HomeNalar PolitikJokowi dan Ancaman Fragile Five

Jokowi dan Ancaman Fragile Five

Kecil Besar

Melonjaknya kasus Covid-19 di India membuat pemerintahan Jokowi lebih was-was dalam menangani pandemi Covid-19. Selain itu, dengan sesama negara Fragile Five, ada kekhawatiran krisis ekonomi pada tahun 2013 juga terjadi kembali di Indonesia. Lantas, apakah Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi akan keluar atau tetap berada di label Fragile Five pada saat pandemi ini?


PinterPolitik.com

Covid-19 sudah menjadi pandemi global selama lebih dari satu tahun. Saat ini, virus Corona versi mutasi sudah menyebar di beberapa negara, seperti Jepang, Inggris dan India.

India merupakan salah satu negara yang paling terdampak akibat Covid-19. India terus memecahkan rekor global atas kasus hariannya. Dalam tiga hari, terdapat hampir satu juta kasus positif di India dengan kasus harian mencapai lebih dari 300.000 kasus.

Rumah sakit disebutkan selalu penuh dan pasokan oksigen menjadi langka. Bahkan masyarakat India juga kesulitan untuk melakukan kremasi sehingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan kremasi massal.

Buruknya kasus di India membuat Indonesia lebih waspada terhadap pandemi. Namun, pada 23 April lalu, sebanyak 135 orang dari India menggunakan pesawat carter justru tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Terdapat 12 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.

Baca Juga: Vaksin Nusantara, Jokowi Memilih Diam?

Menanggapi hal tersebut, pada 25 April, pemerintah akhirnya melarang WNA India masuk ke wilayah Indonesia untuk sementara waktu. Kebijakan ini diberlakukan akibat tingginya lonjakan kasus Covid-19 di India.

Lantas, apakah benar jika Indonesia sedang menuju kepada situasi seperti yang dialami India? Jika iya, dampak apa yang akan dialami oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?  

Mengikuti Jejak India?

Jack Colwil dalam tulisannya Why The Government Make The Same Mistake? menjelaskan beberapa faktor mengapa pandemi Covid-19 sulit ditanggulangi di beberapa negara. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan yang tidak santifik dan euforia vaksin yang mengakibatkan masyarakat lengah dalam menaati protokol kesehatan (prokes).

Tulisan Colwil menjelaskan apa yang terjadi di India. Februari lalu, India sempat dipuji oleh masyarakat global karena dianggap berhasil menekan angka kasus Covid-19 dan kebutuhan akan ventilator menurun. Selain itu, pemerintah India melakukan lockdown pada beberapa wilayah di India dan berhasil melakukan vaksin massal.

โ€œKesuksesanโ€ India dalam menangani pandemi pada awal tahun mengakibatkan masyarakat menjadi lengah akan prokes. Festival keagamaan dan kampanye politisi yang dilaksanakan mengundang keramaian, sehingga lonjakan kasus terjadi dan kondisi memburuk.

Beberapa pihak menilai Indonesia berpotensi mengalami krisis seperti yang terjadi di India, bahkan lebih parah. Euforia vaksin mengakibatkan masyarakat mulai abai dengan prokes karena berasumsi dirinya kebal virus setelah divaksin.

Baca juga :  Jokowi dan Misteri "Kepunahan" Kelas Menengah 

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berulang kali mengampanyekan bahwa vaksin tidak menjamin seseorang tidak terkena  Covid-19. Sikap lengah atas prokes ini disebut-sebut membuat kasus meningkat sehingga penyebaran virus dari klaster perkantoran muncul kembali di Jakarta.

Selain itu, teknik pengendalian pandemi Indonesia disebut belum sebaik India. Pemerintahan Jokowi memilih tidak menerapkan lockdown seperti yang diberlakukan di India. Indonesia juga belum memiliki vaksin andalan, berbeda dengan India yang sudah memiliki AstraZeneca.

Baca Juga: Jokowi, AstraZeneca dan Ecological Imperialism

Perihal mudik lebaran tahun ini, Satgas Covid-19 mengatakan akan ada 18,9 juta orang nekat mudik di masa pandemi. Hal ini dapat berimplikasi pada peningkatan kasus pasca lebaran, sama seperti liburan panjang tahun baru seperti yang terjadi sebelumnya.

Maka dari itu bisa dilihat bahwa Indonesia diprediksi akan mengalami kondisi yang mungkin sama dengan India, terlebih jika Covid-19 versi mutasi sudah menyebar. Selain mengalami dampak di sektor kesehatan, apakah Indonesia juga akan mengalami dampak ekonomi sebesar India?

Trauma Fragile Five Kembali?

Tulisan David Weil yang berjudul Health and Economic Growth menjelaskan bahwa masalah kesehatan memiliki korelasi dengan kondisi ekonomi. Negara dengan kekuatan ekonomi yang kuat akan menimbulkan lingkungan yang sehat. Negara berkembang lebih sulit mewujudkan ini daripada negara maju karena keterbatasan dana untuk mewujudkan lingkungan yang sehat.

Negara berkembang dengan populasi yang besar akan meningkatkan probabilitas penularan penyakit di masyarakatnya. Selain itu, penduduk yang sehat akan meningkatkan produktivitas pekerja sehingga akan menguntungkan secara ekonomi. 

Tulisan Weil sekiranya menjelaskan dampak pandemi terhadap ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi saat ini. Tingginya orang terjangkit Covid-19 mengganggu produktivitas ekonomi. Indonesia sendiri telah mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp 1.356 triliun tahun 2020.

Gestur โ€œputus asaโ€ untuk memperbaiki ekonomi bahkan terlihat ketika Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani berharap pada Dana Moneter International (IMF) dan Bank Dunia (WB) membantu Indonesia dalam mengelola utang.

Akibat pandemi, Indonesia menambahkan utang luar negerinya sehingga mencapai Rp 6.445 triliun. Utang luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi mencapai angka tertinggi dibandingkan kepemimpinan sebelumnya.

Ini tentu riskan mengingat Indonesia merupakan salah satu emerging country atau negara yang diharapkan akan memiliki pengaruh ekonomi yang kuat di masa depan. Emerging country akan memiliki karakteristik seperti negara maju, namun belum sepenuhnya memenuhi standar negara maju. 

Walaupun Indonesia merupakan bagian dari emerging country, namun kondisi ekonomi Indonesia sendiri rentan terhadap situasi global. Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep The Fragile Five dari Morgan Stanley.

Baca juga :  Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik โ€œPerangโ€? 

Stanley menyatakan ada lima negara yang termasuk dalam The Fragile Five, yakni Brasil, Indonesia, Afrika Selatan, Turki dan India. Kelima negara tersebut memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, namun memiliki kondisi ekonomi yang rentan.

Lima negara tersebut merupakan negara yang terdampak akibat taper tantrumpada tahun 2013. Pada tahun tersebut, Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat (AS) mengumumkan rencana mengurangi laju pembelian obligasi Treasury. Hal ini diberlakukan untuk pemulihan ekonomi AS melalui program pembelian aset dan kenaikan suku bunga.

Baca Juga: Covid-19 Berkah Bagi Kelompok Super Kaya Indonesia?

Walaupun kebijakan belum diberlakukan, namun hal ini sudah memukul kurs sejumlah negara berkembang dan mengakibatkan instabilitas pasar finansial. Sebagai respons atas pengumuman tersebut, imbal hasil obligasi meningkat. Reaksi dan efek atas pengumuman tersebut disebut taper tantrum.

Berangkat dari taper tantrum, apakah Indonesia akan mengalaminya lagi seperti pada 2013 lalu? Kekhawatiran ini juga tentu menyasar India yang sedang mengalami gelombang mutasi Covid-19 yang berdampak pada ekonomi India.

Bulan Maret lalu, imbal hasil obligasi melonjak, sedangkan pasar saham turun 7 persen dalam seminggu, sehingga ada kekhawatiran dari negara berkembang terdampak atas taper tantrum.

Stanley berpendapat bahwa kondisi saat ini berbeda dengan tahun 2013. Obligasi Amerika Serikat telah berhenti meningkat dan tetap berada di bawah 1,6 persen. Stanley juga percaya bahwa ada kecenderungan bank sentral tidak meningkatkan suku bunga. Obligasi dapat menjadi solusi ketika pertumbuhan ekonomi lamban dan bank sentral sedang lesu.

Akibat Covid-19, impor mengalami penurunan sehingga current account deficit (CAD) emerging state tergerus. Di Indonesia sendiri rasio CAD terhadap PDB pada 2020 turun 0,46 persen. Hal ini berbeda dengan tahun 2013 yang turun hingga 3,16 persen.

Namun, masih terlalu prematur untuk mengindentifikasi permasalahan tersebut. Pada tahun 2013, taper tantrum 2013 diawali dengan penarikan stimulus fiskal. Hal ini yang memicu The FED mengurangi stimulus dengan mengurangi pembelian aset. Namun, untuk kondisi saat ini ekonomi sendiri belum pulih.

Walaupun begitu, sebaiknya pemerintahan Jokowi bersiap jika taper tantrum terjadi lagi. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya lebih tegas dalam menangani pandemi agar dapat mencegah kerusakan ekonomi lanjutan di masa yang akan mendatang. (R66)


โ–บ Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos โ€œHantu Dwifungsiโ€, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik โ€œPerangโ€? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...