Baru-baru ini Presiden Jokowi menegaskan keheranannya mengapa produksi pangan tidak meningkat, padahal setiap tahunnya pemerintah menganggarkan subsidi pupuk sampai Rp 30-an triliun. Selain persoalan mafia pupuk, impor pangan, dan berkurangnya lahan pertanian, masalah utama lainnya adalah antroposentrisme.
Juli 2020 lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengidentifikasi 27 negara yang terancam mengalami krisis pangan karena pandemi Covid-19. Dalam temuannya bersama Program Pangan Dunia (WFP), setidaknya ada empat faktor utama mengapa pandemi dapat memperparah krisis pangan.
Pertama, lapangan kerja dan upah yang menurun. Kedua, disrupsi penanganan pandemi pada produksi dan pasokan pangan dunia. Ketiga, menurunnya pendapatan pemerintah. Keempat, meningkatnya ketidakstabilan politik yang memicu konflik berbasis sengketa sumber daya alam.
Sebelum temuan tersebut, telah lama berbagai pihak menyoroti krisis pangan akan menjadi masalah di masa depan, termasuk di Indonesia.
Marcus Tantau dalam tulisannya Is Indonesia Facing a Looming Food Crisis? menyebutkan, bahkan sebelum adanya pandemi Covid-19, ketahanan pangan Indonesia telah lama menjadi perhatian karena ketergantungan pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik terhadap komoditas seperti gula, beras, jagung, dan daging sapi.
Konteks tersebut menjadi alasan kuat mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan agar proyek food estate (lumbung pangan) dapat segera diselesaikan tahun ini. Paling tidak food estate di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah.
Baca Juga: “Makan Siang Gratis” Jokowi untuk Prabowo?
Selain itu, mantan Wali Kota Solo tersebut juga menyoroti perihal tidak meningkatnya produksi pangan, padahal pemerintah telah menggelontorkan rerata Rp 31,74 triliun untuk subsidi pupuk (2015-2019).
Komoditas padi, misalnya, pertumbuhan produksi per tahunnya -4,18 persen alias menurun (2015-2019). Pun begitu dengan kedelai yang minus 5,15 persen. “Ada yang salah”. Begitu penegasan singkat Presiden Jokowi.
Menariknya, begawan ekonomi Rizal Ramli justru menanggapi sinis pernyataan tersebut. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang justru membuat produksi pangan tidak meningkat. Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini, misalnya, menyinggung kebijakan impor dan bagi-bagi kuota impor yang membuat petani tidak mendapatkan insentif, sehingga tidak dapat meningkatkan produksi.
Tentu kita mengamini persoalan yang disebutkan oleh Rizal Ramli dan Marcus Tantau bahwa ada persoalan impor pangan yang anehnya masif dilakukan. Namun, apakah hanya itu masalahnya?
Impor, Mafia, dan Lahan
Dalam kampanye di Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen untuk menyetop impor pangan untuk menuju kedaulatan pangan.
“Kita harus berani stop impor pangan. Stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok“. Begitu penegasannya ketika melakukan kampanye di Cianjur, Jawa Barat, pada 2014 lalu.
Namun fakta berkata sebaliknya. Sejak 2014, impor masih terjadi dan bahkan semakin bertambah. Beras, misalnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor beras pada 2014 sebesar 844.163.741 (844,1 juta) kg. Pada 2018, angkanya meningkat drastis menjadi 2.253.824.465 (2,2 miliar) kg.
Lalu daging, pada 2014 total impor tercatat sebesar 108.487.800 (108,4 juta) kg. Pada 2018 bertambah menjadi 210.280.174 (210,2 juta) kg.
Kedelai juga demikian. Pada 2014, impor kedelai mencapai 137.354.857 (137,3 juta) kg, dan pada 2018 meningkat menjadi 149.138.749 (149,1 juta) kg. Data ini tampaknya menjadi jawaban mengapa terjadi kenaikan harga kedelai dan produk turunannya seperti tahu dan tempe baru-baru ini.
Baca Juga: Rocky, Jokowi, dan Politik Tempe
Terkait keheranan mengapa subsidi pupuk tidak membuahkan peningkatan produksi, laporan pada Mei 2013 yang berjudul Fertilizer and Oil Palm in Indonesia: An overview of the industry and challenges for small-scale oil palm farmer applications tampaknya dapat menjadi jawaban.
Dalam laporan tersebut, pemerintah Indonesia diberikan apresiasi karena telah mencoba membantu petani kecil dengan menyediakan pupuk bersubsidi. Namun yang menjadi masalah adalah, program tersebut mengalami tantangan dalam aspek perencanaan, distribusi, dan pengawasan.
Setidaknya terdapat empat masalah yang disebutkan. Pertama, terjadi keterlambatan pengiriman pupuk. Kedua, penjualan pupuk dengan harga lebih tinggi dari harga eceran yang dianjurkan. Ketiga, persaingan penggunaan pupuk. Keempat, kebocoran pupuk bersubsidi dari rantai pasok, sehingga jauh dari petani kecil.
Singkatnya, subsidi Rp 30-an triliun pertahun yang dianggarkan pemerintah pada dasarnya tidak sampai ke para petani kecil yang menjadi sasarannya. Konteks ini kerap kita sebut sebagai masalah mafia. Oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut membuat harga pupuk naik dan sulit terjangkau.
Dan yang terpenting adalah persoalan menurunnya lahan pertanian dan sumber daya manusia (SDM) yang menggarap lahan, yakni petani. Berdasarkan data BPS, luas lahan baku sawah terus menurun. Pada 2017, misalnya, luas lahan masih 7,75 juta hektare. Sementara pada 2018, luas lahan berkurang menjadi 7,1 juta hektare.
Pada 11 Agustus 2020, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo juga menyinggung persoalan ini. Tegasnya, alih fungsi lahan sawah telah menjadi perhatian yang mengkhawatirkan. Untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi.
Ihwal serupa juga terjadi pada SDM petani. Menurut Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Dedi Nursyamsi, dalam 10 tahun yang akan datang Indonesia akan mengalami krisis petani.
Masalah-masalah tersebut tentunya adalah persoalan kompleks yang membutuhkan kesadaran kuat untuk mengubahnya. Namun apakah itu adalah masalah terdalamnya?
Antroposentrisme dan Sejarah yang Berulang
Menariknya, berbeda dengan sangkaan awam bahwa kerusakan alam baru terjadi di zaman modern setelah populasi meningkat drastis, Jared Diamond dalam bukunya Collapse: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia justru melihat persoalan tersebut adalah fenomena yang berulang.
Dalam berbagai faktor yang menyebabkan kehancuran kelompok masyarakat ataupun peradaban di masa lalu, faktor lingkungan menjadi yang terdepan. Peradaban di Pulau Paskah, misalnya, yang merupakan tempat berdirinya patung-patung raksasa yang disebut dengan Moai.
Baca Juga: Menakar Ketimpangan Ekonomi Indonesia
Menurut Jared, Pulau Paskah ditempati pada tahun 900 Masehi, dengan perkiraan penduduk antara 6.000 sampai 30.000 jiwa. Tentu pertanyaannya, apa yang mengakibatkan kehancuran bagi masyarakat yang mampu membuat patung-patung raksasa tersebut? Jawabannya ternyata cukup serdehana, yakni penggundulan hutan yang ekstrem.
Menurut Jared, Pulau Paskah adalah contoh paling ekstrem dari kehancuran hutan di Pasifik, dan merupakan salah satu yang paling ekstrem di dunia. Seluruh hutannya hilang dan semua spesies di pohonnya punah.
Di akhir bukunya, Jared berharap apa yang ditulisnya dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat modern agar tidak mengulang kesalahan yang sama dengan peradaban di masa lalu.
Jika kita lebih dalam membahas persoalan tersebut, akar masalahnya tampaknya adalah cara manusia dalam memosisikan dirinya terhadap alam. Paham tersebut disebut dengan antroposentrisme. Itu adalah isme yang meyakini bahwa manusia adalah entitas yang paling penting di alam semesta.
Pada level praktis, keyakinan tersebut membuat manusia memiliki legitimasi moral untuk melakukan eksploitasi alam dan makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mereka meyakini alam ada semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Helen Kopnina dan kawan-kawan dalam tulisannya Anthropocentrism: More than Just a Misunderstood Problem juga menegaskan hal ini. Menurut mereka, antroposentrisme jelas merupakan pendorong signifikan ekosida (ecocide) dan krisis lingkungan, karena manusia menilai bumi adalah “planet manusia” tanpa mempertimbangkan bahwa umat manusia sepenuhnya bergantung pada alam.
Masalah-masalah praktis yang kita diketahui, seperti alih fungsi lahan, menurunnya lahan pertanian, hingga lebih disukainya “taman-taman beton” adalah imbas dari antroposentrisme karena menilai alam ada untuk keperluan manusia.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan persoalan produksi pangan di Indonesia memiliki persoalan di level praktis dan filosofis. Pada level praktis, terdapat kebijakan publik yang keliru – seperti impor, mafia pupuk, dan alih fungsi lahan. Lalu pada level filosofis, terdapat masalah radikal terkait antroposentrisme. (R53)