Kasus ditemukannya kandungan limbah dalam impor bahan baku industri kertas mengekspos adanya permasalahan regulasi dan pengawasan. Selain menyalahkan negara-negara pengirim sampah, nyatanya aktor domestik juga memiliki peran memanfaatkan celah pembuangan limbah negara lain ke Indonesia – hal yang dulu pernah menjerat politisi kelas atas seperti Setya Novanto.
PinterPolitik.com
Secara hukum, Indonesia memang mengizinkan adanya impor sampah. Bahkan, dapat dibilang bahwa impor sampah memang dibutuhkan karena sampah-sampah ini masih memiliki nilai ekonomis untuk didaur ulang dan diolah menjadi produk baru.
Impor sampah salah satunya dibutuhkan oleh industri kertas domestik yang mengolah berbagai jenis sampah kertas impor guna menyuplai kebutuhan kertas nasional. Permasalahan muncul ketika ditemukan adanya kandungan sampah non-kertas bahkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di dalam kontainer-kontainer yang seharusnya hanya berisikan sampah kertas.
Penemuan ini menimbulkan reaksi keras utamanya dari para aktivis lingkungan. Mereka meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi impor sampah dan menuntut dihentikannya impor sampah setidaknya sampai dibenahinya pengelolaan sampah dan limbah lokal.
Pemerintah merespon dengan memulangkan secara bertahap kontainer-kontainer ilegal kembali ke negara asalnya. Selain itu pemerintah juga mengatakan akan meninjau ulang dan merevisi aturan impor sampah.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mungkinkah benar-benar ada aktor domestik yang mengambil keuntungan dari impor sampah – termasuk bahan berbahaya di dalamnya – ini?
Isu Global
Apa yang dialami Indonesia nyatanya memang juga dialami oleh negara-negara lainnya. Fenomena dibuangnya sampah dan limbah suatu negara ke teritori negara lain mulai mendapat perhatian dan menjadi isu global pada tahun 1980-an. Isu ini bahkan mendorong ditandatanganinya Konvensi Basel pada tahun 1989 guna mengontrol pergerakan dan pembuangan limbah lintas negara.
Maraknya kasus pembuangan limbah lintas negara juga memunculkan istilah baru, yaitu toxic waste colonialism atau kolonialisme limbah beracun. Kolonialisme limbah ini merujuk pada perilaku negara-negara maju, terutama negara barat, yang membuang sampah dan limbahnya, baik melalui jalur resmi seperti impor maupun tidak, ke negara-negara dunia ke-3.
Isu impor sampah dan limbah kembali hangat dibicarakan ketika pada tahun 2018, Tiongkok yang selama ini menyerap hampir setengah sampah plastik global, memutuskan untuk berhenti menerima kiriman sampah, utamanya plasik.
Kebijakan Tiongkok tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan sampah di negara-negara maju yang membuat negara-negara tersebut harus mencari pengganti untuk membuang sampahnya. Asia Tenggara kemudian menjadi salah satu target pembuangan.
Ambil contoh Filipina dan Malaysia yang juga mendapat “kiriman” yang kemudian direspon keduanya dengan mengirim balik sampah dan limbah kiriman tersebut ke negara asal.
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, bahkan menarik duta besar Filipina untuk Kanada dan mengancam akan membuang sampah dan limbah kiriman Kanada ke perairan Kanada sendiri jika pemerintahan Justin Trudeau tidak merespon.
Ada yang Diuntungkan?
Selain adanya celah regulasi dan pengawasan oleh pemerintah, untuk kasus Indonesia para aktivis lingkungan juga menyalahkan industri kertas domestik karena bagaimanapun juga industri inilah yang mengimpor sampah asing ke Indonesia.
Menanggapi tuduhan keterlibatan industri kertas domestik lokal terhadap masuknya limbah dari negara lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Liana Bratasida pun angkat bicara.
Ia membantah adanya keterlibatan industri kertas dan menambahkan bahwa terbawanya benda lain seperti plastik dan logam dalam sampah kertas yang diimpor tidak dapat dihindari. Ia juga menambahkan bahwa kandungan sampah selain kertas masih sesuai dengan standar Institute of Scrap Recycling Industries (ISRI).
Menurutnya, sampah non-kertas yang terselip justru merugikan karena mengurangi volume sampah kertas yang dapat digunakan untuk produksi kertas. Terselipnya sampah non-kertas juga menambah beban perusahaan karena harus diolah sesuai aturan.
Lebih lanjut lagi, Liana mengatakan adapun sampah non-kertas yang terbawa dalam impor sudah dikelola sesuai aturan oleh perusahaan-perusahaan kertas, baik dengan cara dihancurkan sendiri, diserahkan ke pihak ketiga yang mampu mengelola limbah, atapun diberikan ke masyarakat sesuai permintaan masyarakat itu sendiri.
Namun aktivis lingkungan memiliki pendapat yang berbeda.
Menurut hasi investigasi lembaga Ecological Observation and Wet Conservation (Ecoton), impor sampah kertas yang dilakukan oleh industri kertas domestik disusupi oleh sampah non-kertas (termasuk limbah B3) dengan presentase hingga 35 persen. Tingginya kandungan sampah non-kertas dalam impor kertas ini mengundang kecurigaan.
Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), melihat bahwa kandungan limbah non-kertas yang tinggi adalah bukti adanya kesengajaan, baik oleh pihak eksportir maupun importir.
Kecurigaan juga datang dari Lembaga Bali Fokus yang mempertanyakan kenapa perusahaan kertas diam-diam saja jika memang dirugikan dengan terselipnya sampah non-kertas? Selain itu Bali Fokus juga menemukan adanya kejanggalan data impor sampah yang masuk ke Indonesia sejak tahun 2014.
Pada tahun 2018 misalnya, meskipun negara eksportir melaporkan pengiriman sampah sebesar 402.913 ton, perusahaan importir Indonesia hanya melaporkan penerimaan sampah sebesar 320.452 ton.
Melihat kecurigaan dan kejanggalan yang diutarakan para aktivis lingkungan, industri kertas sepertinya dituduh mengetahui, namun tetap (sengaja) menerima limbah dari luar negeri.
Jika demikian, apa sebenarnya keuntungan yang diterima industri kertas domestik dari negara-negara pengirim limbah?
Menurut Koalisi Persampahan Nasional (KPNAS), dengan menerima limbah perusahaan importir kertas mendapatkan keuntungan ganda, yaitu dibiayainya transportasi pengiriman oleh negara pengirim. Walhi juga mengatakan hal serupa bahwa pengimpor sampah asal Indonesia bahkan dibayar oleh negara asal untuk menerima kiriman sampah.
Jokowi tegur Rini Soemarno dan Ignasius Jonan terkait impor migas yang tinggi. #menteri#ESDM #bumn
Nantikan artikel selengkapnya di https://t.co/xcS6dR1dxG pic.twitter.com/iOLkcjSFPk
Rentetan Masa Lalu
Setelah sampai di Indonesia, dalam beberapa kasus sampah yang ternyata limbah ini-pun sering dibuang begitu saja oleh perusahaan kertas.
Hal ini terjadi salah satunya di Desa Bangun, Mojokerto, Jawa Timur. Sampah plastik impor yang merupakan sisa produksi pabrik kertas setempat dibuang begitu saja di sekitar pemukiman warga. Aktivitas pembuangan limbah ini bahkan sudah terjadi setidaknya selama lima tahun.
Bukan hanya melibatkan perusahaan kertas, bisnis limbah ilegal di Indonesia juga pernah melibatkan unsur pemerintah dan politikus.
Masih di provinsi yang sama, bisnis pengolahan limbah ilegal juga melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berdasarkan hasil investigasi Tempo, 8 markas TNI dijadikan tempat penimbunan limbah melalui setoran gelap antara perusahaan pengangkut, TNI, dan juga pejabat Dinas Lingkungan Hidup setempat.
Bisnis limbah ilegal juga pernah melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, di mana perusahaan miliknya PT. Asia Pasific Eco Lestari (APEL) mengimpor 1.000 ton limbah beracun dari Singapura. Limbah ini kemudian dibiarkan begitu saja di Pulau Galang, Batam, hingga mencemari laut.
Suap terkait limbah juga pernah menjerat Sinar Mas Group. Tiga petinggi Sinar Mas pernah terbukti menyuap anggota DPRD Kalimantan Tengah terkait pencemaran limbah sawit. Group ini juga memiliki pabrik produksi kertas di karawang yang terbukti melakukan pencemaran dengan membuang limbah hasil produksi ke sungai.
Melihat adanya kejanggalan-kejanggalan dan sejarah bisnis limbah ilegal di Indonesia, kecurigaan beberapa aktivis lingkungan terhadap industri kertas domestik cukup beralasan.
Bisa jadi masuknya impor sampah Indonesia baru-baru ini tidak terlepas dari “permainan” antara negara pengirim dengan industri kertas dan bisnis limbah ilegal domestik.
Investigasi mendalam perlu dilakukan untuk benar-benar mengetahui apakah fenomena impor limbah sepenuhnya merupakan kesalahan negara pengirim, atau ada permainan bisnis-politik dibalik impor ini.
Publik juga menunggu langkah lanjutan pemerintah untuk mencegah dijadikannya Indonesia sebagai tempat sampah bagi negara asing. Pasalnya, Indonesia terus mengalami peningkatan impor sampah dimana pada tahun 2018 peningkatan impor sampah plastik indoneisa meningkat 141 persen.
Sebagai catatan, dalam kampanyenya saat pemilihan presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin menjanjikan adanya penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup salah satunya dengan efektivitas pengelolaan dan pengawasan limbah B3.
Harapannya jangan sampai kolonialisme sampah ini menjebak Indonesia – dan Jokowi secara khusus – karena melibatkan lingkaran kekuasaan di tingkatan teratas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F51)