Dalam beberapa kesempatan kampanye, Jokowi tampak ofensif dengan menuduh ada pihak yang menggunakan teknik propaganda ala Rusia untuk memenangkan Pilpres 2019. Apakah ini bentuk kepanikan atau taktik politik terbaru petahana?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]ebuah ungkapan bijak bahwa kesabaran ada batasnya mungkin saja tak terlalu salah dalam politik Indonesia. Begitulah pesan yang mungkin ingin disampaikan presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi).
Ada yang tak biasa dari sosok Jokowi beberapa waktu terakhir ini. Luapan emosi yang tak terbendung lagi menjadi ciri khasnya dalam beberapa pertemuan dengan relawan pendukungnya dalam aktivitas kampanyenya sepanjang akhir pekan ini di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam luapan emosi tersebut, terselip kekesalan sang petahana karena selama ini ia diserang berbagai fitnah dan hoaks yang tersebar melalui media sosial.
Ia menyindir, meskipun tak secara spesifik menyebut kubu oposisi, adanya peran propaganda asing yang selama ini dimainkan oleh lawan politiknya.
Ia juga menegaskan persoalan terkait banyaknya hoaks dan fitnah itu karena adanya upaya adu domba ala asing.
Secara spesifik, mantan walikota Solo tersebut juga bahkan menuding adanya konsultan asing yang coba mengusik ketentraman Pilpres 2019.
Ia meluapkan kekecewaanya saat ia menghadiri deklarasi Forum Alumni Jawa Timur di Surabaya, deklarasi relawan Sedulur Kayu dan Mebel Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Jokowi bahkan tak ragu menyebut bahwa ada propaganda ala Rusia dalam pesta demokrasi saat ini. Ia menyoroti adanya sembutan dusta dan hoaks yang menjadi warna dalam politik Indonesia belakangan ini. Pernyataan itu ia ungkapkan pada pidato di hadapan pendukungnya di Surabaya.
Banyak pengamat politik yang berpendapat bahwa kini Jokowi keluar dari gayanya selama ini yang terkesan santun. Ia memang terlihat lebih ofensif menjelang dua bulan hari pencoblosan ini.
Beberapa tanggapan pun datang dari kubu oposisi yang menyayangkan tuduhan presiden tersebut. Kubu oposisi menolak menjadi pihak tertuduh dari ucapan sang presiden.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, ada yang menarik dari cara berkampanye Jokowi. Seolah tak mau begitu saja diam terhadap serangan yang selama ini merugikan citranya, kini ia mencoba untuk mulai membela diri. Namun, tak ada yang pernah menduga sang petahana akan menggunakan serangan balik dengan melemparkan tuduhan tersebut secara gamblang di depan publik.
Lalu benarkah tuduhan Jokowi tentang adanya propaganda ala Rusia tersebut? Ataukah ada makna secara politis lain di balik tuduhan sang mantan gubernur DKI tersebut?
Merasa Tak Aman
Dalam konteks politik Indonesia, memang dalam beberapa waktu terakhir, isu teknik propaganda firehose of the falsehood menjadi booming setelah kasus hoaks yang menimpa artis Ratna Sarumpaet beberapa waktu lalu.
Sebagai sebuah teknik propaganda politik, firehose of the falsehood ini memang cukup membuat khawatir. Katakanlah di AS, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS melalui teknik ini disebut-sebut sebagai sebuah “cara kotor” untuk menang, namun efektif.
Lalu bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia?
Meskipun tuduhan bahwa kubu oposisi kerap menggunakan teknik firehose of the falsehood ini memang tak terhindarkan, namun hal ini jelas bukan sesuatu yang benar-benar mudah dibuktikan.
Di tengah sulitnya pembuktian tersebut, yang terjadi saat ini justru adalah dengan langkah Jokowi yang mengumbar pernyataan propaganda Rusia dan konsultan asing tersebut di muka publik membuatnya benar-benar dipertanyakan.
Propaganda Rusia itu masih pseudoscience, gak beda demgan mistik atau takhayul. Dimakan mentah-mentah, jadilah Presiden percaya takahyul.
— andi arief (@AndiArief__) February 5, 2019
Apa yang dilakukan Jokowi dengan menyoroti adanya permainan asing dalam Pilpres 2019 justru bisa diartikan publik sebagai ekspresi ketidakpercayaan dirinya terhadap elektabilitasnya sendiri. Setidaknya, inilah yang dikatakan oleh kubu oposisi. Meskipun ia memiliki banyak keuntungan yang dapat dikapitalisasi untuk kepentingan elektabilitasnya, namun ia masih mencurigai pergerakan lawan yang menggunakan konsultan politik asing.
Dalam konteks ini, Jokowi boleh jadi mengalami insecurity mengingat banyak rumor yang mengatakan bahwa elektabilitas oposisi kini telah mendekati sang petahana.
Selain itu, rilis beberapa lembaga survei juga menunjukkan bahwa elektabilitas petahana cenderung stagnan mendekati bulan-bulan pencoblosan. Tentu hal tersebut bukan sebuah kabar yang menggembirakan bagi sang petahana.
Dalam konteks tersebut, menurut Daniel Béland dalam papernya berjudul Insecurity and Politics: A Framework, dalam konteks psikologi politik, political insecurity ini memang cenderung mendorong seorang pemimpin politik mengalami moral panic dan akan cenderung mengkonstruksi adanya collective insecurity.
Pernyataan Jokowi tentang adanya kekuatan asing yang membantu lawan politiknya memenangkan kontestasi Pilpres 2019 tersebut yang dapat dimaknai sebagai upaya konstruksi collective insecurity.
Dalam konteks tuduhan propaganda Rusia ini, petahana terlihat sedang membangun narasi kolektif untuk memerangi musuh bersama yang diciptakan bernama hoaks dan fitnah.
Pada titik ini, bisa saja hal ini merugikan Jokowi karena ia mungkin akan terjebak dalam permainan emosi yang tengah diciptakan oleh lawan politiknya.
Mengingat bahwa kini berbagai kritikan menyayangkan sikap sang mantan walikota Solo tersebut. Bahkan sikap tak senang tersebut juga datang dari pihak kedutaan besar Rusia di Indonesia sendiri.
Mengkonfrontasi Playing Victim Prabowo
Di sisi lain, menurut Béland, narasi konstruksi collective insecurity ini merupakan salah satu dari bentuk dari strategi politik.
Dalam konteks ini, politisi secara sistematis akan berusaha untuk meningkatkatkan peringatan adanya collective insecurity untuk meningkatkan kekuasaan mereka, sehingga terjadilah pertarungan narasi wacana dengan lawan politiknya.
Sehingga dengan membangun collective insecurity ala Jokowi ini pada akhirnya mengindikasikan adanya upaya petahana dalam mengimbangi permainan playing victim yang memang kerap kali dilakukan oleh kubu oposisi.
Playing victim sendiri merupakan strategi politik untuk meraih simpati publik dengan jalan menempatkan diri sebagai korban dalam sebuah kondisi politik.
Prabowo memang selama ini dituding sering kali menggunakan teknik playing victim dalam berpolitik. Misalnya saja tudingan Ketua DPP PDIP, Andreas Hugo Pareira menyoal cerita Prabowo dikepung yang mengembangkan cerita palsu untuk menarik simpati masyarakat. Juga menyoal kasus Ratna Sarumpaet dengan cerita bohongnya sebagai contoh skenario playing victim yang gagal.
Propaganda Rusia itu memang nyata adanya https://t.co/g1d04ZWjE4
— #99 (@PartaiSocmed) February 5, 2019
Meskipun kerap kali dianggap gagal, namun justru kubu oposisi terlihat konsisten memainkan ritme strategi playing victim tersebut.
Misalnya saja dalam beberapa waktu terakhir ini kubu oposisi intens menyerang petahana dengan berbagai tuduhan diantaranya adanya dugaan kriminalisasi ulama yang dilakukan oleh rezim.
Yang teranyar adalah upaya penangkapan yang dilakukan terhadap musisi cum politisi, Ahmad Dhani dan filsuf cum politisi Rocky Gerung atas tuduhan ujaran kebencian. Segala kondisi tersebut justru semakin memberikan peluang bagi oposisi untuk memposisikan pemerintah sebagai pihak yang zalim dan kubu oposisi yang terzalimi.
Di tengah kuatnya serangan kubu oposisi terhadap pemerintah di media sosial maupun media massa, tentu wajar jika kini Jokowi mencari cara untuk mengkonfrontasi strategi tersebut.
Sehingga, dengan berupaya untuk membangun kesadaran kolektif tentang adanya bahaya laten propaganda asing menjadi sebuah upaya serangan balik yang memungkinkan.
Pada akhirnya, sebagai sebuah strategi politik, keberhasilan usaha petahana maupun oposisi ini tentu saja bergantung pada sejauh mana pertarungan narasi ini mempengaruhi publik. Lalu manakah yang akan lebih efektif? Teknik menciptakan musuh bersama atau berperan playing victim? Berikan pendapatmu. (M39)