Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Dalam Pusaran Proksi Vaksin?

Jokowi Dalam Pusaran Proksi Vaksin

Presiden Joko Widodo saat meninjau pelaksanaan uji klinis tahap ketiga vaksin Covid-19 di Kota Bandung, Jawa Barat, pada Agustus lalu. (Foto: Setpres)

Presiden Jokowi menyatakan bahwa 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang baru saja tiba tak bisa segera digunakan karena menunggu tahapan dari BPOM. Lantas, jika masih belum bisa langsung digunakan saat ini, mengapa vaksin asal Tiongkok itu tetap didistribusikan ke tanah air?


PinterPolitik.com

Vaksin Covid-19 batch pertama dari perusahaan asal Tiongkok, Sinovac, telah mendarat dengan mulus di tanah air. Meskipun jumlahnya baru 1,2 juta dosis vaksin, kehadirannya cukup memantik beragam reaksi dari publik dalam negeri yang telah berpeluh selama sembilan bulan terakhir melawan pandemi dengan segala dramanya.

Di satu sisi, ada yang menyoroti tentang tidak gratisnya rencana vaksinasi Covid-19 secara menyeluruh dan dinilai cukup memberatkan bagi sebagian kalangan. Di sisi lain, masih terdapat pula sejumlah pihak yang mempertanyakan efektivitas dan keamanan vaksin itu sendiri.

Untuk reaksi terakhir agaknya memang tidak berlebihan. Saat melakukan konferensi pers atas kedatangan vaksin Sinovac di Indonesia pada Ahad lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa vaksinasi belum dapat langsung diimplementasikan karena masih menunggu sejumlah tahapan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Hal itu menurut mantan Wali Kota Solo dilakukan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat. Vaksin nantinya baru dapat digunakan setelah mendapatkan izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat atau emergency use authorization (EUA).

Hal ini terlihat berbeda misalnya dengan yang terjadi di Inggris saat vaksin asal Amerika Serikat (AS) Pfizer, yang mendarat di negeri Ratu Elizabeth pada 4 Desember, langsung dapat digunakan empat hari kemudian dan dibingkai secara monumental di sejumlah media.

Lantas, dengan juga berkaca pada penundaan rencana vaksinasi pada November lalu, mengapa vaksin Sinovac tetap didistribusikan ke tanah air saat ini meski belum dapat langsung digunakan?

Demi Impresi Vaksin Tiongkok?

Bary Buzan dalam An Introduction to Strategic Studies: Military Technology and International Relations menyebutkan action and reaction model atau model aksi dan reaksi dalam konteks arms race atau pelombaan senjata.

Model itu menjelaskan bahwa negara akan mengupayakan berbagai reaksi terkait persepsi ancaman yang dirasakan dari pesaingnya. Atau dengan kata lain, model ini menjelaskan bahwa faktor eksternal adalah pendorong utama sebuah negara dalam dinamika sebuah persaingan atau perlombaan.

Ihwal yang dikemukakan Buzan tersebut tampaknya dapat diadopsi untuk menjelaskan momentum serta mengapa vaksin Sinovac tetap didistribusikan di tanah air walaupun belum dapat langsung digunakan.

Dengan kabar progres anti-virus asal AS, mungkin saja kedatangan vaksin asal Tiongkok di Indonesia merupakan bagian dari reaksi lanjutan di tengah atmosfer saat ini yang jamak diberikan predikat sebagai “perlombaan vaksin”.

Selain Rusia dengan Sputnik V-nya, produsen-produsen vaksin yang prominen sendiri tak dapat dipungkiri berasal dari dua kekuatan dunia itu yang memang tengah sengit bersaing saat ini dalam berbagai aspek.

Dan untuk saat ini, Tiongkok bukan tidak mungkin merasa tertinggal dari pesaing Baratnya, terutama Pfizer dan Moderna. Kedua produsen asal AS belakangan memang menunjukkan perkembangan sangat signifikan dari efikasi vaksin yang diproduksinya yang mencapai di atas 90 persen.

Negeri Tirai Bambu sendiri sebelumnya sempat tampak memimpin perlombaan ketika Sinovac, CanSino, maupun Sinopharm melakukan uji coba masif di berbagai negara dengan tingkat ekspektasi yang tinggi.

Namun belakangan, pamor vaksin asal Tiongkok meredup saat Pfizer dan Moderna semakin menunjukkan tajinya. Inggris lantas menjadi negara pengejawantahan hal itu dengan menjadi yang pertama memberikan izin darurat bagi Pfizer.

Batch pertama vaksin kemudian mendarat di London pada 4 Desember lalu, dan dengan segera memulai vaksinasi nasionalnya kemarin. Vaksinasi ini sendiri seketika menjadi sorotan dunia.

Dan oleh karenanya, itu mungkin yang mengakibatkan akselerasi pengiriman vaksin Sinovac ke Indonesia dilakukan Tiongkok walau kondisi tampak tak berbeda dengan penundaan eksekusi di November lalu saat belum dapat lampu hijau BPOM.

Tentu dengan probabilitas reaksi balasan untuk mengimpresikan bahwa vaksin Tiongkok pun tak kalah siap dengan segala keunggulannya – seperti dari sisi distribusi dan penyimpanan yang tak butuh suhu ekstrem dan sebagainya – dibandingkan vaksin asal AS yang sudah sampai tahap vaksinasi di Inggris.

Apalagi sebelumnya, Tiongkok melalui Menteri Luar Negeri (Menlu)-nya, Wang Yi memproyeksikan Indonesia sebagai vaccine hub bagi kebutuhan antivirus di kawasan Asia Tenggara saat mengeratkan kemitraan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Oktober lalu.

Kemungkinan ini diperkuat dengan masifnya pula sorotan media internasional ketika vaksin Sinovac tiba di Indonesia, yang seolah sahut menyahut karena tak berselang lama dengan rangkaian implementasi vaksinasi Pfizer oleh pemerintahan Britania di bawah Perdana Menteri (PM) Boris Johnson.

Lalu, terlepas dari inisiatif global akses vaksin yang digaungkan organisasi kesehatan dunia (WHO), tren seperti apakah yang terjadi nantinya jika gelagat yang tampak seperti persaingan antara AS dan Tiongkok dalam konteks vaksin Covid-19 ini terus terjadi?

Jokowi Harus Waspadai Proksi?

Menurut Eko Sulistyo, sejarawan dan eks Deputi Kantor Staf Presiden periode 2015-2019, kekhawatiran masih meliputi penanganan pandemi Covid-19 secara global, ketika kecenderungan nada nasionalisme dan proksi dalam perlombaan vaksin muncul sebagai senjata geopolitik.

Gelagat proksi sendiri tampaknya telah terlihat pada aksi-reaksi AS dan Tiongkok dalam konteks distribusi vaksin di Inggris dan Indonesia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Meski terlihat sedikit berbeda dari proksi yang terjadi saat Perang Dingin, Oliver Branzaga dalam Proxyeconomics, the Inevitable Corruption of Proxy-Based Competition menggambarkan karakteristik persaingan semacam itu sebagai proxy-based competition.

Mantan duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Samantha Power dalam acara GPS di CNN yang dipandu Fareed Zakaria, menyebutkan satu hal penting yang bisa dilakukan AS dan Joe Biden kelak untuk memulihkan kembali pengaruh dan kepemimpinan global, yakni melalui global vaccine distribution atau distribusi vaksin global.

Dari ranah domestik sendiri, misi global vaccine distribution seolah berpihak pada Biden. Selama kampanyenya, Biden disokong oleh para konglomerat mulai dari mereka yang terkait dengan perusahaan teknologi hingga farmasi, seperti AmgenInc., Merck & Co., dan termasuk Pfizer.

Harapan reformasi harga produk farmasi yang ditumpukan pada Biden, menjadikan relasi simbiosis dalam hal ekonomi politik tampaknya akan menjadi kunci bagi sang mantan Wapres AS, termasuk dalam hal mendukung misi global vaccine distribution kelak.

Selain itu, Bill Gates yang ternyata merupakan sosok prominen di balik inisiatif vaksin global bertajuk Covax, tampaknya juga menjadi pendorong tersendiri bagi Biden kelak, yang di bawah Trump, AS menolak bergabung.

Gates disebut terus mengadvokasi AS untuk mengambil kembali leadership-nya dalam global health tanpa melihat afiliasi politiknya. Gates mengatakan bahwa dirinya telah mengupayakan konsolidasi dengan Partai Republik, Demokrat dan para pejabat administrasi termasuk yang berada di National Institutes of Health.

Namun, keberadaan pihak-pihak tersebut bukan tidak mungkin membawa kepentingan tersendiri dalam hal pembangunan, ekonomi, dan politik dalam waktu yang bersamaan.

Ketika AS dengan “amunisinya” telah siap, mereka tampaknya secara otomatis akan berhadapan dengan Tiongkok, seperti yang telah mulai terlihat saat ini. Dan jika persaingan yang tercipta benar-benar adalah proxy-based competition, Braganza menyebut akan ada dampak negatif yang muncul.

Untuk mencapai tujuan “supremasi”, sebuah kompetisi proksi membutuhkan situasi yang memiliki efek merugikan atau detrimental effect pada subjek kepentingannya. Detrimental effect dalam kompetisi berorientasi proksi ini sendiri menjadi sebuah alat evaluasi yang tersembunyi.

Pada konteks persaingan vaksin, efek negatifnya sendiri sesungguhnya dapat dilacak dari kemungkinan minor atas akselerasi riset vaksin itu sendiri. Vaksin asal AS dan Tiongkok, sama-sama menempuh jalan pintas, baik melalui perizinan, prosedur, hingga teknologi untuk mendapatkan vaksin yang cepat dan optimal.

Efek merugikannya pun seperti yang disiratkan oleh Braganza, bahkan menjadi tak dapat “diraba” secara pasti, meski secara historis terdapat sejumlah kemudaratan akibat percepatan vaksin seperti pada vaksinasi campak di tahun 1960-an di AS, maupun efek narkolepsi di Eropa pada vaksinasi flu babi di tahun 2009.

Walau begitu, saat ini masih ada kemungkinan bagi negara-negara di dunia untuk membuka opsi diversifikasi vaksin yang dapat menghindari tendensi adanya keberpihakan dalam persaingan vaksin antara AS dan Tiongkok, yang mana berpotensi memiliki dampak negatif tersendiri.

Ihwal yang dinilai harus pula diupayakan oleh Presiden Jokowi. Salah satunya dengan menyediakan infrastruktur vaksin seperti cold chain yang memadai bagi beragam jenis vaksin.

Tentu agar tak memiliki kesan ketergantungan ataupun terjebak di salah satu kutub yang tampak sedang terlibat persaingan vaksin. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version