Makin seringnya kasus kecelakaan bus terjadi menimbulkan banyak pertanyaan terkait tata kelola industri jasa transportasi darat ini. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mengingat pemerintahan Presiden Jokowi cukup getol membangun infrastruktur penunjang seperti jembatan dan jalan tol, sementara layanan transportasi bus sebagai salah satu intisari di dalamnya, masih kerap bermasalah. Investigasi BBC misalnya, pernah menyinggung soal adanya uji KIR yang tidak konsisten. Sementara, beberapa studi di tingkat global menyebutkan ada dampak langsung antara kecelakaan lalu lintas darat terhadap ekonomi nasional.
PinterPolitik.com
“Any businessman will tell you that transportation is fundamental to success”.
:: John Hickenlooper, politisi Amerika Serikat ::
Sanudin Bin Robiun, supir bus Sinar Jaya itu berulang kali menolak tuduhan kepolisian yang menyebut dirinya mengantuk saat kecelakaan terjadi. Alasan itulah yang dipakai kepolisian untuk menjelaskan kecelakaan maut yang melibatkan dua buah bus berpenumpang di Tol Cipali.
Seperti ramai diberitakan, beberapa hari lalu, terjadi kecelakaan maut di Tol Cipali yang melibatkan bus Sinar Jaya dan Arimbi. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa 7 orang dan menyebabkan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka.
Berbagai pemberitaan di media massa kala itu memang menyoroti peristiwa ini karena menjadi salah satu kecelakaan transportasi darat dengan jumlah korban yang cukup banyak. Apalagi, kasus ini terjadi pada jasa transportasi umum, yang nota bene seharusnya menjadi pemenuhan kebutuhan mayoritas masyarakat yang menggunakannya.
Konteks inilah yang membuat beberapa pihak menyoroti Kementerian Perhubungan, terutama terkait pengawasan terhadap layanan transportasi bus. Bus Sinar Jaya sendiri misalnya, pada Juli 2019 lalu juga sempat mengalami kecelakaan di Tol Cipali dengan menabrak sebuah mobil dan menyebabkan 3 orang tewas dalam kejadian tersebut.
Sementara, setahun yang lalu, tepatnya pada September 2018, sebuah kecelakaan bus juga terjadi di Sukabumi yang menewaskan 23 orang.
Ini juga membuktikan masih buramnya potret industri perhubungan darat, terutama perlindungan terhadap penumpang dan pengguna jasa layanan bus.
BBC Indonesia dalam salah satu laporannya pada tahun 2017 menuliskan tajuk besar: “Masih amankah naik bus?” untuk mengomentari makin seringnya kecelakaan bus terjadi, terutama di musim liburan Lebaran, pun di jalur-jalur menuju tempat wisata, misalnya ke daerah Puncak, Bogor. Tajuk besar ini tentu menjadi pertanyaan banyak orang yang menyaksikan pemberitaan terkait kecelakaan yang demikian ini makin sering terjadi.
Persoalan ini juga bertambah karena perusahaan-perusahaan penyedia jasa transportasi bus, sepertinya tidak diberikan sanksi yang tegas ketika makin sering terjadi kecelakaan. Ambil contoh bus Sumber Kencono (SK) yang kerap mengalami kecelakaan, sering kali sanksinya hanya diberikan pada armada busnya saja jika terbukti melakukan kelalaian, dan bukan pada perusahaan otobus (PO) yang bersangkutan.
Praktik yang umumnya terjadi adalah pencabutan trayek armada bus tersebut, yang nyatanya sewaktu-waktu kembali bisa diajukan oleh PO yang bersangkutan. Akibatnya, timbul pertanyaan terkait regulasi yang ada di sektor jasa transportasi darat, terutama untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen transportasi ini.
Kritikan juga datang pada pemerintahan Jokowi sendiri, terutama terhadap Kemenhub. Pasalnya, dengan dikebutnya pembangunan berbagai infrastruktur penunjang seperti jalan tol, masih ada pekerjaan rumah lain untuk membenahi layanan jasa transportasi seperti bus.
Konteksnya juga semakin rumit karena ada dampak ekonomi yang bisa terjadi, di mana beberapa penelitian menyebutkan bahwa sekitar 73 persen korban kecelakaan lalu lintas di jalan raya secara global – di mana Indonesia temasuk di dalamnya – adalah laki-laki dengan mayoritas berusia 15-44 tahun, usia yang tentu saja produktif dalam konteks ekonomi.
Beban ekonomi tentu masih ditambah jika korban kecelakaan punya tanggungan keluarga yang harus dihidupinya. Dengan demikian, kecelakaan bus Sinar Jaya dan Arimbi misalnya, tidak bisa dipandang secara sederhana sebagai human error yang wajar terjadi. Ada gunung es terkait penyelesaian penyediaan layanan transportasi umum yang aman. Pertanyaannya adalah mungkinkah hal ini ditanggulangi?
Ironi Transportasi Darat
Kecelakaan di jalan raya memang menjadi salah satu penyumbang terbesar kecelakaan transportasi secara keseluruhan, bahkan menjadi salah satu penyebab kematian utama di dunia.
Population Reference Bureau (PRB) – sebuah organisasi nirlaba yang menyuplai statistik untuk riset akademis – menyebutkan bahwa ada sekitar 1,2 juta orang yang meninggal akibat kecelakaan di jalan raya setiap tahunnya, dan sekitar 50 juta orang yang menjadi korban luka-luka – jumlah yang setara dengan 30-70 persen penderita cedera ortopedi (yang berhubungan dengan persendian dan tulang) di negara-negara berkembang.
Bahkan, jika tren peningkatannya terus seperti saat ini, maka diprediksi pada tahun 2020, kecelakaan jalan raya akan menduduki urutan ketiga dalam kategori beban penyebab penyakit dan cedera terbanyak di dunia. PRB juga mencatat bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia, menyumbang total 85 persen kematian akibat kecelakaan lalu lintas di tingkat global.
Sementara laporan dari WHO menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas di jalan raya menjadi penyumbang terbesar kematian anak-anak.
Elizabeth Kopits dan Maureen Cropper dalam tulisan berjudul “Traffic Fatalities and Economic Growth” untuk Policy Research Working Paper yang diterbitkan oleh World Bank, menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas jalan raya memang menjadi persoalan serius bagi negara-negara berkembang.
Pasalnya, di negara-negara maju, ada tren penurunan angka kematian akibat kecelakaan jalan raya sejak tahun 1960-an, utamanya setelah makin ketatnya aturan yang diterapkan, misalnya terkait penggunaan sabuk pengaman, batas maksimal kecepatan, aturan konsumsi alkohol saat berkendara, serta desain jalan dan kendaraan yang lebih aman.
Antara tahun 1975-1988 saja, penurunan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan raya mencapai 27 persen di Amerika Serikat (AS), dan mencapai 63 persen di Kanada, sebagai akibat penerapan aturan-aturan tersebut.
Sementara pada saat yang sama, di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jumlahnya justru meningkat hampir 50 persen – misalnya di Malaysia mencapai 44 persen, dan di Tiongkok bahkan mencapai 243 persen.
Di Indonesia sendiri, jumlah kecelakaan jalan raya masih cukup tinggi, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Untuk libur Lebaran 2019 sendiri misalnya, dalam 10 hari ada 471 kejadian kecelakaan dengan jumlah korban meninggal mencapai 113 orang. Jumlah ini memang turun jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang mencapai 281 orang.
Namun, perlu menjadi catatan bahwa ini terjadi hanya dalam 10 hari saja. Artinya, intensitas kecelakaan angkutan darat ini memang cukup tinggi. Bus sendiri menjadi salah satu yang cukup sering menjadi moda transportasi yang mengalami kecelakaan.
Tak heran memang banyak pihak menilai bahwa pemerintah, secara khusus Kemenhub, perlu menerapkan sanksi yang tegas terhadap PO yang busnya kerap menyebabkan kecelakaan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa bus dari PO tertentu terkenal cukup “ugal-ugalan” ketika beroperasi di jalan. Bahkan, di beberapa wilayah, sudah ada stereotip bahwa bus-bus dengan tiket murah, identik dengan supir yang ngebut. Hal-hal yang demikian ini tentu harus diperbaiki ke depannya.
Butuh Reformasi Besar
Presiden Jokowi sebetulnya cukup konsen dengan industri perhubungan darat lewat bus. Dibangunnya berbagai jalan tol sebetulnya juga akan memudahkan transportasi umum di jalur darat, dengan bus salah satu di dalamnya.
Perhatian itu juga ditunjukkan dengan masih akan disubsidinya bus-bus ini untuk 4-5 tahun ke depan. Untuk tahun 2020 saja, Kemenhub menganggarkan subsidi hingga Rp 250 miliar. Jumlah tersebut tentu seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan jaminan keselamatan bagi penumpang.
Konteks reformasi juga memang diperlukan untuk menertibkan tidak tegaknya aturan dalam layanan jasa transportasi ini. Masih ditemukannya indikasi pengemudi yang “nembak” Surat Izin mengemudi (SIM) misalnya, harusnya tidak ditemukan untuk kelas pengemudi transportasi umum.
Erreza Hardian, seorang Instruktur Pengemudi di Defensive Indonesia, menyinggung konteks ini sebagai salah satu persoalan utama. Ketika jaminan layak mengemudi seorang supir bus saja masih penuh tanda tanya, maka jangan berharap kecelakaan bus bisa terus ditekan jumlahnya.
Selain itu, investigasi BBC – seperti disinggung sebelumnya – juga pernah menyebut pengecekan kondisi bus sering tak konsisten. Uji KIR misalnya, sering kali justru meloloskan kendaraan-kendaraan yang tidak layak jalan. Artinya praktik yang cendung koruptif masih sering terjadi.
Konteks ini tentu saja menjadi catatan tersendiri bagi Kemenhub. Apalagi, dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), Kemenhub tercatat sebagai kementerian yang PNS-nya paling banyak terjerat kasus korupsi.
Dengan demikian, Menhub Budi Karya Sumadi sudah selayaknya memberikan fokus lebih pada persoalan ini. Sebab seperti kata John Hickenlooper di awal tulisan, keberhasilan pemerintahan Jokowi akan dinilai dari sebaik apa transportasi dikelola untuk kepentingan masyarakat. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.