Setelah badai Covid-19 menyapu seluruh negara di dunia dan menyebabkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia lumpuh, banyak pertanyaan yang kemudian muncul terkait akan seperti apa dunia pasca virus ini berlalu. Bukan tanpa alasan, hingga kini vaksin belum juga ditemukan, sementara banyak negara – termasuk Indonesia – yang sudah memberlakukan kebijakan pelonggaran aktivitas yang sebelum-sebelumnya banyak dilarang.
PinterPolitik.com
“In short, globalisation will continue. We will discover that our small planet will continue to shrink and become more interdependent”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
New normal – demikian istilah yang dipakai untuk menggambarkan kondisi yang saat ini terjadi pasca kembali beraktivitasnya masyarakat setelah beberapa bulan tinggal di rumah – menjadi penanda fenomena sosial, ekonomi dan politik baru yang akan menggeser banyak pencapaian peradaban manusia selama 30 tahun terakhir.
Dampaknya memang juga akan terasa secara geopolitik di mana diprediksi akan ada banyak perubahan perilaku negara dalam memandang politik internasional.
Pasalnya, dunia 30 tahun terakhir – terutama pasca keruntuhan Uni Soviet – memasuki babak baru peradaban di mana globalisasi mengisi hampir semua lini kehidupan. Arus manusia yang sangat cair dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain, arus informasi yang tak terbendung, dan negara yang mulai “kehilangan batas-batas nasionalnya” seiring meningkatnya saling ketergantungan alias interdependensi dengan dunia internasional adalah beberapa warna utama.
Arus manusia yang besar misalnya dilihat dari data global total penumpang pesawat pada 2018 yang menyentuh angka 4,8 miliar. Arus pergerakan manusia inilah yang paling terdampak akibat Covid-19.
Tak heran, banyak pengamat dan analis yang menyebutkan bahwa efek utama yang akan terjadi pasca Covid-19 adalah pembalikan atau pengurangan dampak globalisasi. Hal ini salah satunya disinggung oleh akademisi sekaligus mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani.
Ia menyebutkan bahwa Covid-19 menyebabkan banyak negara terlihat lebih berfokus untuk memikirkan dirinya sendiri dan masa depannya. Walaupun ia tetap percaya bahwa solidaritas global adalah solusi utama untuk mengatasi efek yang ditimbulkan Covid-19, pernyataan Kishore tersebut menarik untuk digali, utamanya terkait seberapa besar waning of globalization alias pengurangan globalisasi seperti yang diungkapkan oleh profesor sejarah dan hubungan internasional di Princeton University, Harold James, akan terjadi.
Lalu, akan seperti apa dampak yang akan dirasakan oleh Indonesia yang nota bene adalah negara yang sangat bergantung pada globalisasi – salah satunya dalam bentuk perdagangan dan pariwisata – dan langkah apa yang harus diambil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatasi kegamangan Indonesia dalam tatanan dunia baru yang mungkin akan timbul pasca Covid-19?
Hmm, sebelumnya dibilang mulai dekat dengan AS, sekarang balik ke Tiongkok lagi nih kayaknya. #COVID19 #tiongkok #china #politik #indonesia https://t.co/LVxJ6JdmFC pic.twitter.com/bxqIJ1wgHf
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 8, 2020
Dunia Pasca Covid-19
Beberapa hari terakhir, media asal Singapura, The Straits Times menurunkan beberapa artikel tentang tawaran potongan harga yang diberikan oleh banyak hotel di Bali dan beberapa wilayah di Indonesia. Ada promo macam nginap 5 hari dengan bayar 3 hari, bayar sekarang untuk nginap tahun depan, dan lain sebagainya.
Ini sebenarnya menunjukkan cara industri pariwisata untuk kembali meningkatkan geliatnya lagi. Pariwisata adalah salah satu industri yang sangat globalis sifatnya dalam konteks ketergantungannya terhadap arus manusia lintas batas negara. Artinya, jika katakanlah vaksin Covid-19 belum bisa dipakai secara masal hingga pertengahan tahun depan, maka dampak yang akan dirasakan oleh industri ini akan sangat berkepanjangan dan berkontribusi juga pada pendapatan negara.
Pada tahun 2018 lalu misalnya, pariwisata Indonesia mengalami pertumbuhan hingga 12,58 persen dan menjadi yang tertinggi di antara anggota-anggota ASEAN. Tahun 2019 pendapatan negara dari sektor ini juga mencapai Rp 246 triliun dan menjadi sektor yang menyumbang devisa terbesar.
Jika Covid-19 masih akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka pemerintah memang perlu mencari cara atau melihat sektor lain yang bisa menjadi penopang baru perekonomian. Konteks “mencari cara” ini sebetulnya penting untuk dilihat karena ada perubahan yang tengah terjadi terkait bagaimana negara-negara di dunia melihat kembali hubungan internasional.
Terkait hal ini, Mahbubani menyinggung mengenai banyak pihak yang sudah ancang-ancang untuk menyatakan selamat tinggal pada globalisasi. Tiongkok misalnya, menutup diri ketika berkutat dengan Covid-19. Amerika Serikat (AS) pun demikian yang mulai lebih banyak berfokus pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Perusahaan-perusahaan di AS misalnya diminta untuk terlebih dahulu mengutamakan kepentingan nasional negara tersebut.
Abad ke-21 memang eranya globalisasi. Ekonomi bergerak searah dengan arus infomasi dan manusia yang bersilang-silang lintas batas negara. Raksasa-raksasa perusahaan multinasional ada di mana-mana. Investasi bernilai ratusan bahkan mungkin ribuan triliun rupiah terjadi lintas negara.
Artinya, jika “selamat tinggal pada globalisasi” yang disebutkan oleh Mahbubani itu benar-benar terjadi, maka efeknya akan sangat besar pada para pemain global yang selama ini mengambil untung dari situasi tersebut. Dunia bisa saja akan mengharah pada kondisi yang terjadi di era-era ketika merkantilisme ekonomi menjadi cita-cita ideal negara dan bahwa perang serta konflik menjadi jalan keluar dari perbedaan kepentingan.
Pertanyannya tentu saja adalah benarkah hal tersebut akan terjadi?
Mahbubani sendiri menyebutkan bahwa tak ada yang bisa membalikkan atau memasukkan kembali globalisasi yang saat ini sudah terjadi ke dalam “botolnya”.
Selain karena hal tersebut sudah berhubungan dengan memori publik, tetapi juga karena tantangan dunia saat ini tak bisa dicegah untuk melintasi batas negara. Ideologi terorisme global, perubahan iklim, pandemi seperti Covid-19, polusi, pengungsi dan ancaman nuklir adalah beberapa isu yang akan melintasi batas negara.
Artinya, globalisasi mungkin akan terdampak Covid-19, namun tak sampai merubuhkan sendi-sendi utamanya. Mahbubani sendiri justru menawarkan kemitraan dan solidaritas global untuk bersama-sama melawan pandemi ini agar bisa segera terselesaikan.
Dalam tulisannya yang lain, ia juga menyebutkan bahwa AS dan Tiongkok sudah selayaknya bekerja bersama untuk secepatnya menemukan vaksin Covid-19 dan meninggalkan perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara mereka.
Nah, lalu bagaimana dengan nasib Indonesia?
Wih, seru nih kalau ada yang berantem. Uppps. #luhut #pinterpolitik #infografis #COVID19 https://t.co/GoLMoxDh2c pic.twitter.com/DGrbPtdQtA
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 7, 2020
Jokowi Terjebak AS dan Tiongkok?
Beberapa hari lalu memang sempat diberitakan bahwa pemerintah Indonesia lewat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terus menjalin hubungan komunikasi yang intensif dengan Tiongkok lewat Menteri Luar Negerinya, Wang Yi.
Bahkan, Luhut disebut memuji Tiongkok karena berhasil menekan penyebaran Covid-19. Kedua belah pihak juga sepakat untuk terus saling membantu dan bekerja sama baik dalam penanganan Covid-19 dan kerja sama lainnya. Luhut juga menyebutkan bahwa Indonesia sedang bersiap untuk mempercepat proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang sempat terhambat sebelumnya.
Konteks pemberitaan ini menarik karena beberapa waktu sebelumnya, Indonesia juga mulai membuka tangan lebih lebar untuk bekerja sama dengan AS. Berbagai pinjaman keuangan, wacana pemindahan pabrik perusahaan-perusahaan negara tersebut dari Tiongkok ke Indonesia, hingga bantuan alat-alat kesehatan yang disebut-sebut oleh Presiden Donald Trump menjadi warna utamanya kala itu.
Memang tak salah jika menyebut Indonesia mencoba mengambil keuntungan dari dua negara ini – selain memang karena politik bebas aktif “mendayung di antara dua karang” yang pernah digariskan oleh Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta, serta “thousand friends zero enemy” yang digariskan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, ini juga menunjukkan bahwa Indonesia sebetulnya sedang gamang menghadapi new normal di tingkatan global. Di tengah fenomena banyak negara yang menjadi lebih ke dalam melihat diri sendiri, sebagai negara yang bergantung dari barang-barang impor asal Tiongkok serta keuangan dan industri energi yang masih bergantung pada kekuatan AS dan Barat, Indonesia memang harus mencari celah memanfaatkan globalisasi yang menurut Mahbubani hanya mengalami kemunduran tersebut.
Walaupun demikian, pemerintahan Presiden Jokowi tetap perlu melakukan pemetaan kalau-kalau situasi politik internasional yang timbul akibat Covid-19 tak kunjung kondusif dan justru berujung pada chaos dan katakanlah perang seperti yang diramalkan oleh banyak pihak.
Harapannya, Indonesia tak terjebak dalam pertarungan Tiongkok vs AS dan bisa mengupayakan agar katakanlah industri penting seperti pariwisata tidak gulung tikar dan terdampak lebih parah. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.