HomeNalar PolitikJokowi dan Dikotomi Palsu Harga BBM?

Jokowi dan Dikotomi Palsu Harga BBM?

Di tengah turunnya harga minyak dunia dalam tiga bulan terakhir, Presiden Jokowi mendapatkan sorotan tajam karena tidak kunjung menurunkan harga BBM. Padahal, di tengah pandemi Covid-19, penurunan harga BBM dinilai dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Lantas, mengapa kebijakan tersebut tidak diambil?


PinterPolitik.com

Dengan derasnya pemberitaan tentang pandemi virus Corona (Covid-19) dalam tiga bulan terakhir, banyak pihak luput memperhatikan bahwa harga minyak mentah dunia juga tengah turun drastis seiring dengan merebaknya Covid-19 di berbagai penjuru negara. Tidak tanggung-tanggung, dengan harga yang bahkan mencapai US$ 0 per barel, ini merupakan penurunan terbesar sepanjang sejarah.

Jeli akan hal tersebut, pada 20 April lalu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon telah membuat rangkaian cuitan yang berisi kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang belum menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), padahal telah menjanjikannya pada 18 Maret lalu.

Pada Maret lalu, Presiden Jokowi memang telah membuka rapat terbatas (ratas) dengan topik pembahasan harga gas dan BBM di Istana Merdeka, Jakarta guna merespons harga minyak dunia yang tengah mengalami penurunan.

Di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), physical distancing, ataupun penerapan local lockdown di berbagai daerah yang menyebabkan aktivitas ekonomi mati suri, penurunan harga BBM dinilai dapat menjadi bantuan sosial tidak langsung karena efeknya yang dapat menurunkan harga pangan, terlebih bulan Ramadan akan segera tiba.

Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga turut mendorong penurunan harga BBM karena menurutnya, itu dapat membantu menurunkan tingkat inflasi dan menjadi kompensasi kenaikan harga komoditi lainnya.

Selain itu, dorongan tersebut juga mengacu pada negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia yang telah merespons penurunan harga minyak mentah dunia dengan menurunkan harga BBM. Terkhusus Vietnam, penurunan harga bahkan telah dilakukan sejak akhir Januari lalu.

Menyikapi berbagai kritik atas belum turunnya harga BBM, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati telah memberikan jawaban bahwa penentuan harga bukan merupakan wewenang dari Pertamina, melainkan dari pemerintah pusat. Dengan kata lain, Nicke hendak menegaskan bahwa penurunan harga minyak dunia tidak serta merta akan berimbas pada penurunan harga BBM dalam negeri.

Seperti dalam sasaran kritik Fadlin Zon, perihal turunnya harga BBM merupakan pertanyaan yang harus ditujukan kepada Presiden Jokowi selaku pemegang kuasa. Lantas pertanyaannya, di tengah desakan penurunan tersebut, mengapa mantan Wali Kota Solo tersebut belum menurunkan harga BBM?

Relasi Harga BBM dengan Pangan

Richard Heinberg dalam tulisannya How Oil Prices Affect the Price of Food menyebutkan terdapat relasi sistemis antara harga minyak dunia dengan harga pangan. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena aktivitas produksi dan distribusi pangan sangat bergantung pada BBM.

Akan tetapi, dalam penelitian Daniel Francois, Kazeem Abimbola Sanusi, dan Adewale Hassan yang berjudul Analysis of the Asymmetric Impacts of Oil Prices on Food Prices in Oil-Exporting Developing Countries menyebutkan bahwa relasi sistemis antara harga minyak dan pangan adalah asimetris. Pasalnya, kendati ditemukan kenaikan harga minyak dapat menaikkan harga pangan. Namun penurunan harga minyak tidak serta merta menurunkan harga pangan – khususnya dalam waktu jangka panjang.

Lalu, dengan adanya pandemi Covid-19 dan bulan Ramadan, kondisi tersebut tampaknya akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memainkan harga pangan demi meraih keuntungan.

Dengan kata lain, penilaian bahwa penurunan harga BBM yang kemungkinan besar tidak akan berimbas pada penurunan harga pangan, sepertinya menjadi dalih pemerintah untuk tidak melakukan penurunan harga BBM.

Terlebih lagi, dengan adanya work from home (WFH), konsumsi BBM disebut tengah mengalami penurunan secara drastis, khususnya di Jakarta yang mencapai 59 persen. Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati bahkan menyebutkan bahwa kondisi ini adalah penjualan terendah sepanjang sejarah Pertamina.

Positif untuk Indonesia?

Media asal Singapura Straits Times dalam publikasinya telah menyebutkan bahwa turunnya harga minyak mentah dunia sepertinya merupakan berkah tersendiri bagi Indonesia.

Mengutip pernyataan Dirjen Migas Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral)  Ego Syahrial, penurunan harga minyak mentah dunia tersebut telah dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan domestik tanpa memperbesar defisit perdagangan negara. Singkat kata, alih-alih menurunkan harga BBM, kondisi ini dimanfaatkan untuk membeli stok minyak sebanyak mungkin.

Atas tujuan tersebut, pemerintah disebut telah menyewa tiga kapal tanker guna menyimpan bahan bakar. Menurut Nicke, Pertamina memang berencana untuk menggunakan penyimpanan yang dimiliki oleh pemerintah, seiring dengan upaya untuk mengimpor lebih banyak minyak.

Melihat track record-nya, sebenarnya tidak kali ini saja Presiden Jokowi tidak menurunkan harga BBM kendati harga minyak dunia tengah mengalami penurunan. Mungkin publik masih ingat, di awal kepemimpinannya pada 2014 lalu, mantan Wali Kota Solo tersebut juga dikritik oleh banyak pihak karena justru menaikkan harga BBM di tengah turunnya harga minyak dunia.

Menteri Keuangan pada waktu itu, Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa putusan tersebut diambil untuk tujuan mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti infrastruktur dan kedaulatan pangan. Menurutnya, pengalihan subsidi tersebut membuat akan ada lebih dari Rp 100 triliun dana yang dialihkan untuk sektor produktif.

Mengacu pada strategi pada 2014 lalu, besar kemungkinan hal serupa juga tengah diterapkan saat ini. Terlebih lagi, dengan adanya pandemi Covid-19 yang membutuhkan banyak dana, pemerintah tentu dapat mengalihkan subsidi BBM untuk menambah dana penanganan Covid-19 atau sektor lainnya.

Tidak hanya di Indonesia, menurut Kenneth Rogoff dalam tulisannya What’s Behind the Drop in Oil Prices?, strategi serupa juga pernah dilakukan di berbagai negara seperti Tiongkok dan India yang justru mengambil keuntungan dari penurunan harga minyak dunia untuk mengurangi subsidi pada konsumsi bahan bakar dan dengan demikian memperkuat posisi fiskal negaranya.

Mengacu pada Rogoff, rasionalisasi yang menyebutkan penurunan harga minyak dunia harus dibarengi dengan penurunan harga BBM domestik sepertinya telah terbantahkan.

Dikotomi Palsu

Tidak hanya telah menggugurkan rasionalisasi tersebut, nyatanya pada persoalan desakan penurunan harga BBM tersebut juga telah terjadi kesesatan bernalar yang disebut dengan false dichotomy atau dikotomi palsu.

Dikotomi palsu terjadi ketika terdapat dua pilihan yang bertentangan seolah harus diambil salah-satu, padahal pilihan alternatif masih tersedia di luar sana. Singkat kata, dikotomi palsu menciptakan kondisi sulit bagi pengambil keputusan karena pilihan-pilihan alternatif lainnya dihilangkan.

Pada konteks penurunan harga BBM, seolah telah terbentuk dikotomi bahwa Presiden Jokowi harus memilih opsi antara menurunkan harga BBM yang pro rakyat; atau dengan tidak menurunkan, yang mana itu dimaknai sebagai pro ekonomi. Padahal, kedua pilihan yang seolah bertentangan tersebut dapat diambil sekaligus.

Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas ekonomi mati suri, terdapat banyak tuntutan agar pemerintah memperbesar skala bantuan sosial. Masalahnya, bukankah bantuan sosial tersebut membutuhkan dana? Dengan kata lain, seperti yang disebutkan oleh Rogoff, bukankah dengan tidak menurunkan harga BBM, itu dapat menambah keuangan negara yang kemudian dapat dialokasikan untuk memberikan bantuan sosial?

Apalagi, di tengah situasi PSBB yang telah memangkas arus transportasi, konsumsi BBM telah mengalami penurunan secara drastis. Artinya, itu membuat kebutuhan masyarakat akan BBM menjadi tidak sepenting sebelumnya.

Pada akhirnya, alih-alih melihat secara satu sisi kebijakan Presiden Jokowi yang belum menurunkan harga BBM, terdapat sisi lain yang mana kebijakan tersebut justru dilakukan demi memberikan angin segar bagi keuangan negara di tengah pandemi Covid-19. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...