Site icon PinterPolitik.com

Jokowi dan Bayang Kontrol WhatsApp

Jokowi dan Bayang Kontrol WhatsApp

Presiden Jokowi (kiri) dan Pendiri Facebook Mark Zuckerberg (kanan) (Foto: Merdeka)

Baru-baru ini aplikasi pesan instan WhatsApp menuai polemik setelah menggulirkan wacana pembaruan kebijakan pengguna. Masalahnya, pembaruan tersebut dianggap dapat mengancam keamanan data pribadi pengguna. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Bagi para pengguna layanan pesan instan WhatsApp pasti telah menerima pemberitahuan terkait pembaruan syarat dan ketentuan bagi pengguna. Isi notifikasi itu bahkan sedikit bernada mengancam lantaran WhatsApp menyebut pengguna harus mengotorisasi pembaruan itu sebelum 8 Februari 2021 untuk dapat terus menggunakan layanan tersebut. 

Ada tiga hal krusial yang disampaikan WhatsApp terkait pembaruan ini, yakni cara mereka memproses data pengguna, cara bisnis menggunakan layanan yang di-hosting oleh Facebook untuk menyimpan dan mengelola data percakapan, hingga yang berkaitan dengan mitra untuk menawarkan integrasi produk.

Terkait dengan permintaan persetujuan ini, pengguna menaruh perhatian pada kebijakan layanan yang di-hosting oleh Facebook. Banyak yang khawatir bila diotorisasi, pengguna berarti memberikan persetujuan kepada perusahaan besutan Mark Zuckerberg itu untuk mengakses data pribadi dalam WhatsApp yang selama ini dilindungi oleh teknologi enkripsi end-to-end

Terkait dengan hal itu, WhatsApp sendiri telah memberikan klarifikasinya. Mereka menegaskan bahwa pada kebijakan privasi dan persyaratan layanan baru ini tetap digunakan sistem enkripsi secara end-to-end, sehingga akses percakapan pribadi pengguna tidak dapat diakses oleh WhatsApp dan Facebook.

Kendati begitu, pembaruan kebijakan privasi WhatsApp ini terlanjur menuai polemik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) beberapa waktu lalu juga telah memanggil pihak Facebook dan WhatsApp regional Asia-Pasifik untuk meminta penjelasan.

Dalam pertemuan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate meminta pihak WhatsApp transparan terkait kebijakan baru yang berlaku ini, termasuk membeberkan apa saja jenis-jenis data pribadi yang dikumpulkan, diproses oleh WhatsApp, dan dibagikan kepada pihak ketiga. 

Selain itu, politikus Partai NasDem tersebut juga berharap mereka dapat memberikan penjelasan konkret kepada para penggunanya di Indonesia terkait tujuan dan dasar dari pemrosesan data pribadi tersebut.

Menyikapi polemik ini, mengapa kiranya WhatsApp dan Facebook mengeluarkan kebijakan pembaruan tersebut? Lalu jika memang benar pembaruan ini memungkinkan Facebook untuk mengakses data pengguna WhatsApp, apa kira-kira konsekuensi yang akan terjadi?

Alat Propaganda Mumpuni?

Pada akhir 2017 lalu, WhatsApp mengumumkan bahwa mereka telah mengumpulkan total 2 miliar pengguna di seluruh dunia. Bahkan pertumbuhan pengguna WhatsApp kala itu mencapai 500 juta pelanggan baru dalam dua tahun terakhir. 

Di Indonesia sendiri, WhatsApp juga merupakan aplikasi pesan instan yang paling banyak digunakan masyarakat. Menurut data Digital Report 2019 dari We Are Social dan Hootsuite, mencatat 83 persen pengguna internet di Indonesia atau sebanyak 143 juta orang merupakan pengguna WhatsApp.

Berkembang pesatnya WhatsApp sebagai salah satu penyedia layanan pesan instan terkemuka di dunia disebabkan karena teknologi enkripsi end-to-end yang mereka usung. Teknologi tersebut memastikan bahwa semua konten dalam obrolan dijamin keamanannya. Bahkan WhatsApp tidak dapat membaca pesan atau mendengarkan panggilan yang terjadi di antara para peserta percakapan. 

Kendati demikian, terciptanya ruang privasi tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi sejumlah kalangan. Tak sedikit yang khawatir bahwa WhatsApp dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. 

Nic Dias dalam tulisannya yang berjudul The Era of WhatsApp Propaganda Is Upon Us pernah memprediksi bahwa suatu hari nanti WhatsApp akan menjadi alat propaganda di dunia maya, menggantikan peran media sosial. Menurutnya, hal ini terjadi seiring dengan mulai menurunnya popularitas Facebook dan Twitter sebagai sumber informasi. 

Untuk membuktikan prediksinya itu, Nic menukil Survei YouGov pada tahun 2017 yang melibatkan 70.000 orang di 36 negara sebagai responden. 

Hasil dari survei tersebut menyebutkan bahwa 23 persen responden mengakui memanfaatkan layanan pesan instan untuk mencari, berbagi, dan mendiskusikan berita. Di negara-negara Asia dan Amerika Latin seperti Malaysia dan Brasil, angka itu bahkan mendekati 50 persen. 

Perangkap Dilema Keamanan?

Nic menyebut layanan pesan instan seperti WhatsApp lebih digemari sebagai forum diskusi lantaran memberikan ruang privat yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun di saat yang sama hal ini berpotensi membuat WhatsApp menjadi sumber misinformasi dan disinformasi. 

Dua sisi mata uang tersebut kiranya menggambarkan fenomena yang disebut dengan dilema keamanan digital. Fenomena tersebut terjadi ketika urgensi untuk melindungi data pribadi berbenturan dengan kepentingan untuk menjaga keamanan dan stabilitas suatu kawasan. 

Dave Weinstein dalam tulisannya di Wall Street Journal pernah mengatakan bahwa privasi dan keamanan dalam konteks digital merupakan diskursus tak berujung. Menurutnya, pilihan mana yang lebih penting tergantung dari sisi mana seseorang memandang fenomena tersebut. 

Weinstein misalnya mencontohkan ketika  tengah menginvestigasi kasus peretasan oleh hacker ulung, dirinya akan cenderung membela hak-hak privasi. Namun ketika Ia sedang berada di kantor polisi dan menemukan sebuah kabinet berisi telepon genggam sebagai barang bukti, dirinya tak bisa menyangkal bahwa teknologi untuk menjamin privasi seperti enkripsi memang menyulitkan aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya. 

Fenomena dilema keamanan digital ini pun dapat dibuktikan dari sentimen minor dunia terhadap teknologi enkripsi WhatsApp demi alasan keamanan. Di India, pemerintah setempat bahkan telah menyerukan regulasi yang memberikan akses ke data terenkripsi. Di Australia dan Inggris, undang-undang serupa juga sedang dibahas.

Adanya dilema keamanan digital ini kemudian bisa saja memicu Facebook untuk melakukan intervensi dengan mulai mengontrol data-data para pengguna WhatsApp lewat pembaruan privasi tersebut. Ini menjadi masuk akal mengingat Facebook merupakan salah satu platform media sosial yang selama ini cukup ketat dalam menyisir informasi-informasi yang diduga palsu. 

Misalnya, pada kuartal I 2019 lalu, Facebook menghapus sekitar 753,7 juta akun palsu demi mempersempit penyebaran hoaks dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan miliknya. Selain itu, perusahaan yang bermarkas di Menlo Park, California, Amerika Serikat (AS) itu juga disebut-sebut merekrut 20 ribu pegawai baru khusus untuk menangani akun palsu.

Namun di sisi lain, kebijakan WhatsApp yang memungkinkan Facebook untuk dapat mengakses data penggunanya bisa juga merupakan strategi mereka untuk mengkapitalisasi big dataBig data atau maha data sendiri merupakan teknik pengumpulan dan penggunaan informasi dari berbagai sumber dalam jumlah besar yang tak memungkinkan untuk disortir secara manual. 

Maha data ini dapat dimanfaatkan untuk membuat keputusan yang lebih baik di berbagai sektor, termasuk untuk mengatasi masalah bisnis yang sebelumnya tidak dapat ditangani. 

Lalu jika Facebook nantinya benar-benar bisa mengakses data pengguna WhatsApp, kira-kira apa konsekuensi yang akan terjadi?

Munculkan Pemerintahan Otoriter?

Terlepas dari apa sebenarnya tujuan di balik pembaruan kebijakan pengguna, namun pemberian akses data WhatsApp kepada Facebook, jika benar-benar akan dilakukan, berpotensi menimbulkan banyak persoalan. Kebijakan ini bisa saja jadi celah bagi pemerintah untuk merenggut ruang private masyarakat. 

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul 21 Challenges in 21st Century pernah memprediksi fenomena munculnya diktator-diktator digital. 

Mengutip pernyataannya yang dimuat di Indian Express, Ia menyebutkan bahwa perkembangan teknologi telah menggoda berbagai pemerintah di seluruh dunia untuk membangun rezim totaliter yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rezim ini akan memantau dan mengendalikan semua orang sepanjang waktu lewat teknologi baru seperti internet. 

Dalam konteks politik Indonesia, kecenderungan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi rezim totaliter jenis baru itu terlihat dari pendekatannya yang selama ini terlihat begitu getol mengontrol aktivitas daring masyarakatnya. Kecenderungan tersebut semakin diperparah jika kita mengingat saat ini, regulasi hukum mengenai perlindungan data pribadi di Indonesia masih belum jelas. 

Tendensi pemerintah tersebut nyatanya kerap mendapat dukungan dari pihak Facebook. Misalnya pada gelaran Pilpres 2019 lalu, di mana pihak WhatsApp dan Facebook memang terkesan begitu kooperatif dengan rezim dalam memberantas hoaks. Ini bisa jadi dipengaruhi oleh sifat pragmatis dari para pebisnis. 

Ian Bremmer dan Preston Keat dalam tulisan mereka yang berjudul The Fat Tail: The Power of Political Knowledge for Strategic Investing mengatakan sifat pragmatis itu dapat mendorong para pebisnis untuk melakukan adaptasi dalam lingkungan politik di suatu negara. Singkatnya, Ia menilai investor yang beroperasi di negara-negara dengan sistem politik yang tak pasti akan selalu beradaptasi dengan jalan mencari aman dengan kecenderungan berdamai dengan rezim.

Kendati demikian, dalam dimensi yang berbeda, pemerintah bisa saja berdalih bahwa tindakan mengendalikan arus informasi di internet diambil demi menjaga keamanan dan stabilitas nasional. Meski itu harus dilakukan dengan menerobos hak-hak privat masyarakat. 

Pada akhirnya, apakah nantinya kebijakan terbaru WhatsApp itu benar-benar akan memberikan akses kepada Facebook  terhadap data pribadi penggunanya hanya lah waktu yang sanggup menjawabnya. Mari berharap saja sekali pun nantinya itu benar-benar akan dilakukan, pemerintah tak akan memanfaatkannya celah ini untuk melangkahi privasi warganya sendiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version