Kemenangan Jokowi di Pemilu 2019 menjadi etape baru dalam politik Indonesia. Politisi yang hadir bukan dari elite politik. Fenomena kemunculan Jokowi juga berlangsung di belahan negara lain, naiknya Donald Trump di Amerika Serikat, dan Zelenesky sebagai Presiden Ukraina. Ini adalah pertanda dari muaknya masyarakat terhadapa seluruh tatanan yang selama ini ada di dalam struktur politik.
PinterPolitik.com
Jokowi kini tengah memiliki peluang besar kembali terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia di periode 2019-2024. Kali ini Jokowi benar-benar mampu menisbahkan dirinya sebagai seorang politisi yang memiliki daya tawar tinggi. Kenaikannya di tahun 2014 banyak dianggap sebagai aji mumpung semata, rejeki dari Tuhan, namun kemenangannya di 2019 diskenariokan dengan sangat sempurna, dia adalah politisi ulung.
Di tengah gempuran elite politik, oligark ekonomi, pemuka agama, anak tokoh dan kekuatan militer, Jokowi mampu merebut kembali puncak kekuasaan di negeri ini dengan persentase sebesar 55,50% atau jika dikonversi ke suara menjadi 85.607.362 suara. Kemenangan ini membuktikan bahwa Jokowi adalah orang yang paling tepat mengisi narasi zaman yang sedang tumbuh.
Kemenangan Jokowi berjalan begitu mulus dan cepat di tahun 2014. Bagaimana dia yang awalnya adalah Wali Kota Solo periode 2005-2012, lalu naik menjadi Gubernur DKI Jakarta dari 2012-2014, dan langsung naik menduduki posisi paling top seantero negeri.
Jokowi berasal dari kalangan yang sangat sederhana, latar belakang dia sama sekali tidak mencerminkan sebuah ambisi politik jangka panjang dan rencana menduduki kursi Presiden. Rumahnya pernah digusur tiga kali, mengambil jurusan kehutanan, dan bekerja sebagai pengusaha mebel.
Di tiap pertarungan politiknya di DKI Jakarta, bahkan Jokowi tidak mendapatkan dukungan dari partainya sendiri, PDI-P, sehingga Ketua Umum Megawati harus dilobi oleh Prabowo yang mengusung Jokowi sedari awal dengan menduetkannya bersama BTP yang masih berstatus kader saat itu.
Narasi yang dibangun Jokowi juga meretakkan seluruh elitisme politik, yaitu yang merakyat, melalui ajakan blusukannya, Jokowi menarasikan dirinya sebagai Jokowi adalah kita. Kebaharuan Jokowi yang tidak pernah masuk dalam lingkar elite menjadikan dia sebagi sosok yang bersih, merakyat dan berorientasi kerja, serta progresif, dia mampu mendobrak seluruh status quo yang ada di sistem politik.
Fenomena Dunia
Kemunculan sosok seperti Jokowi tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016, Donald Trump terpilih sebagai Presiden negara Adidaya, Amerika Serikat. Sebuah cetakan baru bagi sejarah Amerika Serikat dimpimpin oleh orang yang bukan berasal dari elite politik. Donald Trump beberapa kali berpindah keberpihakan dari Republik ke Partai Reform, lalu ke Demokrat dan kembali ke Republik semenjak 2010.
Trump memenangkan Pilpres AS pada Novermber 2016 dengan keunggulannya di 306 wilayah negara bagian AS, dengan perolehan suara se besar 62.984.828. Banyak pengamat politik yang mempublikasikan bahwa Hillary Clinton akan menjadi pemenang, sayangnya hal tersebut tidak terjadi.
Kemenangan Trump mengguncang seluruh panggung perpolitikan AS. Trump mampu menggempur kandang Demokrat dari Michigan, Pennsylvania hingga Wisconsin. Setelah kemenangannya, datang demo berduyun-duyung memenuhi Washington sebanyak 500.000 orang.
Betapa tidak klopnya dia dengan perpolitikan terbukti dari ditutupnya Pemerintah AS di 22 Desember 2018, sebab Trump bersikukuh untuk memasukkan 5.6 milyar USD di bujet federal untuk biaya benteng perbatasan AS-Mexico. Hal ini berulang kembali di 25 Januari 2019, dimana Pemerintah AS harus tutup selama 31 hari sebab lagi-lagi karena pendanaan dinding pembatas AS dengan negara tetangga.
Ini membutkikan bahwa Trump tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari partai yang mengusungnya, Republik.
Ini semua membuktikan bahwa Trump memang benar-benar outsider sejati, dia tidak hanya pendatang baru di politik, namun sekaligus banyak orang yang alergi dengan dirinya, menganggap Trump sebagai yang lain, yang berbeda, yang outsider.
Belum lagi Trump juga tidak akur dengan media, kerap menyebut media sebagai musuh masyarakat, dan kerap membuat berita palsu. Dia sangat membenci CNN yang sebelumnya kerap memberikan Hillary dengan sudut positif. Walhasil Trump adalah outsider sejati. Trump mampu mengguncang seluruh sistem yang selama ini terkunci di politik AS.
Di belahan dunia lain, komedian Vologymyr Zelensky menjadi Presiden Ukraina. Menang telak dengan memperoleh 73,22% suara nasional mengalahkan inkumben Petro Poroshenko. Zelensky selama ini berkarir di dunia hiburan, dia memiliki grup lawak bernama ‘Zaporizhia-Kyvyi Rih-Transit’.
Selain menekuni dunia komedi, Zelensky juga bermain di beberapa judul film. Mulai dari Love in the Big City yang bergenre komedi-romantis, hingga yang terakhir di 2015, Zelensky membintangi film berjudul Servant of the People, dimana dia berperan sebagai Presiden Ukraina.
Tahun 2018, Servant of the People didirikan, partai besutan dari Kvartal 95. Maret 2019, Zelensky mengatakan akan masuk ke politik untuk mengembalikan profesionalitas dan orang-orang tulus ke panggung politik, dia ingin merubah kebakuan politik hari ini. Pada 31 Desember dia resmi menang, dan 20 Mei lalu dia dilantik sebagai Presiden Ukraina di umurnya yang ke-41.
Zelensky menjanjikan rakyat Ukraina akan bisa mendapatkan referendum, menghabisi korupsi, memperbiaki aturan pemilu, dan menghapus imunitas presiden. Ukraina tidak akan lagi menjadi anak dari Rusia, Ukraina akan menjadi anggota dari Uni Eropa dengan bermartabat. Semangat yang tentu saja muncul dari seseorang yang ingin mengguncang seluruh tatanan politik.
Narasi Anti-Kemapanan
Kemunculan 3 figur tersebut sejatinya adalah sebuah jawaban dari narasi zaman yang sedang terbentuk. Bahwa masyarakat sudah muak dengan kondisi politik yang ada. Perubahan situasi politik ini boleh jadi adalah representasi dari pergeseran seluruh struktur baku yang selama ini men-status-quo kan dirinya.
Dari struktur politik yang berjalan dari dibentuknya sistem negara bangsa melalui fajar modernisme. Bentuk negara bangsa dengan menggunakan demokrasi di mana sebagian besar negara-negara di dunia ini menggunakannya, memiliki banyak celah. Bahwa bentuk negara bangsa yang bercorak liberalis cenderung untuk menyempitkan pluralisme masyarakat sebagai hanya sekedar fakta, namun tidak esensi bermasyarakat.
Walhasil hal-hal yang sifatnya tabu dan ditakutkan menyinggung tetangga, akan coba kita tahan dan menjadi pergunjingan di antara sesama saja, dan justru ini yang menjadi sekam dalam demokrasi, sebab demokrasi yang sedari awal dijalankan melalui revolusi modern tumbuh dan dipromosikan oleh kapitalisme, sehingga liberalisme menjadi corak berdemokrasi, begitu menurut Chantal Mouffe mengkritik John Rawls.
Politisi anti-kemapanan! Share on XMasyarakat hari ini tidak senang dengan basa basi dan segala kepura-puraan, masyarakat muak dengan segala tingkah politik yang begitu palsu. Sistem demokrasi yang terbangun tidak mampu memberikan celah bagi keseluruhan masyarakat berpartipisasi, sehingga yang menguasai panggung politik adalah orang-orang lama, mereka yang tidak pernah berganti dari masa ke masa.
Penguasaan panggung politik oleh golongan yang itu-itu saja adalah sebab utama kebosanan ini. Mereka elite parpol, para pengusaha kaya raya, anak tokoh, serta militer menjadikan politik milik hanya segelintir orang, dia tidak bisa diakses oleh semua orang. Akhirnya demokrasi seperti menjadi monarki baru, dia dikuasai oleh oligark. Itu alasan yang menjadikan mengapa muncul ketidakpuasan, sebab ada ketidakadilan.
Dan orang-orang yang sudah lama bermain di politik ini cenderung kotor dan hanya berpihak demi kepentingan dia sendiri, mempertahankan kekuasaan yang mereka miliki. Sehingga keculasan ini yang terlalu nampak dan tidak disukai oleh masyarakat. Sudah culas, munafik lagi jika disingkat demikian.
Sosok seperti Hillary sebagai contoh tidak disukai karena dianggap sebagai ramuan seluruh formula tersebut, mulai dari sosok lama politik, selalu mempertahankan kekuasaannya bersama oligark di belakangnya, representasi penuh dari keculasan bersama seluruh skandalnya, sehingga meme tentang Hillary banyak bertebaran.
Pergantian generasi adalah kunci semua ini, sebab dengan bergantinya corak antropologi masyarakat dari generasi baby boomers yang membentuk seluruh tatanan hidup hari ini dengan generasi millennial membuat goncangan di seluruh struktur sosial masyarakat.
Banyaknya gerakan anti-kemapanan, mulai dari ramainya gerakan Occupy Wall Street, tumbuh suburnya gerakan kiri di Indonesia, dan naiknya gerakan-gerakan progresif, munculnya partai-partai baru yang digawangi oleh anak-anak muda yang membawa angin segar di iklim politik.
Gerakan anti-kemapanan sendiri adalah istilah untuk merangkum seluruh bentuk oposisi pada struktur sosial, politik dan ekonomi. Riset yang dilakukan oleh Bradley Jones menunjukkan bahwa ada pergeseran isu dari tahun ke tahun di publik Amerika Serikat sendiri, di mana isu-isu soal jaminan sosial menjadi populer, dan banyak digaungkan oleh politisi, ini juga yang bisa menjadi simpulan bahwa terjadi pergeseran corak berpikir ke arah tengah.
Beberapa kandidat dari Demokrat yang sudah mendeklarasikan diri sudah jelas-jelas mengambil ide-ide sosialisme sebagai pemacu isu keseharian mereka saat berkampanye untuk 2020 nanti. Sebut saja seperti Bernie Sanders, Pette Buttigieg, juga Kamala Haris yang semuanya cenderung berpandangan sentris.
Hasil penelitian dari Pew Research Center menunjukkan bahwa terjadi pergeseran orang-orang Demokrat untuk cenderung lebih ke kiri, dan kalangan Republik yang cenderung juga lebih ke tengah.
Alan Heslop menyatakan bahwa pergantian kepala negara dengan diisi oleh orang baru, yang di luar daripada sistem politik adalah sebuah kewajaran dalam skema ketidakpuasan terhadap politik yang sedang ada. Semoga, ketiga Presiden ini betul menjadi jawaban atas harapan masyarakat ke depannya, harapan akan perubahan, bukan malah masuk dan tenggelam dalam sistem itu sendiri. (N45)