Pada Mei 2020 lalu, Pangeran Charles dari Inggris dan Executive Chairman World Economic Forum, Klaus Schwab memperkenalkan proposal bertajuk The Great Reset yang berupaya menangkal akibat jangka panjang dari pandemi Covid-19. Ide utamanya adalah mengatur ulang kapitalisme ekonomi dan segala kebijakan turunannya agar mampu memberikan manfaat kepada masyarakat, terutama di kelas ekonomi terbawah. Dengan berbagai konspirasi yang mengiringi kemunculan konsep tersebut, bagaimana proposal ini akan mempengaruhi kebijakan Presiden Jokowi di Indonesia?
Covid-19 telah menjadi momok besar bagi perekonomian banyak negara. Mulai dari super power seperti Amerika Serikat (AS), hingga negara-negara yang lebih kecil, semuanya mengalami resesi. Dalam jangka pendek, pandemi ini memang telah menyebabkan persoalan serius di sektor kesehatan dan ekonomi. Ini memang adalah krisis kesehatan terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Sementara, dampak jangka panjangnya juga masih akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan, misalnya terkait utang negara, pengangguran, hingga pemenuhan standar hidup masyarakat yang lebih baik di tengah ketimpangan ekonomi yang justru menajam pasca pandemi Covid-19.
Sebagai catatan, hingga Oktober 2020 lalu, para miliarder di daftar teratas orang-orang terkaya di dunia mengalami peningkatan kekayaan hingga US$ 10,2 triliun atau sekitar Rp 143 ribu triliun. Kondisi ini sangat kontras dengan mayoritas masyarakat yang justru mengalami kesulitan ekonomi di tengah krisis kesehatan ini.
Hal inilah yang membuat banyak scholar dan pengamat mulai memunculkan ide terkait apakah ekonomi dan kebijakan-kebijakan politik global harus “di-reset” alias diatur ulang, sehingga berbagai persoalan jangka panjang tersebut bisa diatasi.
Ini menjadi topik perbincangan bertajuk Global Town Hall pada akhir November 2020 lalu, yang salah satunya didukung oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI). Salah satu pembicara dalam acara ini adalah akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani.
Secara garis besar, acara ini mendiskusikan perubahan atau reset kebijakan yang mungkin terjadi di kawasan Indo-Pasifik pasca Covid-19, termasuk juga terkait pergantian kepemimpinan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) katakanlah jika Joe Biden pada akhirnya nanti resmi dilantik sebagai orang nomor satu di negara tersebut.
Menariknya, istilah “reset” yang dipakai dalam publikasi acara tersebut, beberapa waktu terakhir menjadi pusat perhatian banyak tokoh dan pemimpin di dunia. Ini terkait terminology “The Great Reset” atau pengaturan ulang besar-besaran yang konsepnya digariskan oleh founder sekaligus Executive Chairman World Economic Forum, Klaus Scwab. Program yang diperkenalkan pada Mei 2020 bersama dengan Pangeran Charles ini dianggap sebagai solusi dari persoalan yang terjadi akibat Covid-19.
Ini adalah agenda besar untuk mengatur ulang kapitalisme ekonomi dan – seperti klaim Schwab – membuat ekonomi dunia lebih berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan bagi semua orang. Lalu, seperti apa pemikiran tentang The Great Reset ini diimplementasikan dan apakah benar dugaan dan konspirasi yang muncul di sekitar konsep ini yang menyebutnya sebagai cara elite global menerapkan kontrol?
Gerbang The Great Reset
Pemikiran tentang The Great Reset memang dituangkan dalam buku yang ia tulis bersama Thierry Malleret berjudul Covid-19: The Great Reset. Dalam bukunya ini, Schwab membahas bagaimana proses reset itu dilakukan dalam semua aspek kehidupan masyarakat, mulai dari bidang pendidikan, kontrak sosial, kondisi pekerjaan, hingga pemanfaatan teknologi.
Istilah The Great Reset sendiri sebetulnya pernah juga dituliskan oleh Richard Florida dalam bukunya yang berjudul The Great Reset: How New Ways of Living and Working Drive Post-Crash Prosperity yang terbit pada tahun 2010. Dalam tulisannya ini, Florida membahas bagaimana krisis ekonomi yang terjadi di tahun 2008 harus dilihat sebagai jalan dan kesempatan untuk mengatur ulang berbagai hal, mulai dari soal ekonomi, sosial-kemasyarakatan, geopolitik, dan lain sebagainya.
Dalam nuansa yang serupa, The Great Reset kemudian diformulasikan lagi oleh Klaus Schwab dan Malleret, namun dalam pengertian yang lebih kompleks. Schwab bahkan mengidealkan sebuah perubahan total dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara mikro maupun makro.
Secara garis besar, ada 3 hal yang menjadi poin utama pemikiran Schwab. Pertama, adanya kebijakan yang mengatur pasar agar menghasilkan outcomes atau hasil yang lebih adil. Pemerintah diharapkan mampu meningkatkan koordinasi dalam pembuatan kebijakan terkait pajak, kebijakan fiskal, subsidi, juga termasuk hak-hak kekayaan intelektual.
Kedua, adanya investasi yang besar yang berujung pada ekonomi yang berkelanjutan dan mampu melahirkan kesetaraan atau equality. Stimulus ekonomi bagi masyarakat bawah misalnya, sangat diperlukan agar kondisi kesulitan yang terjadi pasca Covid-19 bisa diatasi dengan lebih baik.
Dalam ulasan di beberapa media lain, Schwab misalnya menyinggung soal dana yang dianggarkan oleh negara-negara untuk tujuan tersebut. Uni Eropa menganggarkan US$ 826 miliar atau sekitar Rp 11 ribu triliun untuk program recovery dan stimulus ekonomi. Negara-negara lain, seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan yang lainnya juga dipercaya akan melakukan hal yang sama.
Sementara poin ketiga adalah terkait pemanfaatan teknologi yang muncul seiring revolusi industri 4.0, untuk kepentingan publik. Selama pandemi Covid-19 berlangsung, publik menyaksikan bagaimana perusahaan, kampus, ahli-ahli dan ilmuwan, serta pemerintah dan masyarakat bersatu padu mencari solusi persoalan ini. Menurut Schwab, dunia akan menjadi tempat yang berbeda jika kerja sama yang demikian ini bisa terjadi di berbagai bidang lainnya.
Selain itu, teknologi seperti contact tracing dan tracking yang digunakan untuk mendeteksi pasien-pasien Covid-19, bisa dipakai dalam formula yang lebih luas untuk tujuan penanganan krisis kesehatan di kemudian hari, juga untuk tujuan-tujuan lain.
Kemudian, Schwab juga mengelompokkan pengaturan ulang tersebut dalam 3 kelompok. Yang pertama adalah makro reset yang meliputi masalah ekonomi, lingkungan, kemasyarakatan, geopolitik dan teknologi. Kemudian yang kedua adalah mikro reset yang berhubungan dengan bisnis dan industri. Yang terakhir adalah individual reset yang berhubungan dengan redefinisi kemanusiaan, persoalan kesehatan mental, dan prioritas-prioritas dalam masyarakat.
Dengan demikian, garis pemikiran The Great Reset itu sendiri sebetulnya bertumpu pada bagaimana ekonomi kapitalisme bisa mengondisikan dirinya agar membawa dampak yang lebih besar bagi seluruh masyarakat, terutama mereka yang ada di kelas terbawah.
Secara keseluruhan, konsep ini tampak sangat bagus dan bahkan bisa dibilang sebagai solusi yang dibutuhkan. Namun, para pemikir dan pendukung kelompok kanan menilainya sebagai agenda yang cenderung Marxist atau kekiri-kirian. Schwab sendiri dicap sebagai seorang Marxist.
Kemudian, muncul juga berbagai konspirasi di belakang The Great Reset yang menganggap proposal ini adalah cara segelintir pemimpin dan elite dunia untuk mengontrol masyarakat global. Banyak yang menganggap The Great Reset sebagai jalan para elite tersebut untuk menciptakan pemerintahan totalitarian Marxisme global untuk membentuk sebuah New World Order atau pemerintahan dunia baru.
Mereka menganggap jika The Great Reset ini terjadi, maka masyarakat akan masuk ke rezim ketika vaksin menjadi hal yang diwajibkan, akan ada penggunaan militer untuk tujuan “memaksa” masyarakat tertib, serta tingkat kontrol dan pengawasan dari kelompok-kelompok ini yang makin besar pada masyarakat secara keseluruhan.
Mereka juga menganggap Covid-19 juga sudah direncanakan agar dunia masuk pada satu krisis yang membuat kelompok elite global ini punya kesempatan untuk menerapkan agenda mereka.
Walaupun demikian, hingga kini teori-teori konspirasi ini dianggap tak punya basis data dan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
Lalu, jika pada akhirnya The Great Reset terjadi, akan ada dimana posisi Indonesia?
Indonesia Dimana?
Dalam konteks agenda politik internasional, Presiden Jokowi kemungkinan besar akan kembali menggunakan pendekatan yang cenderung pragmatis. Kishore Mahbubani dalam berbagai ulasannya memang menyebutkan bahwa kebanyakan pemimpin di Asia akan cenderung melihat sebuah usulan kebijakan dari sisi seberapa besar hasil yang dicapai dari agenda tersebut yang bisa memenuhi kepentingan nasional negaranya.
Artinya, besar kemungkinan Indonesia akan ikut dalam arus besar ini. Presiden Jokowi akan melihat hal ini sebagai peluang untuk mengeluarkan Indonesia dari krisis. Namun, hal ini baru akan bisa terjadi jika gelombang The Great Reset ini telah berhasil mengubah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negara-negara yang lebih besar, pun dalam konteks lembaga-lembaga internasional.
Walaupun demikian, konteksnya akan berbeda jika teori-teori konspirasi yang ada di seputaran The Great Reset ini pada akhirnya bisa dibuktikan dan melahirkan gelombang penolakan di seluruh dunia. Yang jelas, program ini punya arah peningkatan dan pemerataan kesejahteraan yang lebih baik. Oleh karena itu, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.