HomeNalar PolitikJokowi dan Dilema Politisasi KPK

Jokowi dan Dilema Politisasi KPK

Pengangkatan pengacara Latheefa Koya sebagai kepala lembaga anti-korupsi baru di Malaysia oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad dianggap politis. Apakah Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga akan melakukan hal serupa terkait KPK?


PinterPolitik.com

“Some say the game is all corrupt and f****d in this s**t” – 2Pac, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Mahathir memilih Latheefa – pengacara dan aktivis HAM – sebagai kepala lembaga anti-korupsi Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) dengan karakternya yang dianggap kuat sebagai salah satu alasannya. Selain itu, sang PM melihat Latheefa sebagai sosok yang berjasa dalam kampanye politiknya pada Pemilu Malaysia 2018.

Keputusan Mahathir tersebut mengejutkan berbagai pihak dalam perpolitikan Malaysia, termasuk koalisinya sendiri, Pakatan Harapan (PH). Koalisi tersebut – terdiri atas Partai Keadilan Rakyat (PKR), Partai Tindakan Demokratis (DAP), Partai Amanah Negara (AMANAH), dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (BERSATU) –sebelumnya memang memiliki manifesto sendiri yang disebut-sebut menghalangi sang PM dalam mengangkat pihak-pihak yang terlibat dalam upaya kampanye.

Guna merespons keputusan Mahathir yang kontroversial, Presiden PKR Anwar Ibrahim meminta sang PM untuk memberikan klarifikasi atas keputusan sepihaknya yang mengabaikan manifesto koalisi. Sebuah petisi yang menolak pengangkatan Latheefa juga muncul di platform petisi daring Change dengan dukungan dari politisi-politisi PKR, seperti Nik Nazmi Nik Ahmad dan Tan Yee Kew.

Eksistensi Latheefa sebagai ketua SPRM tersebut dianggap politis karena dapat menjadi upaya Mahathir untuk menguatkan pengaruh dirinya dan kawan-kawan politik BERSATU-nya yang memiliki kontribusi kecil dalam koalisi PH. Manuver tersebut dianggap mengindikasikan adanya perpecahan dalam PH, terutama indikasi perpecahan antara Anwar (PKR) dan Azmin Ali (BERSATU) yang disebut-sebut didukung oleh Mahathir.

Pengangkatan Latheefa ini juga disebut-sebut merupakan upaya Mahathir untuk mempertahankan kekuasaannya. Beberapa pengamat politik Malaysia menilai signifikansi dan sejarah Latheefa dapat menyasar posisi Anwar yang disebut-sebut dapat menggantikan Mahathir pada tahun 2020 mendatang.

Dengan melihat adanya kemungkinan politis di balik pengangkatan Latheefa oleh Mahathir di Malaysia, beberapa pertanyaan terkait upaya pemberantasan korupsi di Indonesia turut timbul. Sejauh mana upaya pemberantasan korupsi dapat menjadi politis? Lalu, apakah Jokowi akan melakukan politisasi atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia?

Anti-Korupsi Politis?

Kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi merupakan upaya yang dianggap mulia oleh sebagian besar publik Indonesia. Prevalensi tindakan korupsi di Indonesia memang menjadi fokus masyarakat.

Dukungan bagi politik anti-korupsi di Indonesia juga semakin tampak dengan tingginya tingkat kepercayaan publik pada lembaga KPK. Dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Oktober 2018, KPK menempati posisi tertinggi dengan memperoleh 85 persen kepercayaan dari masyarakat.

Namun, di luar besarnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga anti-korupsi tersebut, upaya-upaya penegakan hukum tersebut sering kali juga memiliki dimensi politik di baliknya, seperti kepentingan-kepentingan yang mendasarinya. Politisasi upaya anti-korupsi juga bukanlah hal baru.

Upaya-upaya pemberantasan korupsi dapat menjadi teknik tersendiri bagi penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya. Seperti yang dijelaskan oleh Clay R. Fuller dari American Enterprise Institute dalam tulisannya yang berjudul Authoritarian Anticorruption Campaigns, kebijakan-kebijakan anti-korupsi dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melemahkan lawan-lawan politiknya guna mempertahankan kekuasaannya.

Guna menjelaskan alasan di balik politisasi anti-korupsi, Fuller mengutip teori selectorate dari Bruce Bueno de Mesquita dan timnya yang memiliki asumsi bahwa setiap pemimpin politik memiliki tendensi dan keinginan untuk mempertahankan posisi dan kekuasaannya.

Kampanye anti-korupsi dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melemahkan lawan-lawan politiknya guna mempertahankan kekuasaannya. Share on X

Selain itu, Fuller menilai bahwa politisasi pemberantasan korupsi berakar dari pola politik patronasi. Berbeda dengan sistem demokratis yang lebih menekankan pada distribusi sumber pada khalayak umum, pola patronasi hanya menyalurkannya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil.

Dalam pemerintahan otoritarian, politisasi upaya pemberantasan korupsi merupakan hal yang prevalen. Politisasi ini dilakukan guna menjaga distribusi sumber yang terbatas.

Seiring berlakunya sifat alamiah pemerintahan otoritarian yang memusatkan penyaluran sumber pada orang-orang tertentu, pihak-pihak yang perlu dipuaskan pun terus bertumbuh sehingga membuat sumber yang ada semakin terbatas.

Oleh sebab itu, menurut Fuller, kampanye anti-korupsi menjadi hal yang menjanjikan karena selain dapat mengurangi jumlah pihak yang memperoleh sumber, citra pemimpin juga terjaga di mata publik, baik domestik maupun internasional.

Masih berkaitan dengan penguasaan sumber, politisasi ini juga merupakan bentuk monopoli kekuatan. Dalam arti lain, Fuller berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi hanyalah sebuah kedok di balik penguatan kekuasaannya sendiri.

Fuller pun memberikan beberapa contoh penguasa yang dianggapnya menggunakan kampanye anti-korupsi sebagai upaya monopolisasi kekuatan dengan melemahkan lawan-lawan politiknya, seperti Vladimir Putin di Rusia, Xi Jinping di Tiongkok, Nicolas Maduro di Venezuela, dan Mohammed bin Salman di Arab Saudi.

Xi Jinping misalnya, dianggap menggunakan kampanye anti-korupsinya untuk mengkonsolidasikan kekuatannya di Partai Komunis Tiongkok. Jude Blanchette dari Crumpton Group menjelaskan bahwa perang terhadap korupsi di Tiongkok yang tidak ada habisnya merupakan cara untuk membuat Partai Komunis dan masyarakat pada umumnya tetap berada di bawah kontrol Xi.

Jika upaya pemberantasan korupsi di Malaysia, Tiongkok, dan beberapa negara lain dapat menjadi upaya konsolidasi kekuatan politik oleh penguasa, lalu, bagaimana konsolidasi politik dalam tubuh KPK di Indonesia?

Politisasi KPK?

Meskipun Indonesia memiliki bentuk negara yang demokratis, pola patronase politik merupakan hal yang masih marak terjadi. Yuki Fukuoka dalam tulisannya yang berjudul “Politics, Business and the State in Post-Soeharto Indonesia” menjelaskan bahwa akses terhadap sumber negara masih menjadi wadah utama bagi kepentingan elite dan oligarki.

KPK pernah disebut-sebut menjadi instrumen Jokowi guna menjalankan strategi jerat-rangkul pada lawan-lawan politiknya. Strategi ala Sun Tzu tersebut dilakukan dengan menekan lawan-lawannya hingga titik terendah, di mana lawannya akan menyerah dan berbalik mendukung pemilik strategi.

Strategi tersebut digunakan Jokowi ketika berupaya menarik dukungan Aburizal Bakrie (Golkar) dan Hary Tanoesoedibjo. Sebelum Pilpres berlangsung, beberapa skandal bisnis tokoh-tokoh yang pernah berseberangan dengan Jokowi ini sempat disorot oleh publik.

Di sisi lain, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa juga menjadi arena kontestasi antar-kepentingan yang saling memperebutkan sumber negara yang terbatas. Seperti yang dijelaskan oleh Ben Bland dalam tulisannya di Lowy Institute, sebagaian besar parpol di Indonesia lebih menginginkan manfaat patronase yang dapat diberikan oleh presiden yang terpilih.

Akibatnya, polarisasi dan perpecahan antar-kubu di tubuh internal KPK juga terkena imbasnya. Neta S. Pane dari Indonesia Police Watch (IPW) pernah menyinggung adanya dua kubu dalam lembaga anti-korupsi tersebut, yaitu kubu “Taliban” yang merupakan pendukung mantan penyidik KPK Novel Baswedan dan kubu “polisi India” yang merupakan kubu non-Novel.

Bisa jadi, perpecahan kubu di KPK merupakan perpanjangan dari kontestasi politik tingkat nasional. Jika kita tilik kembali, Alexander Raymond Arifianto dari S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) pernah menjelaskan bahwa Jokowi memiliki kedekatan tertentu dengan kepolisian.

Perpecahan mungkin saja berujung pada keputusan pimpinan KPK yang berusaha meminimalisir keterlibatan dan peran Polri di tubuhnya. Keputusan kontroversial yang dianggap politis itu pun mendapatkan backlash dari penyidik-penyidik yang berasal dari kepolisian.

Selain itu, KPK di bawah pimpinan Agus Rahardjo memang beberapa kali mengalami kegagalan untuk melibatkan kepolisian dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi yang ditangani lembaga tersebut.

Politisasi di tubuh KPK ini semakin terlihat dari bagaimana panitia seleksi (pansel) ketua KPK masa jabatan 2019-2023 yang dibentuk oleh Jokowi beberapa waktu lalu. Pansel tersebut dinilai memiliki nama-nama yang dianggap kurang pantas oleh berbagai pihak karena adanya tokoh-tokoh yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan kepolisian.

Bisa jadi ada yang menafsirkan bahwa pembentukan pansel serupa oleh Jokowi adalah upayanya untuk mengkonsolidasikan pengaruh politiknya dalam KPK. Jika benar Jokowi dan kawan-kawan politiknya memang terhimpit oleh kubu tertentu di KPK, tersebarnya nama Basuki Tjahaja Purnama – dikenal sebagai Ahok atau BTP – sebagai calon ketua KPK yang diusulkan bisa saja menguntungkan Jokowi apabila benar-benar terwujud. Seperti Latheefa di Malaysia, karakter tegas Ahok bisa jadi menjanjikan bagi Jokowi guna menekan lawan-lawan politiknya.

Tentunya, kemungkinan tersebut belum dapat dipastikan sepenuhnya akan terjadi – mengingat proses pemilihan ketua KPK di Indonesia tidak bisa dilakukan secara sepihak seperti di Malaysia. Meskipun usulan nama-nama calon ketua KPK harus melalui persetujuan Presiden, keputusan final pemilihannya juga perlu melalui Komisi Hukum DPR.

Namun, jika benar politisasi KPK tersebut terjadi, lirik rapper 2Pac di awal tulisan pun menjadi relevan. Pernyataan bahwa politik merupakan permainan yang korup bisa saja benar terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutan KPK di masa mendatang. (A43)

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?