Presiden Jokowi dan Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan akan bertemu di Moskow pada 30 Juni nanti, namun pembahasan pertemuan itu tidak diungkapkan. Mungkinkah kunjungan Jokowi berkaitan dengan permasalahan politik domestik?
Sekarang ini, hampir segala urusan politik internasional yang berkaitan dengan Rusia ataupun Ukraina menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Tentu, ini akibat konflik yang terjadi semenjak 24 Februari itu mulai berdampak pada banyak negara di seluruh dunia.
Dan baru-baru ini, Indonesia menjadi sorotan karena beredar kabar bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 30 Juni nanti. Menurut media asal Rusia, TASS, yang mengutip salah satu sumber dari Kremlin, disebutkan bahwa kedatangan Jokowi ke Moskow sifatnya “sangat penting”, dan pihak Rusia sudah mempersiapkannya sejak sekarang.
Meski demikian, detail tentang pertemuan tersebut masih belum diungkapkan. Bahkan, pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia tidak mau memberikan komentar apapun.
Namun, sesuai perkembangan dunia sekarang, dan status Indonesia sebagai Presiden pertemuan G20, banyak yang menduga ini berkaitan dengan kepastian kunjungan Putin ke Indonesia nantinya. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai Jokowi bisa menyampaikan harapan pada Rusia untuk hadir dalam G20 dan membicarakan terobosan bagi perekonomian dunia.
Selain itu, Hikmahanto juga mengharapkan pertemuan antara Jokowi dan Putin mampu mendorong perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Singkatnya, Hikmahanto menduga Jokowi akan berupaya menjadi perantara perdamaian.
Walau dugaan-dugaan ini adalah harapan mulia, kita tidak bisa menampik bahwa perilaku politik internasional suatu negara pasti dipengaruhi oleh karakteristik pemimpinnya.
Dan seperti yang sudah dibahas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Mungkinkah Putin Diajak Berunding?, Jokowi adalah tipe pemimpin yang tidak ingin memposisikan dirinya sebagai “pahlawan” dalam permasalahan internasional. Ia adalah Presiden yang fokus ke permasalahan dalam negeri dan hanya bergerak di panggung internasional bila memang itu menguntungkan tataran domestik.
Lantas, kira-kira apa alasan sebenarnya Jokowi ingin bertemu Putin? Mengapa Jokowi sampai rela mengeluarkan tenaga, dan merisikokan citra internasionalnya karena terlihat dekat dengan salah satu pemimpin dunia yang paling dikecam saat ini?
Jokowi Ingin Beri Sinyal?
Di era modern ini, segala pertemuan sesungguhnya bisa dilakukan secara daring. Namun, para diplomat seringkali masih mengutamakan pertemuan tatap muka.
Alasannya adalah, karena dalam kunjungan diplomatik yang dilakukan sebuah negara, selain membicarakan agenda politik bilateral, kunjungan itu sendiri sesungguhnya menjadi pesan politik yang penting. Terlebih lagi bila kunjungan tersebut dilakukan dalam tataran antar kepala negara.
Matt Malis dan Alastair Smith dalam tulisan mereka State Visits and Leaders Survival, menilai kunjungan diplomatis yang dilakukan seorang kepala negara ke suatu negara yang menjadi pemain internasional besar, seperti Rusia, bisa dipastikan berkorelasi dengan kompetisi politik domestik yang terjadi di negaranya.
Malis dan Smith menjelaskan, jika pihak yang berkunjung adalah kubu petahana dari suatu negara, maka bisa diinterpretasikan salah satu urgensi melakukan pertemuan adalah sang tamu ingin menghindari permasalahan ketidakpastian dan ketidakstabilan rezim yang sedang terjadi di negaranya.
Dengan diterima berkunjung ke sebuah negara besar, itu menjadi simbol bahwa rezim yang sedang dipimpin oleh kepala negara tersebut telah “direstui” oleh negara besar yang dikunjunginya.
Simbol ini diharapkan mampu menciptakan efek deterrent atau rasa enggan dari siapapun yang ingin mengganggu rezim dari negara sang tamu, karena jika ada oposisi yang ingin menentangnya, kemungkinan sukses mereka akan jauh berkurang karena harus melawan dukungan asing ini.
Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa eksposur kunjungan antar kepala negara selalu digemborkan, tetapi pembahasannya jarang diumumkan. Hal tersebut karena publik, sekaligus oposisi rezim, akan dibuat merasa tidak pasti, sekaligus bertanya-tanya tentang hal apa saja yang diperbincangkan karena sadar pertemuan itu sudah pasti tidak hanya merupakan “kunjungan silaturahmi”.
Kerja sama ekonomi atau pelatihan militer bersama umumnya dijadikan sebagai jawaban normatif. Namun suatu kunjungan diplomatis tentunya memiliki kemungkinan terjadi pembahasan hal-hal substansial lain yang tidak disampaikan ke publik. Yang jelas, pertemuan dua presiden akan memberikan sinyal bahwa masing-masing pihak berkemungkinan besar memiliki kepentingan yang sama dalam agenda tertentu.
Di dalam studi hubungan internasional, perilaku ini disebut sebagai signalling mechanism, atau mekanisme sinyal, yang tujuannya adalah memberikan sinyal pada aktor-aktor politik bahwa dua pemimpin besar yang dibahas dalam berita, dan akan melakukan pertemuan bersama, memiliki potensi akan mendukung satu sama lain dalam suatu narasi politik.
Namun, bisakah konteks teoritis ini kita terapkan dalam kepemimpinan Jokowi?
Well, kalau ingin berkaca ke beberapa waktu ke belakang, kita akan menyadari bahwa kepemimpinan Jokowi sepertinya memang sedang “digoyang”.
Taruhlah isu tiga periode misalnya, meski dirinya secara resmi sudah mengatakan tidak ingin isu ini digulirkan, sampai sekarang masih ada saja yang menyuarakan bahwa Jokowi harus memimpin kembali setelah masa jabatannya berakhir. Lalu, kita pun bisa menyinggung tentang semakin ramainya perbincangan mengenai hubungan Jokowi dan Megawati yang dinilai semakin merenggang.
Contoh terakhir yang menarik juga untuk disinggung adalah permasalahan tentang mafia minyak kelapa sawit yang telah membuat beberapa pihak mempertanyakan tentang efektivitas kepemimpinan Jokowi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Isu-isu ini, tidak dipungkiri, tetap berpotensi digoreng sedemikian rupa oleh siapapun untuk menyerang Jokowi.
Oleh karena itu, bisa diduga bahwa dicuatkannya kabar tentang pertemuan antara Jokowi dan Putin adalah salah satu upaya Jokowi mendapatkan pertolongan agar rezimnya tetap stabil di masa-masa terakhir kepemimpinan.
Dengan terlihat memiliki kedekatan, Jokowi meminjam citra Rusia dan Putin sebagai aktor internasional besar bahwa dirinya menyimpan kartu truf bila ada yang ingin mengacaukan stabilitas pemerintahannya.
Tapi, masih ada satu pertanyaan penting yang perlu dibahas. Bila ini semua benar, maka permintaan tolong konkrit seperti apa yang diminta Jokowi pada Putin? Tidak mungkin hanya mengandalkan sinyal-sinyal politik saja, bukan?
Andalkan Kekuatan Intelijen Rusia?
Walau Rusia bisa dikatakan adalah pemain internasional yang besar, Indonesia tidak memiliki ketergantungan yang berlebihan pada negeri Beruang Putih, berbeda dengan negara-negara Eropa yang memang membutuhkan pasokan minyak dari Rusia.
Namun, itu tidak berarti Rusia tidak memiliki sesuatu yang spesial untuk dilirik oleh Jokowi. Menurut survei yang dilakukan Belfer Center for Science and International Affairs di Harvard’s Kennedy School, Rusia adalah negara dengan National Cyber Power Index (NCPI), atau kekuatan siber terkuat ke-4 di dunia.
Dan yang menariknya, meski Amerika Serikat (AS) menempati urutan pertama, Rusia adalah negara paling tinggi dalam sektor kekuatan pemantauan siber. Sederhananya, Rusia adalah negara terhebat dalam mengumpulkan informasi intelijen melalui kekuatan siber.
Rusia pun dikenal sebagai petarung tangguh dalam pertempuran intelijen siber. Mark Galeotti dalam artikelnya yang berjudul Russian Intelligence is at (Political) War, yang diterbitkan di laman Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), menilai agresivitas Dinas Intelijen Asing (SVR) di bawah kepemimpinan Putin dalam menyerang institusi-institusi Barat, telah membuat kemampuan intelijen siber Rusia sebagai salah satu ancaman terbesar bagi Barat dan NATO.
Dengan kemampuan yang kuat di aspek siber dan intelijen, bukan tidak mungkin bila Jokowi berusaha mendapatkan bantuan Rusia dalam hal tersebut. Terlebih lagi, peran intelijen Rusia, dan AS juga, dalam politik domestik adalah hal yang sangat lumrah terjadi.
Dov H. Levin dalam artikelnya The U.S. and Russia Often Meddle in Foreign Elections, Does it Matter? mengatakan kedua negara raksasa intelijen itu setidaknya terlibat dalam 117 pemilu di berbagai negara di dunia dari tahun 1946 sampai tahun 2000.
Levin juga mengatakan, intelijen Rusia dan AS menggunakan beberapa metode yang membuat politisi harus melibatkan mereka, seperti menawarkan bantuan dana kampanye, merumuskan strategi kampanye, bahkan sampai menyiapkan materi kampanye itu sendiri. Yang jelas, peran intelijen asing dalam politik domestik suatu negara adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Kembali ke konteks Jokowi, yang sedang dihadapkan dengan kondisi dalam negeri yang kembali lagi, sedang mendapat banyak terpaan isu. Bisa saja sang Presiden meminta bantuan negara yang sangat kuat dalam bidang intelijen dan siber untuk membantunya mempertahankan kestabilan rezim dan memperhalus proses transisi kekuatan nantinya ke pihak yang bisa dipercayakan dalam Pemilu 2024.
Akhir kata, tulisan ini hanyalah interpretasi belaka. Tentunya, hanya pihak-pihak tertentu saja yang tahu tentang apa yang sebenarnya akan dibicarakan oleh Jokowi dan Putin pada pertemuan 30 Juni nanti. Pastinya kita berharap bahwa hasilnya bermanfaat bagi kestabilan keadaan politik Indonesia. (D74)