Politik lumrahnya berbicara tentang siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan. Ketepatan waktu dalam mengambil aksi politik akan berbuah pada keputusan politik yang diinginkan.
PinterPolitik.com
Bukan kebetulan kasus penyanderaan besar-besaran warga sipil oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, tepat bersamaan dengan panasnya negosiasi pemerintah dengan PT Freeport Indonesia (PTFI). PTFI, melalui CEO PT Freeport McMoran, Richard Adkerson memang terakhir membantah klaim pemerintah atas kepemilikan 51 persen saham PTFI. Kemarin, (27/11) rapat perundingan antara DPR RI, pemerintah, dan pihak PTFI juga dilangsungkan secara tertutup. (Baca juga: ‘Hukuman’ Jokowi Buat Jonan)
Sementara itu, dekat dengan lokasi bisnis PTFI di daerah Timika, Papua, terjadi sejumlah aksi bersenjata antara penduduk dan aparat sejak dua bulan terakhir. Konflik dipicu oleh KKB yang terlebih dahulu menembaki aparat TNI-Polri di Gunung Sangker Kalibua, Kampung Uktini, Tembagapura pada Oktober lalu. Konflik meluas dengan disanderanya sekelompok masyarakat di dua desa di Timika hingga detik ini.
Kontak Tembak Anggota Brimob Polda Papua dengan KKB di Tembagapura – papua https://t.co/4BmW1q5b5m
— Kobar Papua (@KobarPapua) October 21, 2017
Pemberitaan mengenai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua ini kemudian memasuki babak baru lantaran klaim pihak pemerintah bahwa mereka adalah kelompok politis dengan tujuan-tujuan politis. Ini berarti, KKB saat ini tidak lagi dilihat sebagai organisasi kriminal semata dengan motif ekonomi, namun memiliki dorongan untuk melakukan perubahan politik.
KKB, sebut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, telah menyampaikan tiga buah tuntutan. Pertama, agar Freeport pergi dari Indonesia. Kedua, agar TNI-Polri ditarik mundur dan digantikan dengan tentara perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ketiga, agar masyarakat Papua diberi kebebasan untuk melakukan referendum dan menentukan nasibnya sendiri
Muatan politis yang relevan dengan kondisi Papua saat ini amat sarat di dalam tiga tuntutan tersebut. Lantas, nyatakah tuntutan-tuntutan ini? Mengapa semua aksi dan tuntutan itu tiba-tiba muncul saat ini?
Papua di Era Jokowi
Papua memiliki sejarah panjang sentimen dengan pemerintah pusat. Permasalahan kesenjangan pembangunan, isu rasial, hingga ‘pendudukan’ Freeport yang puluhan tahun didukung Orde Baru menjadi akarnya.
Memasuki era reformasi, pemerintah pusat mendapat tuntutan perlakuan yang berbeda untuk Papua. Tindakan kekerasan dan represi seperti yang terjadi pada Orde Baru, yang kerap menimbulkan kejahatan HAM negara kepada masyarakat Papua, diminimalisir. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian memberikan otonomi khusus, bahkan meminta maaf kepada masyarakat Papua atas kejahatan pemerintah dahulu kepada mereka.
Selanjutnya, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah pemerintahan yang pertama menangani Papua dengan paradigma peace through development atau perdamaian melalui pembangunan. Artinya, pemerintah mulai menyadari adanya konflik di Papua tak jauh dari masalah pembangunan dan kesejahteraan yang rendah di Papua.
Presiden SBY kemudian memberi ‘kado natal’ di tahun 2014, antara lain dengan memberi otonomi khusus plus pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP), hingga peresmian 10 proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah. Presiden SBY juga yang memulai negosiasi divestasi Freeport, hingga pemerintah mendapatkan saham 10 persen pada 2012.
Kini, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan kebijakan-kebijakan pada era SBY tersebut. Saat ini, terlihat semakin banyak lagi pembangunan yang dilakukan di Papua.
Pada 2015, Jokowi menetapkan Merauke sebagai lumbung padi nasional dengan target ekstentifikasi lahan pertanian mencapai 200 juta hektar pada 2018. Jokowi juga memberikan sertifikasi tanah kepada masyarakat adat Papua, suatu kebijakan afirmasi yang semakin menghargai masyarakat Papua.
Kemudian, Jokowi juga mampu menyamakan harga BBM antara Papua dengan wilayah-wilayah lain serta mampu memaksakan penyelesaian pembangunan jalan Trans Papua yang terputus pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Beberapa kebijakan yang ‘mahal’ ini dijalankan dengan satu paradigma, yakni agar Papua merasakan keadilan yang sama. Semua dilakukan Jokowi sekalipun program ini menimbulkan potensi kerugian negara seperti defisit APBN dan kerugian BUMN. (Baca juga: Dilema BUMN, Populisme vs Korporatisme)
Namun, ada satu insiden terkait bisnis Freeport di Papua, yang kemungkinan menjadi preseden negatif terhadap aksi KKB saat ini. Pada Oktober lalu, timbul polemik antara pemerintah dengan pihak PT Freeport McMoran terkait divestasi saham PTFI. Pemerintah dianggap masih gagal menegosiasikan divestasi saham hingga 51 persen yang dijanji-janjikan. Di tengah persepsi positif terhadap pemerintah, kuat dugaan masalah Freeport ini lah yang menjadi akar konflik bersenjata di Papua saat ini.
Kekacauan yang ditimbulkan KKB ini seperti anomali. Serangan-serangan yang dilakukan KKB maupun yang mengambil bentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua sesungguhnya cenderung terus menurun dari tahun ke tahun.
Hanya ada sedikit sekali pemberitaan mengenai penangkapan kriminal maupun milisi OPM akibat kejahatan kepada masyarakat sipil. Itupun hanya dalam skala segelintir orang dan tidak mencapai ratusan orang seperti KKB yang meneror saat ini. Tidak banyak insiden penculikan, penjarahan, sampai pembunuhan yang terjadi setelah tahun 2012.
Artinya, dapat dikatakan, ada konsolidasi politik yang semakin positif di Papua, seiring dengan pembangunan yang terus digenjot di sana. Terlebih saat ini, pertumbuhan positif Papua di era Jokowi sejalan dengan pertumbuhan kepercayaan masyarakat yang mencapai 91% kepada Jokowi, menurut survei Indikator Politik. Aneh bila kemudian separatisme seperti ini justru muncul di tengah citra positif pemerintah.
Maka, dugaan kuat sumber masalahnya berkaitan dengan bisnis Freeport, terlebih melihat lokasi penyanderaannya. Tekanan seperti teror KKB ini bisa jadi adalah alat politik yang lain, melihat Freeport juga menekan pemerintah dengan memecat 8.000 pegawai secara sepihak tanpa pembayaran hak.
Bila akar masalahnya ada pada polemik divestasi saham Freeport, pertanyaannya kepada siapa KKB berpihak? Bila tidak kepada kepentingan nasional, maka kepada kepentingan mereka ataukah kepentingan Freeport?
KKB, Korban Politisasi Freeport
Amerika Serikat dan Freeport sudah tentu menjadi pihak yang perlu dicurigai berada di belakang kekacauan KKB. Bagaimana tidak, beberapa LSM menyebut adanya indikasi yang kuat terkait keterlibatan Amerika Serikat melalui PTFI dalam melakukan bisnis terlarang dengan aparat.
LSM internasional, Global Witness dalam artikel yang berjudul “Paying for Protection” yang diterbitkan tahun 2005 membeberkan fakta bahwa PTFI menggelontorkan jutaan dolar sebagai biaya pengamanan bisnis mereka dari OPM. Biaya ini juga naik setiap tahun sejak tahun 2002.
Gelombang reformasi dan pembebasan politik di Papua diduga membuat PTFI ketakutan akan bangkitnya kekuatan OPM. Lantas, PTFI membayar oknum aparat TNI-Polri, yang kemudian sering menimbulkan kekerasan dan pelanggaran HAM kepada milisi OPM. Di sini, tudingan-tudingan pelanggaran HAM pemerintah Indonesia pada era reformasi, justru didalangi oleh PTFI itu sendiri.
Setelah mendapatkan dosa pemerintah Indonesia, aktor-aktor negara lain kemudian memaksa Indonesia melepas Papua karena alasan HAM ini. Ada setidaknya dua aktor asing yang bermain langsung dalam geopolitik konflik di Papua, yakni Amerika Serikat dan Australia.
Amerika Serikat, pada 2013 bersamaan dengan meningkatnya kampanye Free West Papua di level internasional, menambah 1.150 tentara di pos militer di Darwin, Australia. Pengamat pro-Amerika akan melihat hal ini sebagai cerminan keseriusan AS dalam ‘intervensi kemanusiaan’, walaupun kemudian kita tahu siapa yang justru berada dibalik pelanggaran HAM tersebut.
Sementara itu, terdapat pula laporan-laporan bawah tanah bahwa Australia adalah safe haven tentara OPM yang buron karena menembaki warga sipil. Australia beserta negara Eropa lainnya juga menjadi ‘rumah’ bagi perjuangan masyarakat Papua, yang dikonstruksikan sedemikian rupa melalui kasus-kasus HAM.
Bahkan Inggris—yang notabene adalah pemilik perusahaan Rio Tinto yang menguasai operasional PTFI—sampai memfasilitasi pembentukan International Parliamentarians for West Papua, salah satu organisasi etnis internasional terbesar di dunia besutan Benny Wenda. Australia dan Inggris diduga memimpin diplomasi dan kampanye internasional untuk memerdekakan Papua.
Tak hanya melalui jalur diplomasi, tekanan juga disinyalir dilakukan dari bawah tanah melalui pasokan senjata dari Australia melalui jalur laut dan AS melalui jalur darat Papua Nugini, menurut laporan David H. Capie dalam bukunya Under the Gun: The Small Arms Challenge in the Pacific.
Keengganan TNI-Polri hingga gubernur Papua untuk menyebut pihak mana saja yang memasok senjata—sekalipun telah mengetahuinya—menandakan bahwa pemasok adalah aktor yang begitu kuat. Mungkin lebih kuat dari pemerintah Indonesia sendiri.
Diduga, tiga tuntutan KKB di atas adalah doublespeak semata. Menuntut masuknya prajurit perdamaian PBB, hingga sanksi bagi pemerintah pusat, adalah langkah yang sama yang dilakukan AS untuk menggulingkan pemerintah di Libya, Niger, sampai Sudan Selatan. KKB bisa jadi alat politik AS, untuk menekan pemerintah yang terus dituding melanggar HAM.
Bila tuntutan itu adalah kepentingan AS, maka tekanan menendang Freeport keluar adalah bohong belaka. AS sadar keuntungan besar bisnis Freeport bila Papua merdeka. Pisahnya Papua dari Indonesia tak akan membuat Papua merdeka dari Freeport dan AS.
OPM vs Aparat, Adu Domba Asing
Profesor Noam Chomsky, intelektual terkemuka dunia dari University of Pennsylvania, amat yakin Amerika Serikat bermain dua kaki di Papua, yakni mendukung represi TNI sekaligus juga mendukung kemerdekaan Papua. Ini adalah metode yang sama yang digunakan AS di Timor Timur (Timor Leste sekarang) minus bumbu isu agama.
Ini juga pola berulang yang dilakukan AS di seluruh dunia: mencari dosa pemerintahan yang tak mereka suka, kemudian membuat justifikasi ‘intervensi kemanusiaan’, yang berujung pada pergantian pemerintah dengan yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka.
Di Papua, tujuan utama mereka adalah satu: menyalahkan pemerintah Indonesia dan meraih dukungan internasional kepada Papua. Hambatan regulasi yang melulu dikeluarkan pemerintah pasca-reformasi membuat Freeport harus memutar otak mengamankan bisnis mereka, antara lain dengan cara-cara kotor yang menimbulkan kekacauan seperti ini.
Bila pemerintah Indonesia tak bisa diajak kompromi, memerdekakan Papua adalah jalan terakhir. Membuat Papua lepas dari Indonesia jelas menguntungkan Freeport, terlebih pemerintah Indonesia kini amat getol merebut saham mayoritas perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu.
Laporan bahwa Freeport ‘menyewa’ oknum TNI-Polri di Papua sejak 2002 memang menjelaskan semuanya. Freeport butuh oknum dalam pemerintahan yang tak cukup setia kepada negara sehingga mampu dibeli dengan uang bisnis mereka.
Lalu, mampukah pemerintah menangani konflik KKB ini, mengonsolidasikan kekuatan politik dalam negeri, sekaligus memenangkan negara atas saham mayoritas Freeport? (R17)