Di tengah sentimen minor terhadap pemerintahannya, kekuatan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih cukup signifikan bagi sejumlah kalangan. Kendati sudah tak dapat mencalonkan diri sebagai Presiden, kini muncul wacana untuk memajukan Jokowi sebagai calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Mungkinkah wacana tersebut terwujud?
Menyongsong masa jabatannya di periode kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengatakan berulang kali bahwa dirinya siap mengambil kebijakan-kebijakan ‘gila’ karena sudah tak lagi memiliki beban politik.
Getirnya, pernyataan tersebut kini kembali diungkit-ungkit karena nyatanya, kebijakan-kebijakan yang Ia ambil justru dianggap tak lagi berpihak kepada rakyat. Pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengesahan Rancangan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker), hingga penangkapan sejumlah aktivis yang kritis terhadap pemerintahan adalah sekelumit contohnya.
Langkah Presiden yang tak lagi segan mengambil kebijakan-kebijakan non-populis tersebut, menurut sejumlah pengamat, menyebabkan terjadinya akumulasi sentimen minor publik terhadap pemerintahannya. Hal ini tentu akan berdampak buruk terhadap legacy yang akan Ia tinggalkan kala sudah tak lagi menjabat sebagai RI-1.
Secara konstitusi, jabatan kali ini memang merupakan periode terakhir Jokowi. Pasal 7 Undang-undang Dasar 1945 telah mengamanatkan dengan tegas bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berlaku untuk lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Kendati begitu, sejumlah pihak tampaknya masih menginginkan Jokowi berada di tampuk kepemimpinan negeri untuk periode yang lebih lama. Namun untuk menghindari benturan dengan konstitusi, Jokowi kini diusulkan menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Adalah petinggi Golkar, Leo Nababan yang mengusulkan agar Jokowi mendampingi Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto yang digadang-gadang akan maju pada Pilpres 2024 mendatang. Meski terkesan tak serius, namun usulan itu nyatanya menuai respons dari sejumlah pakar dan pengamat.
Rocky Gerung misalnya. Dengan aksentuasi khasnya, Rocky menilai munculnya wacana tersebut bisa dipandang sebagai bukti bahwa Indonesia kekurangan figur-figur pemimpin.
Secara satire, Ia bahkan mengusulkan jika nantinya narasi itu benar-benar terwujud, maka bisa saja Megawati Soekarnoputri menggantikan posisi Airlangga sebagai Ketum Golkar, dan posisinya sebagai Ketum PDIP digantikan Wakil Presiden (Wapres) saat ini, Ma’ruf Amin.
Terlepas dari seberapa seriusnya wacana tersebut digodok, namun usulan Leo tetap menarik untuk didalami. Mungkinkah pada akhirnya nanti Jokowi benar-benar mau mendampingi Airlangga sebagai cawapres di 2024?
Kebangkitan Political Outsiders dan Populisme
Ketika terpilih sebagai Presiden di 2014 lalu, Jokowi kerap dielu-elukan sebagai sosok Presiden pertama Indonesia yang berasal dari luar kalangan elite (political outsider). Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden juga bisa dianggap sebagai puncak kebangkitan golongan tersebut di Indonesia.
Kenyataannya, Jokowi memang tak memiliki garis keturunan dari dinasti politik, ekonomi, maupun militer. Ia adalah sosok ‘orang biasa’ dari ‘kampung’ yang berhasil memenangkan kontestasi elektoral tertinggi di negeri ini.
Penggambaran sosok ‘merakyat’ ini juga semakin kental dengan gaya kepemimpinannya yang cenderung mengedepankan narasi-narasi populis.
Shermichael Singleton dalam tulisannya yang berjudul The Rise of the Political Outsiders mengatakan bahwa krisis kepercayaan terhadap elite-elite politik menyebabkan bangkitnya para political outsiders dan pemimpin-pemimpin yang membawa narasi-narasi populisme seperti Jokowi semakin lumrah terjadi.
Ia mengatakan bahwa populisme lahir dari frustrasi. Populisme yang kita lihat saat ini adalah konsekuensi dari elite-elite politik yang mengabaikan konstituen mereka, yang pada akhirnya membuka peluang bagi para political outsiders untuk meraih kekuasaan. Hal tersebut didasarkan pada premis bahwa kebajikan ada pada orang-orang sederhana, yang merupakan mayoritas di masyarakat.
Nsmun, meskipun hidup dan besar di luar lingkaran elite, tak jarang para political outsiders ini justru membangun kekuatan elite baru setelah berhasil mendapatkan kekuasaan melalui cara-cara elektoral. Dalam konteks Jokowi, pergeseran identitas dari yang semula merupakan pemimpin populis menjadi kalangan yang lebih elitis setidaknya disebabkan oleh sejumlah faktor.
Marcus Meitzner dalam tulisannya yang berjudul Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia melihat adanya perbedaan narasi populisme yang digelorakan Jokowi dengan narasi yang disuarakan pemimpin-pemimpin dunia lainnya.
Salah satunya, Jokowi tidak menawarkan perubahan pada sistem politik. Sebaliknya, menurut Meitzner, Jokowi justru berusaha menampilkan dirinya sebagai sosok yang inklusif dan tidak menggelorakan politik ‘anti-asing’ untuk menggalang dukungan.
Meitzner menilai disparitas narasi populis yang digelorakan Jokowi tersebut kemudian menimbulkan persoalan segera setelah Ia duduk di kursi RI-1.
Menurutnya, sikap Jokowi yang inklusif, non-konfrontatif, dan mendukung status quo demokrasi membuat mantan Wali Kota Solo itu rentan dipengaruhi oleh orligark, pemimpin partai politik, hingga aktor-aktor yang berambisi mencari patronase politik. Hal itulah yang kemudian menjerumuskannya ke dalam lingkaran para elite.
Semetara Jeffrey A. Winters dalam tulisannya Oligarchy and Democracy in Indonesia menilai sumber daya berupa jabatan dianggap sebagai sumber kekuasaan yang dimiliki oleh elite. Pada titik ini, ketika Jokowi menggunakan sumber daya tersebut, Ia sebenarnya telah menjelma menjadi elite.
Lebih lanjut, Ia bahkan mengatakan bahwa Jokowi bisa jadi tak hanya telah berubah menjadi elite, melainkan juga berkompromi dengan kekuatan oligarki. Hal ini dilakukan semata-mata agar kekuasaannya tak banyak terhantam badai politik.
Jebakan Sirkulasi Elite?
Meski disampaikan dengan nada bercanda, namun sindiran Rocky bisa saja memang menggambarkan kenyataan sebenarnya dari lanskap politik nasional. Menurutnya, jika wacana Jokowi menjadi cawapres Airlangga pada 2024 benar-benar terjadi, hal tersebut akan memicu sirkulasi elite tak berujurng.
Konsep sirkulasi elite pernah diungkapkan oleh sosiolog asal Italia, Vilfredo Pareto. Menurutnya, dalam setiap sejarah selalu ada yang disebut dengan sirkulasi elite atau pergantian elite, baik pergantian antar sesama elite, maupun masuknya kekuatan non-elite menggantikan elite yang tengah berkuasa.
Fenomena sirkulasi elite nyatanya tak hanya terjadi di Indonesia. Di sejumlah negara, fenomena berputar-putarnya tampuk kekuasaan di segelintir kalangan juga terjadi bahkan di negara demokrasi sekelas Amerika Serikat (AS).
Di negeri Paman Sam, pergantian kepemimpinan antara George Herbert Walker Bush kepada Bill Clinton, dan Bill Clinton kepada George Walker Bush bisa dianggap sebagai sirkulasi elite antara dinasti Bush dan Clinton.
Kendati demikian, sirkulasi elite sebenarnya tak melulu melibatkan dinasti. Di Timor Leste, misalnya, sirkulasi elite yang terjadi berpusat di dua tokoh, yakni Xanana Gusmao dan José Ramos-Horta, di mana José pernah menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) kala Xanana menjadi Presiden, dan sebaliknya, Xanana pernah menjabat sebagai PM ketika José menjabat sebagai Presiden.
Lantas jika hal tersebut lazim terjadi, apakah ini artinya Jokowi memang bisa mencalonkan diri sebagai cawapres mendampingi Airlangga?
Langgar Etika Politik?
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari ketika dihubungi PinterPolitik menyebut bahwa dalam tradisi politik di Indonesia, tak ada istilah mantan Presiden maupun mantan Wakil Presiden. Melainkan yang ada hanyalah periode kapan sang presiden itu menjabat.
Itulah sebabnya kendati sudah tak menjabat, gelar Presiden maupun Wakil Presiden masih tersemat di depan nama pemimpin-pemimpin negeri ini.
Lekatnya gelar tersebut kemudian membuat wacana turunnya pangkat Jokowi sebagai cawapres menjadi tidak relevan. Jika dipaksakan, hal ini berpotensi melanggar etika politik dan tradisi ketatanegaraan yang ada.
Kendati tak dilarang dengan tegas, namun Feri menyebut tak semua hal yang dilarang dalam konstitusi perlu ditulis secara eksplisit. Menurutnya, sesuatu yang secara konsep sudah jelas, seperti etika politik, sebaiknya tak perlu ditafsirkan terlalu jauh hanya untuk kepentingan politik semata.
Sebaliknya, Ia menilai wacana memajukan Jokowi sebagai cawapres Airlangga hanyalah narasi ‘lepas makan’ yang tak punya kualitas apapun dalam konteks politik maupun hukum tata negara. Menurutnya, wacana tersebut tidak masuk akal dan tak pernah terjadi di manapun di dunia.
Berangkat dari sini, kans terwujudnya wacana Jokowi mendampingi Airlangga sebagai cawapres agaknya cukup kecil. Sebagai sosok pemimpin yang pragmatis, posisi cawapres agaknya tak akan terlalu memberikan banyak keuntungan bagi Jokowi. Apalagi wacana tersebut dianggap bertentangan dengan etika politik dan tradisi ketatanegaraan di Indonesia.
Kendati begitu, apakah wacana Jokowi ‘turun pangkat’ menjadi cawapres akan benar-benar terjadi atau tidak hanyalah waktu yang mampu menjawabnya. Bagamainapun, kontestasi Pilpres 2024 masih sangat cair, dan segala kemungkinan bisa saja terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.