Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) didesas-desuskan akan mendapatkan posisi menteri dalam kabinet kedua Joko Widodo (Jokowi). Desas-desas tersebut pun menjadi lumrah seiring dengan sumbangsih NU yang dianggap besar pada kemenengan Jokowi-Ma’ruf Amin.
PinterPolitik.com
“Who gives a f**k who made it? I penetrate it and innovate it” – Logic, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mungkin tengah pusing memikirkan masa depan pemerintahannya di periode kedua. Setelah berbagai partai politik melontarkan permintaannya atas jatah menteri di Kabinet Kerja 2.0, kini muncul organisasi lain yang disinyalir juga meminta jatah menteri.
Organisasi Islam yang melahirkan sosok Ma’ruf Amin, Nahdlatul Ulama (NU), disebut-sebut akan mendapatkan porsi kabinet. Bahkan, sinyal bahwa NU ingin mendapatkan posisi-posisi strategis dalam pemerintahan tersebut pernah dilontarkan oleh Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) Said Aqil Siradj.
Pada awal 2019 lalu, Said Aqil menyatakan bahwa peran-peran penting perlu dipegang oleh NU, seperti menteri agama. Menurutnya, dengan memegang peran-peran tersebut, NU dapat menjaga kaidah Islam Nusantara di Indonesia.
Mungkin, Said Aqil melihat keinginan tersebut semakin nyata dapat terjadi usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadikan Jokowi-Ma’ruf sebagai paslon yang terpilih dalam Pilpres 2019. Tak ingin ketinggalan dari parpol-parpol lain, Ketua PBNU tersebut turut melontarkan kemungkinan NU untuk mendapatkan posisi-posisi strategis. Bahkan, NU dinilai siap bila mendapatkan jatah di luar Menag.
Namun, teguran datang dari salah satu sosok NU lain, yaitu Yenny Wahid. Putri dari presiden keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut mengingatkan petinggi-petinggi NU untuk kembali pada Khittah NU 1926 yang menjadi dasar organisasi tersebut agar tak terikat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan lain.
"Saya selalu mengatakan bahwa NU bukan partai politik. Tapi NU harus ikut membangun nasionalisme, kebangsaan dengan politik nasional, bukan politik praktis, bukan politik jabatan" – Buya @saidaqil #AkalSaidAqil #OpsiMetroTV @Metro_TV @OpsiMetroTV
— Bawang Telur (@mmuzaqi_) March 25, 2019
Dengan teguran Yenny tersebut, beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Bagaimanakah sejarah NU hingga berujung pada adanya Khittah NU 1926? Lalu, mengapa NU tetap dianggap layak mendapatkan posisi-posisi strategis di kabinet kedua Jokowi meskipun ada Khittah tersebut?
Khittah NU 1926
Dalam sejarah panjang NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, politik turut memainkan peran. Namun, sejarah juga mencatat bahwa beberapa elemen internal NU tidak menghendaki organisasi ini untuk terlibat dalam politik.
NU memang pernah terlibat dalam dinamika politik Indonesia. Keterlibatannya yang paling terlihat adalah ketika organisasi tersebut memisahkan diri dari partai Islam besar Masyumi pada tahun 1952 dan terlibat dalam Pemilu 1955.
Robin Bush dalam bukunya yang berjudul Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia menjelaskan bahwa dorongan internal NU agar kembali pada fungsi sosial dan keagamaannya ini telah muncul sejak tahun 1959 dan semakin memuncak pada periode awal dekade 1980-an akibat perkembangan politik eksternal dan internal pada pertengahan dekade 1970-an.
Pasalnya, internal Partai Persatuan Pembangunan – partai fusi dari partai-partai Islam – mulai mengalami perpecahan antara NU dan Parmusi atas berbagai isu dan kebijakan pemerintahan Soeharto yang berujung pada marginalisasi NU dalam PPP. Belum lagi, perbedaan pendapat turut mewarnai tubuh internal NU antara kubu Cipete yang dipimpin oleh Idham Chalid dan kubu Situbondo yang dipimpin oleh As’ad Syamsul Arifin.
Bush pun menjelaskan bahwa konflik internal NU ini memunculkan generasi baru yang sebagian besar merupakan cucu dari pendiri-pendiri NU, seperti Gus Dur, Masdar Mas’udi, Mahbub Djunaidi, dan lain-lain.
Sosok-sosok intelek yang disebut oleh Bush sebagai Kelompok G ini lah yang menjadi cikal bakal bagi Gerakan Kembali ke Khittah 1926 yang meminta para pemimpin NU untuk menarik organisasinya dari urusan politik. Puncak dari gerakan ini terjadi pada Muktamar NU ke-27 pada tahun 1984 yang berhasil memberikan tiga keputusan. Salah satunya adalah untuk mengembalikan NU pada khittah-nya.
Namun, Bush menilai kemenangan kelompok ini di NU juga menggambarkan kompleksitas dalam tubuh organisasi tersebut. Pasalnya, partai baru yang basis suaranya sebagian besar dari NU – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – turut berdiri pada tahun 1998. Apalagi, salah satu sosok Kelompok G, Gus Dur, turut mengincar jabatan presiden.
Dilema NU atas keterlibatannya dalam politik tampaknya masih berlangsung hingga sekarang. Dalam Pilpres 2019 lalu, NU sendiri turut tertarik dalam dinamika kontestasi antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno – di mana beberapa petinggi NU secara terbuka mendukung paslon nomor urut 01.
Jatah Menteri NU
Bentuk dukungan NU pada Jokowi-Ma’ruf tampaknya bukan tanpa imbalan. Pasalnya, beberapa petinggi organisasi tersebut turut memberikan sinyal pada sang presiden untuk memberikan jatah menteri kepada NU.
Pemberian jatah menteri ini lah yang dapat disebut sebagai patronase politik. Menurut Daniel Baracskay, salah satu bentuk dari patronase politik adalah pemberian posisi-posisi pemerintahan dengan dasar kesetiaan partisan. Dalam arti lain, pemberian posisi-posisi tersebut merupakan bentuk penghargaan pada pihak-pihak yang membantu kandidat terpilih dalam suatu Pemilu.
Bentuk patronase semacam ini juga dikenal dengan istilah spoils system. Dalam sistem ini, menurut Roy Gardner dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Spoils System, pemenang akan membagikan spoils – posisi-posisi pemerintahan yang dapat dialokasikan – pada koalisinya.
Bisa jadi, Said Aqil ingin mengingatkan Jokowi mengenai sumbangsih besar yang diberikan oleh NU terhadap kemenangannya dalam Pilpres 2019. Seperti yang dikatakan Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU (PWNU) Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali), dukungan NU yang menjadi faktor utama kemenangan Jokowi menjadi dasar bagi organisasi Islam tersebut untuk meminta jatah tambahan.
Apa yang dikatakan oleh Gus Ali bisa saja beralasan. Pasalnya, NU memang dinilai memiliki kontribusi besar bagi kemenangan Jokowi-Ma’ruf.
Naila Shofia dari Bocconi University dan Tom Pepinsky dari Cornell University dalam tulisan mereka di New Mandala berusaha mengukur kontribusi suara NU bagi Jokowi-Ma’ruf. Apalagi, Ma’ruf sendiri merupakan figur yang berasal dari organisasi tersebut.
Shofia dan Pepinsky menjelaskan bahwa NU tidak memberikan keuntungan pada Jokowi. Namun, sumbangsih basis suara organisasi tersebut lebih pada menutup kekurangan yang dimiliki Jokowi di kalangan NU yang terlihat pada Pilpres 2014.
Hasil tersebut semakin menunjukkan bahwa Ma’ruf memberikan bantuan yang penting bagi Jokowi. Penelitian yang dilakukan Shofia dan Pepinsky tersebut menjelaskan Jokowi berhasil mengambil suara – yang sebelumnya tidak didapatkannya pada tahun 2014 – dari wilayah-wilayah yang didominasi oleh NU dan masyarakat Jawa.
Dengan peran Ma’ruf yang dianggap penting tersebut, Shofia dan Pepinsky pun mempertanyakan mengenai bagaimana NU akan membentuk dinamika politik dalam Jokowi 2.0. Mungkin, usulan jatah menteri NU ini lah yang dapat menjadi jawaban bagi pertanyaan Shofia dan Pepinsky.
Bisa jadi, dengan besarnya kontribusi tersebut, NU ingin kembali mengincar posisi Menag yang beberapa kali Said Aqil lontarkan. Seperti yang dijelaskan oleh Martin van Bruinessen dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Ulama and Politics, NU selalu mengisi jabatan tersebut sejak tahun 1951 hingga tahun 1971.
Menariknya lagi, adanya upaya untuk mengincar posisi-posisi kabinet oleh NU ini bisa saja merupakan bentuk manuver dari PKB yang disebut-sebut tengah menggenggam organisasi tersebut. Jika kita tilik kembali tulisan Greg Fealy dari Australian National University (ANU) pada tahun 2018 di New Mandala, keterkaitan NU dan PKB semakin erat – mengingat adanya penetrasi PKB terhadap kepemimpinan NU.
Ketum PKB Muhaimain Iskandar (Cak Imin) sendiri mengakui sempat menemui Ma’ruf guna membahas jatah menteri. Selain itu, partainya bisa saja juga mendapatkan porsi lebih besar dengan adanya permintaan PKB untuk memisahkan jatah menteri partainya dengan NU. PPP sendiri tampaknya keberatan dengan adanya jatah menteri untuk NU.
Tentunya, gambaran dinamika politik ini belum dapat terlihat secara jelas. Semua penentuan jatah menteri ini tetap kembali ke keputusan Jokowi sendiri.
Namun, jika benar begitu, lirik rapper Logic pun menjadi relevan. Petinggi-petinggi di NU berinovasi dengan organisasinya melalui permintaan atas posisi-posisi politik di pemerintah tanpa memedulikan khittah-nya yang seharusnya melepaskan organisasi tersebut dari kontestasi politik. (A43)