Jokowi seperti sedang melakukan bunuh diri politik melalui rangkaian kesalahannya.
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]ahun 2016 boleh jadi akan dicatat sebagai salah satu tahun terbaik untuk comeback dalam olahraga basket, atau mungkin olahraga secara umum. Kala itu, Golden State Warriors membuang keunggulan yang cukup aman 3-1 dan takluk di hadapan Cleveland Cavaliers dengan skor 4-3 pada final NBA.
Warriors menjadi tim pertama dalam sejarah NBA yang kehilangan keunggulan dari skor 3-1. Terlepas dari penampilan Cavaliers yang gemilang, Warriors juga tidak luput dari kesalahan. Kesalahan demi kesalahan ini membuat Warriors masuk dalam sejarah NBA untuk rekor yang tidak diinginkan.
Kini, cerita tentang melepas keunggulan telak berpotensi terjadi di tahun 2019. Arenanya bukan lagi lapangan basket, tetapi dalam gelaran Pilpres 2019. Joko Widodo sebagai petahana memang oleh banyak pihak difavoritkan akan menang mudah pada gelaran tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui hasil survei yang hampir semuanya ia rajai.
Meski demikian, keunggulan telak ini bisa saja terbuang sia-sia. Hal ini terjadi karena sang petahana cukup rajin melakukan blunder atau kesalahan sendiri. Kondisi ini membuat keunggulannya yang begitu nyaman di meja survei bisa saja hilang dalam sekejap.
Rentetan Kesalahan
Siapa pun tentu tidak luput dari kesalahan. Akan tetapi, kesalahan demi kesalahan di dalam politik memiliki potensi memberi petaka. Apalagi, jika rentetan kesalahan itu dilakukan di masa krusial saat menjelang Pemilu.
Jokowi misalnya saat ini disebut-sebut tengah melakukan blunder yang cukup fatal. Kandidat petahana tersebut seperti melakukan kampanye negatif terhadap dirinya sendiri lewat rangkaian penolakan terhadap gerakan #2019gantipresiden.
Sikap berlebihan melarang diskusi2 dan gerakan 2019 ganti presiden adalah "kampanye" terburuk buat incumbent… Dan ini bukan gaya khas seorang @jokowi ketika sedang bertarung… Entah gaya siapa…
— Yunarto Wijaya (@yunartowijaya) August 26, 2018
Banyak yang mengganggap munculnya massa dan keterlibatan aparat dalam penolakan gerakan tersebut adalah kampanye terburuk bagi Jokowi. Posisi itu disematkan kepadanya karena sebagai pemimpin di negara ini, akses kekuasaan terhadap aparat penegak hukum adalah keuntungan politik yang dimilikinya. Langkah tersebut dapat menimbulkan rasa simpati masyarakat bagi kubu oposisi dan pendukung gerakan #2019gantipresiden, sehingga bisa mengurangi elektabilitas Jokowi.
“Kampanye” negatif tersebut seperti melengkapi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sang petahana. Jokowi sebelumnnya sudah menjadi bulan-bulanan kelompok-kelompok pro toleransi dan pluralisme saat mengumumkan nama Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya di Pilpres 2019.
Jokowi juga seperti tengah menyandera diri sendiri dengan tidak ditetapkannya gempa Lombok sebagai bencana nasional. Keengganan pemerintah untuk menetapkan status tersebut membuat mereka begitu disorot dan dianggap tidak peka terhadap penderitaan masyarakat di sana.
Kinerja Kabinet Kerja juga belakangan tercemar. Menteri Sosial Idrus Marham dari Partai Golkar menjadi menteri pertama Jokowi yang jadi tersangka KPK. Padahal, selama ini Kabinet Kerja sudah bekerja keras untuk menjaga citra bersih.
Banyak yang menyebut bahwa rangkaian kesalahan tersebut sama sekali tidak menggambarkan gaya berpolitik Jokowi. Mereka menganggap berbagai kekeliruan dalam melangkah tersebut amat terkait dengan pengaruh elite-elite partai politik di lingkar koalisi Jokowi.
Lawan diuntungkan oleh kesalahan-kesalahan kubu Jokowi. Share on XJika benar langkah-langkah blunder Jokowi ini karena ulah-ulah elite partainya, maka kondisi ini sejalan dengan pernyataan David J. Samuels dan Matthew S. Shugart. Samuels dan Shugart menyebutkan bahwa partai politik akan berusaha untuk mengendalikan kandidat mereka.
Upaya pengendalian oleh partai ini boleh jadi menguntungkan mereka, tetapi langkah tersebut memberi kerugian besar bagi Jokowi. Hasrat berlebih partai ini membuat Jokowi tampak secara perlahan kehilangan keuntungannya sebagai kandidat petahana.
Bunuh Diri Politik
Blunder demi blunder ini jelas merugikan bagi petahana. Kubu oposisi yang digawangi oleh Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno seperti tidak harus bekerja keras untuk menyerang Jokowi. Sang presiden seolah sudah terlebih dahulu menyerang dirinya sendiri, sehingga terlihat sangat rapuh.
Padahal, selama ini Jokowi dianggap sebagai petahana dengan posisi yang cukup solid. Namanya kerapkali berada di urutan teratas survei elektabilitas. Tidak hanya itu, survei-survei itu juga menyebut bahwa mayoritas masyarakat puas akan kepemimpinannya. Meski begitu, keunggulan ini dirusak oleh kecerobohan kubunya sendiri.
Rentetan kesalahan tersebut seperti sebuah bunuh diri politik bagi Jokowi. Bunuh diri politik yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah bunuh diri dengan sebutir peluru atau segelas racun. Bunuh diri politik ini juga bukan meledakkan diri ala kelompok teroris yang memiliki intensi politik.
Political suicide atau bunuh diri politik dalam konteks ini adalah sebuah konsep di mana seorang politisi atau partai politik yang kehilangan dukungan dari publik dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan dirinya atau posisinya sebagai status quo. Istilah seperti ini digunakan misalnya oleh Harry J. Kazianis saat menggambarkan kebijakan Donald Trump.
Langkah bunuh diri politik ini dapat menjadi semacam kutukan petahana bagi Jokowi. Dalam konteks ini, alih-alih ia berhasil memanfaatkan keuntungannya sebagai petahana, ia justru kehilangan keuntungannya tersebut karena kesalahannya sendiri.
Secara konsep, kehilangan keuntungan sebagai petahana ini bisa disebut sebagai anti-incumbency. Istilah ini banyak digunakan di India untuk menggambarkan kesulitan kandidat-kandidat petahana untuk mengejar masa jabatan kedua. Istilah ini disebutkan misalnya oleh Nirmala Ravishankar. Ravishankar menyebutkan bahwa orang yang berkuasa memiliki kesulitan tersendiri.
Memang, tren anti-incumbency tidak pernah terjadi untuk kursi eksekutif tertinggi di Indonesia. Meski demikian, tren petahana yang gagal terpilih untuk kedua kalinya banyak terjadi di negara berkembang. Fenomena ini ditangkap misalnya oleh Alexander Lee dari University of Rochester.
Sebagai negara berkembang, bukan tidak mungkin tren tersebut akan tiba di Indonesia. Apalagi, Jokowi – dan elite-elite di sekelilingnya – melakukan banyak kesalahan setara bunuh diri politik, sehingga mereka seperti membangun sendiri anti-incumbency-nya.
Kegagalan Petahana
Kegagalan untuk memanfaatkan keunggulan sebagai petahana ini pernah terjadi di negara tetangga, Malaysia. Pada Pemilu Malaysia 2018, Najib Razak dan Barisan Nasional (BN) disebut-sebut masih menjadi kandidat favorit utama. Apalagi, saat itu koalisi yang dipimpin Najib ini hanya membutuhkan minimal 16,5 persen dari popular vote untuk dapat kembali berkuasa.
Keuntungan Najib sebagai orang berkuasa sebenarnya cukup mewah. Bagaimana tidak, koalisi yang dipimpinnya sudah berkuasa dan tak terkalahkan di Malaysia sejak tahun 1975. Hal ini membuat BN dan Najib di atas kertas seharusnya sulit untuk dikalahkan.
Petahana JKW berpeluang besar menang pemilu 2019. Peluang untuk kalah tidak ditentukan oleh kerja keras lawannya. Tapi kecerobohan2 di kubu JKW sendiri. Dalam beberapa minggu terakhir, peluang kalah itu membengkak semakin besar.
Di sini RI mirip Malaysia, Australia, atau Jerman
— Ariel Heryanto (@ariel_heryanto) August 26, 2018
Meski memiliki keuntungan, nyatanya Najib harus tersingkir dari kursi Perdana Menteri Malaysia. Dalam Pemilu yang disebut-sebut mengejutkan, Mahathir Mohamad dan Pakatan Harapan berhasil mencongkelnya dari kekuasaan tertinggi negeri jiran. Kegagalan Najib ini disebut-sebut akibat kesalahannya sendiri, terutama dalam kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB).
Najib seperti menggali sendiri kuburannya sendiri dengan melakukan mega skandal tersebut. Kursi kabinet yang telah ia rengkuh dengan nyaman sejak tahun 2009 harus kandas karena kesalahannya sendiri. Kleptokrasi menjadi mimpi buruk bagi kepemimpinan Najib.
Terlihat bahwa keuntungannya sebagai petahana sejak tahun 2009 tidak mampu ia manfaatkan dengan baik. Kini, alih-alih berkuasa untuk periode ketiga, ia harus terusir dari kursi kesayangannya dan bahkan dihantui oleh kasus hukum.
Saat ini, Jokowi memang tidak melakukan mega skandal kleptokrasi serupa dengan Najib. Akan tetapi, berbagai kecerobohannya bisa saja terus menggelending, membesar, dan menjadi bola masalah yang bisa menyulitkan drinya serupa dengan kasus yang menimpa Najib.
Sebagai petahana, idealnya Jokowi bisa meredam kecerobohannya yang belakangan terjadi terus-menerus. Apalagi, jika kesalahan ini benar-benar dipengaruhi oleh elite-elite politik di sekelilingnya. Jika gagal, Jokowi bisa saja membuang keunggulan sebagai petahana dan akan masuk buku rekor yang kurang baik serupa dengan Golden State Warriors. (H33)