagu lama dalam konflik kebangsaan yang terjadi di Indonesia. Dan kini, tepat pada momentum peringatan Papua Merdeka di pada 1 Desember, pemerintah harus menghadapi serangkaian aksi yang otomatis membangkitkan isu separatisme Papua .
Hal ini mengingat bahwa tragedi penembakan ini, seperti yang dilansir oleh BBC Indonesia, merupakan serangan yang terburuk di Papua selama beberapa belas tahun terakhir. Lalu bagaimana sebenarnya dimaknai secara politik?
Paradoks Pembangunan
Pembangunan Papua yang gencar disuarakan oleh Presiden Joko Widodo kini menyisakan sejumlah ironi karena peristiwa penembakan justru terjadi ketika pemerintah sedang berusaha untuk menggenjot pembangunan di kawasan yang selama ini dicitrakan dianak-tirikan oleh pemerintah.
Seperti yang dilansir Viva News, juru bicara OPM Sebby Sambon melalui pesan elektronik dari Papua Nugini, pada hari Selasa 4 Desember kemarin menyebut bahwa OPM menolak semua bentuk pembangunan oleh Indonesia di Papua dan jikalau peristiwa penembakan itu terjadi, karena OPM tidak setuju pembangunan dan hanya mau merdeka.
Pada akhirnya, insiden ini tidak hanya sebatas political warning, tapi bisa jadi melibatkan agenda yang lebih besar. Share on XSementara itu, pihak pemerintah melalui Kementerian PUPR, mengklaim bahwa selama ini tidak ada resistensi masyarakat dalam proyek pembangunan Trans Papua tersebut.
Donald L. Horowitz dalam tulisanya Patterns of Ethnic Separatism faktor ekonomi dan politik juga menjadi faktor penting dalam menciptakan gerakan separatis yang kuat.
Beberapa isu mendasar terkait ekonomi politik yang sepertinya pada kadar tertentu dapat menjadi bom waktu bagi pecahnya konflik dan penguatan gerakan separatisme di tanah Papua.
Misalnya terkait kebijakan dana Otonomi Khusus di Papua yang mulai berlaku sejak 2001 sebagai bentuk kesepakatan integrasi politik dalam kesatuan Indonesia.
Menurut ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib menyebut puluhan triliun rupiah dana Otsus yang dikucurkan tiap tahun tak berdampak pada kesejahteraan warga asli Papua. Justru kebijakan ini disebut melanggengkan praktik-praktik korupsi di daerah oleh para pemangku kebijakan.
Selanjutnya, pembangunan infrastruktur pada awalnya diharapkan dapat mendongkrak pengembangan ekonomi di daerah tertinggal itu juga tak sebanding dengan kesejahteraan masayarakat.
3. Selanjutnya jangan sampai kita mundur dari upaya dalam membangun Papua, dan terus melanjutkan hingga menyelesaikan yang telah dimulai untuk membangun Papua.#MenkoPolhukam #MenkoWiranto #KKSB #KriminalSeparatisBersenjata #Papua #TransPapua
— Wiranto (@wiranto1947) December 5, 2018
Bahkan, menurut Ketua II Dewan Adat Papua, Fadal Al Hamid, proyek jalan trans Papua dan gencarnya pembangunan justru mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal Papua yang justru berdampak pada rusaknya ekosistem hutan mereka. Padahal, selama ini hutan juga menjadi sumber ekonomi dan tumpuan hidup rakyat Papua.
Dan pada akhirnya, peningkatan kesejahteraan yang diharapkan dapat meredam tuntutan pemisahan diri dari Republik Indonesia sangat sulit terealisasi .
Paradoks di atas menjelaskan bahwa pada kadar tertentu doktrin developmentalisme tak sepenuhnya efektif sebagai jalan keluar bagi persoalan ekonomi politik bahkan persoalan identitas dan budaya.
Paradoks pembangunan pernah diulas dalam edisi khusus majalah The Economist yang mengambil Brazil sebagai contoh dengan headline yang berjudul yang berjudul Brazil takes off.
Dalam ulasan tersebut, masalah utama di negara-negara berkembang harusnya dipahami dari premis dasar bahwa pembangunan ekonomi tidak selalu diterjemahkan ke dalam pembangunan sosial.
Model pembangunan yang diadopsi oleh negara Brasil, khususnya di era pemerintahan Dilma Rousseff, terkait wacana pembangunan teknologi dan investasi-investasi di Brasil, serta proyek-proyek dengan fokus utama pada bidang teknologi dan infrastruktur.
Salah satunya adalah proyek bendungan hidroelektrik raksasa, namun menghancurkan komunitas komunitas adat dan memicu gelombang protes di Negara Samba tersebut.
Walaupun yang terjadi di Brazil tak se-ekstrim memunculkan gerakan separatis, namun kondisi tersebut kurang lebih juga merepresentasikan apa yang kini terjadi di Papua.
Dalam konteks ini, pemerintah nampaknya harus mencari solusi yang lebih efektif atas paradoks yang terjadi di tanah Papua ini.
Ilusi Nasionalisme
Dalam konteks gerakan separatisme, selain perkara ekonomi politik, ada yang belum selesai dari konflik berkepanjangan antara gerakan Papua Merdeka dengan pemerintah Indonesia. Yakni perbedaan persepsi tentang Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat di tahun 1969 yang ternyata memiliki dampak berkepanjangan.
Pemerintah menganggap masalah ini sudah selesai, sementara sebagian rakyat Papua menganggap bahwa apa yang terjadi di tahun 1969 adalah aneksasi bukan proses integrasi.
Sayangnya, pemerintah selama ini melihat Papua itu hanya dari aspek pembangunan ekonomi dan infrastruktur saja serta mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan pandangan yang tajam terkait dengan konflik sosial budaya yang terjadi.
Aparat RI "gugur", pekerja BUMN "syahid", orang Papua "tewas".
Dengan segala hormat pada semua korban dan keluarganya, zaman jurnalisme apa ini? https://t.co/y4gQGA7SBM
— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) December 4, 2018
Jika merujuk pada pendapat Horowitz, kelompok separatis mempraktikkan bentuk politik identitas, atau aktivitas politik yang berlandaskan pada kondisi ketidakadilan yang dikapitalisasi oleh kelompok sosial tertentu.
Perlu diketahui bahwa sentiment politik identitas di Papua masih sangat tinggi. Menurut Nino Viartasiwi, peneliti masalah konflik, keamanan, dan Papua dari the Institute of International Relations and Area Studies, Ritsumeikan University menyebut bahwa identitas kesukuan masih akan relevan sebagai instrumen mobilisasi pada suku-suku asli Papua.
Persoalan suku sangat relevan di Papua karena sentimen kesukuan yang sangat besar, terutama menyangkut pembedaan suku asli dan suku pendatang dan kerap kali memunculkan konflik yang bersumber pada isu ekonomi politik.
Selama ini akses ekonomi yang cenderung masih menguntungkan pendatang menyumbang memanasnya konflik rasial di sana. Misalnya terkait pembagian 3.000 lebih sertifikat tanah yang sempat digalakkan oleh Jokowi di Papua sayanganya sebagian besar justru jatuh ke tangan warga transmigran dan bukan untuk penduduk asli.
Hal-hal tersebut yang pada akhirnya memperkuat gagasan tentang Papua sebagai sebuah bangsa yang ternyata berakar dalam karakteristik rasial orang Papua dan perkembangan politik yang ada.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Willy Mandowen dalam tulisanya West Papua and The Rights To Self-Determination: A Challenge to Human Rights yang mengatakan bahwa nasionalisme Papua berkembang karena adanya penekanan ketidaksamaan dalam konteks etnologi, biologi, bahasa, geografi dan sejarah dengan Indonesia.
Sehingga suburnya sentimen politik identitas juga mau tidak mau menyumbang suburnya gerakan separatisme negeri cendrawasih tersebut.
Jebakan Separatisme
Dalam konteks Papua, paradoks developmentalisme dan ilusi nasionalisme tersebut bagai bom waktu yang pada akhirnya akan digunakan untuk tujuan-tujuan politik dan memicu konsolidasi gerakan separatisme.
Hingga pada titik tertentu, mungkin saja akan membahayakan legitimasi kekuasaan pemerintahan Jokowi.
Terlebih, jika ada political entrepreneur yang memainkan isu separatisme ini dan tentunya akan berbahaya bagi narasi persatuan dan nasionalisme yang selama ini telah susah payah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Metta Spencer dalam tulisanya Separatism: Democracy and Disintegration, beberapa alasan yang menguatkan sebuah gerakan separatisme di antaranya adalah kebencian emosional yang dilanggengkan, pengaruh dan propaganda oleh orang-orang di dalam dan di luar wilayah yang berharap memperoleh keuntungan secara politik, serta dominasi ekonomi dan politik dari satu kelompok yang mendorong tindakan untuk mengakhiri eksploitasi ekonomi.
#indonesiaberduka
31 pekerja jalan dan jembatan transpapua dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata. Lihat perjuangan mereka bertaruh nyawa demi mengejar ketertinggalan di papua. Sedang kamu yang dijawa sana su bisa kerja enak tapi masih mengeluh banyak.— Vyacheslav Dzhugasvili (@ddhymaz) December 4, 2018
Jika merujuk pada poin kedua, bisa saja kasus ini menjadi jebakan separatisme bagi Jokowi karena memungkinkan berbagai pihak yang berkepentingan mendelegitimasi kekuasaannya akan menjadikannya sebagai senjata politik.
Karena Papua selama ini menjadi simbol penting bagi keutuhan NKRI dan pada kadar tertentu menjadi salah satu taruhan terbesar para pemangku kepentingan.
Terlebih, jika melihat reaksi luas dunia internasional terhadap isu Papua, nampaknya cukup merepresentasikan kekhawatiran tersebut.
Beberapa waktu lalu, George Monbiot dalam tulisannya di The Guardian, misalnya, menulis tentang Papua dan menyebut bahwa Inggris memiliki kesempatan untuk menghentikan “kolonialisme brutal” yang terjadi di paling timur Indonesia ini.
Parlemen Inggris bahkan sempat menyebut bahwa Indonesia tengah melakukan pendudukan ilegal terhadap wilayah Papua Barat.
Pemberitaan tersebut pastinya akan membuat citra Jokowi sebagai pemimpin negara menjadi terancam.
Selain itu dalam dua tahun terakhir, isu Papua selalu muncul di sidang umum PBB di mana beberapa Negara pasifik secara terbuka mengungkapkan dukungannya terhadap Papua
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, misalnya, meminta Dewan HAM PBB menyelidiki pelbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.
Dalam sidang yang sama, PM Negara Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga, mendorong agar PBB ikut serta mengadvokasi penentuan nasib sendiri untuk warga Papua.
Sedangkan Louis Straker, Perdana Menteri Saint Vincent dan Grenadine, salah satu negara di Kepulauan Karibia menuding dekolonisasi di Papua belum berakhir.
Jika melihat pola-pola tersebut, publik bisa saja bertanya-tanya apakah penembakan yang dilakukan oleh gerakan separatis memang bertujuan untuk memancing kegaduhan politik.
Pada akhirnya, insiden ini tidak hanya sebatas political warning, tapi bisa jadi melibatkan agenda yang lebih besar. Terlebih aksi ini benar-benar sebagai tamparan bagi petahana menjelang Pilpres 2019. (M39)