HomeNalar PolitikJokowi dan Hegemoni Hijrah

Jokowi dan Hegemoni Hijrah

“Saya mengajak kita semua untuk hijrah,” Jokowi


PinterPolitik.com

[dropcap]F[/dropcap]enomena “hijrah” tengah menjadi tren di masyarakat. Banyak selebriti tanah air yang melakukan hal ini dan diekspos begitu banyak oleh media massa maupun media sosial. Masyarakat kemudian terinspirasi dan ikut terbawa popularitas kata hijrah tersebut.

Ternyata hijrah juga merambah ke ranah politik Indonesia. Entah terinspirasi atau tidak, kata hijrah juga ternyata digunakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kandidat petahana pada Pilpres 2019 ini mengajak masyarakat untuk melakukan hijrah dalam pidatonya. Ia tidak hanya melakukan ajakan tersebut satu kali saja. Dalam satu hari, ia bahkan memberi ajakan hijrah sebanyak dua kali.

Banyak anggota tim pemenangan Jokowi yang menyambut positif ajakan Jokowi tersebut. Ada yang menganggap bahwa hijrah yang dimaksud adalah hijrah membawa Indonesia ke kondisi yang lebih baik. Ada pula yang menyebut bahwa hijrah ini sesuai dengan ajaran agama.

Terlepas dari apa pun, nyatanya ajakan Jokowi ini sempat menjadi pembicaraan di ruang-ruang publik. Tagar #HijrahBersamaJokowi bahkan sempat menjadi trending topic di media sosial Twitter selama beberapa waktu. Lalu, apa sebenarnya maksud dari ajakan hijrah Jokowi ini?

Perpindahan dari Baik ke Buruk

Secara historis, hijrah memiliki kaitan dengan langkah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Istilah tersebut amat terkait dengan peristiwa migrasi yang dilakukan Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Selain migrasi secara fisik, hijrah juga memiliki dimensi moral di mana terjadi perpindahan dari perilaku yang buruk menuju yang lebih baik.

Belakangan, fenomena hijrah ini merambah menjadi sesuatu yang lebih populer. Ada banyak anggota masyarakat yang melakukan hijrah dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Umumnya, hijrah yang dimaksud ini menandai perubahan gaya hidup yang sangat hedonis atau berorientasi pada dunia, menuju sesuatu yang lebih religius.

Terlihat bahwa hijrah dapat memiliki makna yang bersifat universal. Perubahan atau perpindahan dari sesuatu yang negatif menuju sesuatu yang lebih positif dapat dimaknai sebagai hijrah. Hal ini diungkapkan misalnya oleh cendekiawan muslim Azyumardi Azra yang menyebut hijrah berkaitan dengan berpindah dari keburukan menuju kebaikan.

Sekilas, ajakan hijrah Jokowi juga memiliki dimensi yang mirip. Dalam akun media sosialnya, Jokowi menyebutkan empat poin migrasi tersebut, yaitu hijrah dari pesimisme ke optimisme, dari individualisme ke kolaborasi, dari marah-marah ke sabar, dan dari monopoli ke persaingan sehat.

Selain itu, dalam pidatonya, ia juga menyebutkan poin-poin lain dari hijrah tersebut. Jokowi misalnya menyebut bahwa masyarakat harus hijrah dari mengeluh menjadi bersyukur, dari prasangka buruk ke prasangka baik, dari kegaduhan ke kerukunan, dan dari perpecahan ke persatuan.

Terlihat bahwa ada pesan-pesan positif dari ajakan Jokowi tersebut. Jika hijrah dianggap sebagai sesuatu yang universal yaitu berpindah dari sesuatu yang negatif ke positif, boleh jadi ajakan Jokowi sudah bisa memenuhi syarat tersebut.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Beberapa anggota tim kampanye nasional (TKN) Jokowi mengonfirmasi terkait perpindahan dari sesuatu yang negatif menuju positif tersebut. Menurut mereka, di balik ajakan hijrah Jokowi tersebut terselip pesan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Formula Hegemoni

Meski ajakan hijrah Jokowi dapat dianggap sebagai sesuatu yang positif dan universal, sebenarnya boleh jadi ada maksud lain dari imbauan tersebut. Hal ini terutama terkait dengan diksi hijrah yang ia gunakan dalam pidato dan postingan media sosialnya.

Bahasa memang dapat menjadi salah instrumen penting bagi penguasa. Hal ini membuat sejumlah pemimpin menggunakan istilah bahasa tertentu dalam sejumlah upaya politiknya. Menurut Michel Foucault misalnya, bahasa menjadi formula of domination atau formula dominasi.

Di titik itu, bahasa juga dapat menjadi alat bagi pemimpin untuk melakukan hegemoni. Menurut Antonio Gramsci, hegemoni tidak hanya berkaitan dengan kelas, tetapi juga dengan hal-hal yang lebih luas, termasuk komunikasi. Menurut Gramsci, dominasi penguasa dapat ditanamkan tidak hanya melalui senjata, tetapi juga melalui penerimaan publik.

Dalam konteks hijrah Jokowi, tampak opini publik yang ingin digiring adalah bahwa hijrah dari sesuatu yang baik ke yang buruk adalah hijrah milik Jokowi. Hal ini dibentuk melalui berbagai media, baik itu media massa maupun media sosial. Melalui kata hijrah, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut berhasil memenangkan penerimaan publik.

Pada titik ini, terlihat bahwa hijrah menuju kebaikan seperti hanya ada di sisi Jokowi. Meski tidak eksplisit, melalui ajakan tersebut, Jokowi bisa saja  tengah menggambarkan bahwa hal-hal positif hanya ada di kubunya. Oleh karena itu, segala bentuk keburukan harus segera ditinggalkan dan bermigrasi menuju kebaikan di sisi Jokowi.

Ada yang mau hijrah bersama Jokowi? Share on X

Secara khusus, ada dimensi agama dalam konteks ajakan hijrah Jokowi. Meski dapat dianggap sebagai sesuatu yang universal, kata tersebut mau tidak mau tetap memiliki unsur religi. Oleh karena itu, boleh jadi ada klaim lebih bahwa Jokowi secara agama lebih unggul, sehingga “tokoh” selain Jokowi harus ditinggalkan. Berdasarkan kondisi tersebut, terpercik sedikit nuansa politik identitas melalui istilah hijrah.

Menurut Gramsci, media menjadi ruang untuk perang bahasa demi mendapatkan penerimaan publik dari gagasan yang diperjuangkan. Dalam perebutan tersebut, makna dan nilai yang dihasilkan sangat berpengaruh dalam pembentukan dominasi sosial.

Melalui media sosial, Jokowi bisa saja tampak sudah mendapatkan penerimaan publik tersebut. Melalui tagar #HijrahBersamaJokowi, ia seperti berhasil menciptakan dominasi sosial bahwa dirinya dan kubunyalah yang akan membawa masyarakat bermigrasi dari keburukan menuju kebaikan.

Bukan Sekadar Seruan Moral?

Merujuk pada kondisi tersebut, terlihat bahwa istilah hijrah yang digunakan Jokowi bisa saja tidak hanya sekadar berupa seruan moral. Ajakan tersebut boleh jadi memiliki makna yang bersifat kampanye untuk berpindah dari kubu lawannya menuju dirinya.

Secara khusus, Jokowi bisa saja tidak hanya sekadar mengajak masyarakat umum untuk hijrah bersama dirinya. Boleh jadi ada kelompok masyarakat tertentu yang ia incar agar mau melakukan migrasi bersama dirinya.

Jika melihat pada konteks lokasi dan momen pidato hijrah Jokowi, boleh jadi ia secara khusus mengincar kalangan tertentu untuk bergabung dengannya. Dalam dua kali pidato hijrah, terdapat dua jenis audiens yaitu pembesar provinsi Banten yang terdiri dari dinasti politik terkemuka, serta yang kedua adalah para pengusaha muda.

Terlihat bahwa audiens pada pidato hijrah Jokowi adalah golongan yang dapat dianggap sebagai elite. Baik keluarga dinasti politik Banten maupun para pengusaha muda dapat dikatakan memiliki posisi yang cukup penting di mata masyarakat.

Hal ini juga terkait dengan sikap TKN Jokowi yang menyambut baik bergabungnya Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra sebagai pengacara Jokowi-Ma’ruf. Mereka menyebut bahwa Yusril adalah contoh dari hijrah yang dimaksud oleh Jokowi.

Berdasarkan kondisi tersebut, boleh jadi kalangan elite atau pembesar politik lainnya adalah sasaran dari ajakan hijrah Jokowi. Kelompok-kelompok ini bisa saja diajak untuk pergi meninggalkan kondisinya saat ini yang dianggap buruk menuju Jokowi yang lebih positif. Pada titik itu, dominasi tidak hanya terjadi pada tataran wacana, tetapi juga pada aspek lain.

Merapatnya para pembesar itu dapat membuat dominasi sosial yang sudah terbentuk sebelumnya akan menjadi lebih besar. Orang-orang yang memiliki nama dan modal besar itu dapat menjadi alat Jokowi untuk menambah hegemoninya.

Ajakan untuk beralih dari sesuatu yang negatif menuju positif tentu adalah ajakan yang baik. Meski begitu, bisa saja ada maksud lain yang ingin diraih oleh Jokowi melalui seruan hijrahnya. Terlepas dari apa makna yang ingin diraih, yang jelas kini ia tampak telah mendapatkan penerimaan publik yang cukup baik. Pasca seruan itu, penting untuk dilihat siapa yang benar-benar akan hijrah bersama Jokowi di 2019 nanti. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...