[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #13]
Geliat industri berbasis AI memang tengah melanda Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Microsof Indonesia pada 2019 lalu menyebutkan bahwa sekitar 14 persen perusahaan di Indonesia sudah mengadopsi AI untuk menjalankan bisnisnya. Namun, di balik geliat perkembangan kecerdasan buatan ini, nyatanya ada “pertarungan” terselubung antara Amerika Serikat dan Tiongkok untuk mengukuhkan pengaruhnya dalam perkembangan industri AI di Indonesia.
“Indonesia’s strategic location in the Indian Ocean and its control of the Melaka and Sunda Straits made the country exceptionally important for US strategic and security interests in the region.”
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
Pandemi Covid-19 memang belum juga berakhir. Namun, semua negara yang telah terdampak virus ini tengah perlahan tapi pasti berjuang untuk bangkit dari keterpurukan. Berbagai sektor pun mulai kembali bergeliat. Salah satu yang beberapa waktu terakhir mendapatkan sorotan adalah perusahaan-perusahaan rintisan atau start-up, terutama yang bertumpu pada pengembangan Artificial Intelligence (AI).
Sebuah ulasan di South China Morning Post (SCMP) beberapa hari lalu misalnya, secara spesifik menunjuk Indonesia sebagai hub atau penghubung atau portal baru perkembangan industri berbasis AI. Bukan tanpa alasan, industri ini memang tengah menjadi salah satu fokus di Indonesia, utamanya akibat perkembangan sektor seperti ecommerce dan sejenisnya.
Sebagai catatan pada tahun 2019 lalu, ecommerce Indonesia ada di urutan ke-11 terbesar di dunia dengan nilai pasar mencapai US$ 19 miliar atau sekitar Rp 278 triliun. Tokopedia misalnya, adalah salah satu penggerak utama di sektor ini. Sementara start-up lain seperti Gojek dan RuangGuru misalnya juga perlahan tapi pasti merangkak naik menjadi perusahaan berskala global.
Keberadaan tiga perusahaan tersebut memang mengindikasikan bahwa Indonesia sedang ada dalam tahap untuk menggeser ekonomi dan angkatan kerjanya dari resource-based atau bersumber dari sumber daya alam menuju ke knowledge-based atau ekonomi yang bersumber dari ilmu pengetahuan.
Hal inilah yang menyebabkan geliat AI menjadi hal yang menarik untuk disoroti karena berhubungan langsung dengan pertumbuhan intellectual capital alias modal intelektual sebagai basis dari knowledge-based economy tersebut.
Sektor pendidikan di Indonesia juga dianggap menunjang arah perkembangan knowledge-based economy ini karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini diduduki oleh Nadiem Makarim yang nota bene sebelumnya adalah seorang praktisi di industri berbasis AI. Jika tak ada pandemi Covid-19, mungkin publik dapat menyaksikan bagaimana Nadiem akan menuntun pendidikan ke arah knowledge-based economy tersebut.
Walaupun demikian, perkembangan industri berbasis AI ini nyatanya juga punya dimensi geopolitik di belakangnya, terutama terkait perebutan pengaruh. Hal ini lagi-lagi akan melibatkan Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masing-masing memang punya kepentingan atas Indonesia.
Lalu, seperti apa fenomena ini dilihat dari kacamata akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani? Mungkinkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru akan lebih banyak mengambil keuntungan dari geliat persaingan dukungan terhadap pengembangan knowledge-based economy di Indonesia ini?
Saga Tarung Artificial Intelligence
Geliat perkembangan industri AI di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Seperti disinggung di awal tulisan ini, pada tahun 2019 lalu sebuah studi yang dilakukan oleh Microsoft Indonesia menyebutkan bahwa sekitar 14 persen dari total seluruh perusahaan atau organisasi di Indonesia sudah mengadopsi AI.
Pengadopsian kecerdasan buatan ini bisa terjadi di sektor produksi, distribusi, maupun konsumsi. Bahkan, masyarakat Indonesia lambat laun makin bergantung pada banyak aplikasi maupun teknologi yang memanfaatkan AI sebagai basis operasinya, katakanlah mulai dari untuk kepentingan berbelanja, transportasi, dan lain sebagainya.
Saat ini ada sekitar 74 start-up di Indonesia yang berfokus pada pengembangan AI, dengan masih banyak lagi yang saat ini sedang dibangun dan dikembangkan. Beberapa yang cukup terkenal adalah Nodeflux, KoinWorks, Julo dan Kata.ai.
Nodeflux mungkin menjadi salah satu pemain paling besar di industri AI Indonesia. Bekerja sama dengan pemerintah daerah misalnya, Nodeflux ada dalam visi besar pengembangan Jakarta menjadi sebuah smart city alias kota pintar.
Perusahaan ini bahkan sudah mulai mendunia karena telah menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan besar, misalnya dengan NVIDIA untuk proyek-proyek layanan berbasis AI dalam meningkatkan keamanan kota.
Geliat dan lompatan yang akan dialami oleh Indonesia dalam pengembangan AI pada akhirnya memang akan kembali ke persoalan pendidikan itu sendiri sebagai basis knowledge-based economy. Menariknya, banyak negara yang ikut membantu Indonesia di sektor yang satu ini, di antaranya adalah AS dan Tiongkok.
Tiongkok misalnya, disebut memberikan banyak fasilitas yang menunjang perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, mulai dari beragam beasiswa hingga kerja sama antara kampus-kampus di dua negara. Pada Januari 2020 lalu, pemerintah Tiongkok bahkan meningkatkan kuota beasiswa untuk mahasiswa asal Indonesia menjadi 3000 orang.
Jumlah tersebut cukup besar karena mencapai 20 persen dari total 15 ribu lebih mahasiswa Indonesia yang ada di Tiongkok.
Sementara AS, dalam konteks hubungan kerja sama di bidang pendidikan juga unggul karena telah sejak lama memberikan banyak bantuan untuk Indonesia. Bahkan kedua negara punya semacam Science and Technology Cooperation Agreement, lalu University Partnerships program, dan berbagai beasiswa untuk mahasiswa Indonesia.
Fenomena ini memang menunjukkan adanya andil langsung dari dua negara besar tersebut terhadap arah pembangunan Indonesia, katakanlah jika suatu saat akan menuju ke knowledge-based economy tersebut. Namun, saat ini memang tidak ada gesekan berarti di antara dua negara tersebut dalam konteks pembangunan intellectual capital di Indonesia.
Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan suatu saat tarung atau gesekan yang lebih serius bisa saja terjadi, apalagi jika AI sebagai salah satu produk di dalamnya sudah menjadi komoditas yang besar di Indonesia. Sulit dibayangkan, tapi bisa saja terjadi.
Kishore Mahbubani memang sempat menyinggung bagaimana pertarungan antara Tiongkok melawan AS ini juga berawal dari hal-hal yang tidak dibayangkan sebelumnya. Geliat ekonomi Tiongkok misalnya, awalnya juga tidak bisa dilepaskan dari andil tokoh-tokoh seperti ekonom Milton Friedman dari AS yang banyak memberikan masukan untuk kebijakan ekonomi Tiongkok sejak era Deng Xiaoping.
Namun, belakangan, seiring meningkatnya tensi politik dan perang dagang, dua negara tersebut justru terlibat perang dagang, bahkan mulai muncul spekulasi terkait konfrontasi terbuka dengan skala yang lebih besar.
Mahbubani menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh AS ini sebetulnya bisa dianggap sebagai cara untuk mencegah Tiongkok mengambil alih posisi puncak sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Perebutan Pengaruh
Konteks perebutan pengaruh tersebut suatu saat memang akan sangat mungkin terjadi dan menyerempet ke basis isu seperti AI, pun dalam bidang-bidang yang lainnya juga.
Terkait penanganan Covid-19 misalnya, Indonesia memang mulai membuka tangan lebih lebar untuk bekerja sama dengan AS. Berbagai pinjaman keuangan, wacana pemindahan pabrik perusahaan-perusahaan negara tersebut dari Tiongkok ke Indonesia, dan lain sebagainya.
Posisi ini menarik untuk diperhatikan secara khusus, mengingat di periode pertama kekuasaan Presiden Jokowi, Indonesia memang cenderung lebih dekat ke Tiongkok.
Memang tak salah jika menyebut Indonesia kini mencoba mengambil keuntungan dari dua negara ini – selain memang karena politik bebas aktif “mendayung di antara dua karang” yang pernah digariskan oleh Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta, serta “thousand friends zero enemy” yang digariskan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Indonesia boleh jadi sedang gamang menghadapi new normal di tingkatan global. Di tengah fenomena banyak negara yang menjadi lebih ke dalam melihat diri sendiri, sebagai negara yang bergantung dari barang-barang impor asal Tiongkok serta keuangan dan industri energi yang masih bergantung pada kekuatan AS dan Barat, Indonesia memang harus mencari celah memanfaatkan situasi untuk mengambil hal yang positif dari persaingan dua kekuatan tersebut.
Yang jelas, jangan sampai cita-cita knowledge-based economy dengan AI sebagai salah satu pilar utamanya justru kandas hanya karena negara ini tak mampu bersikap atau menempatkan diri di antara AS dan Tiongkok.
Harapannya, Indonesia tak terjebak dalam pertarungan Tiongkok vs AS dan bisa mengupayakan agar katakanlah industri penting seperti AI bisa berkembang dengan lebih baik. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.