Bloomberg menyebut peluang Jokowi menjadi calon tunggal di 2019 terbuka sangat lebar. Ini tentu akan menjadi kemunduran dalam sistem demokrasi karena tidak mampu menyodorkan banyak pilihan alternatif.
PinterPolitik.com
“We would all like to vote for the best man, but he is never a candidate.”
:: Kin Hubbard (1868-1930), jurnalis dan kartunis ::
[dropcap]P[/dropcap]ada tahun 133 SM, Republik Romawi masih dikenal sebagai sebuah negara demokrasi. Namun, korupsi dan berbagai persoalan yang menimpa pejabat-pejabat pilihan rakyat, akhirnya membuat seratus tahun kemudian, sistem demokrasi tersebut tergantikan oleh otokrasi dengan kekuatan sentral pada satu orang.
Adalah Kaisar Augustus (63 SM – 14 AD), orang kuat yang pertama kali meletakan dasar otokrasi sekaligus mengubah bentuk negara tersebut menjadi Kekaisaran. Pemilu menjadi tidak ada gunanya karena hanya akan ada satu calon yang akan dipilih, yaitu dia yang menjadi pewaris tahta.
Kisah kehancuran demokrasi di Romawi akibat tidak mampu memberikan pilihan-pilihan pejabat yang baik bagi rakyat ini memang menjadi catatan sejarah yang menarik. Setidaknya, perasaan yang sama mungkin ada di dalam benak warga Korea Utara ketika pergi ke bilik-bilik suara, dan mendapati hanya ada nama Kim Jong Un dalam surat suara mereka sebagai calon tunggal.
Ini tentu tidak akan terjadi di Indonesia, bukan?
Tunggu dulu. Peluang munculnya calon tunggal di Pilpres 2019 nyatanya cukup besar. Setidaknya, narasi ini dimunculkan oleh Karlis Salna dalam tulisannya di portal Bloomberg beberapa waktu lalu. Narasi tersebut muncul bukan tanpa alasan. Menurutnya, Jokowi masih akan menjadi calon terkuat untuk bisa terpilih lagi pada pilpres 2019.
Lagian ga ada yang salah dari slogan "2019 Ganti Presiden" secara gantinya juga lewat pemilu, bukan lewat kudeta. Itu kan sesuai aturan.
Walau ya nanti pada ujungnya juga Jokowi jadi calon tunggal dan kepilih lagi 2019 jadi ya terima sajalah.
— Om Jed Revolutia (@revolutia) May 14, 2018
Sementara, kemungkinan besar lawannya, Prabowo Subianto, sedang berada pada posisi yang kurang jelas terkait pencalonannya. Prabowo memang telah mendapatkan mandat dari Partai Gerindra, namun pertanyaan terbesarnya adalah apakah mantan Danjen Kopassus ini mampu membentuk koalisi partai yang akan mendukungnya nanti, serta apakah ada dukungan – baik secara politik maupun finansial – yang akan menghampiri dirinya untuk bertarung dalam kontestasi politik yang mahal dan penuh gengsi ini?
Tulisan yang kemudian dimuat oleh South China Morning Post tersebut juga menyebut adanya desas-desus potensi memasangkan Jokowi dengan Prabowo yang tidak sedikit bermunculan di tingkatan elit. Jika wacana ini muncul, artinya telah ada lobi-lobi yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Dengan demikian, apabila Prabowo tidak mencalonkan diri, maka Jokowi kemungkinan besar akan menjadi calon tunggal.
Hal serupa juga diperkuat oleh kemungkinan pembentukan koalisi poros ketiga yang tidak juga menemukan titik terang, termasuk terkait tokoh yang akan diusung. Inilah yang membuat banyak pihak menilai peluang Jokowi menjadi calon tunggal atau tidak memiliki lawan berarti pada Pilpres 2019 bermunculan.
Tapi, apakah mungkin kondisi ini terjadi di Indonesia dan membuat kisah kehancuran demokrasi di era Augustus terjadi kembali?
Kasak-Kusuk Capres 2019
Hingga kini, Jokowi menjadi satu-satunya calon yang benar-benar pasti akan maju lagi pada Pilpres 2019. Memang ada nama-nama lain yang telah mendeklarasikan diri atau meniatkan maju pada kontes politik lima tahunan tersebut, tentu saja selain Prabowo. Namun, hanya Jokowi yang telah mengamankan dukungan partai-partai politik – entitas yang memegang syarat penting bagi pencalonan tokoh untuk Pemilihan Presiden.
Sejauh ini, 5 dari 10 partai yang punya kursi di DPR telah menyatakan dukungannya untuk mengusung Jokowi pada 2019 nanti. Dukungan kelima partai itu sudah lebih dari syarat minimal pencalonan presidential threshold 20 persen kursi di DPR. Sementara, Prabowo baru mengamankan dukungan Gerindra yang hanya punya 13 persen kursi di lembaga tersebut.
Sebetulnya, ada dua partai yang kemungkinan besar menjadi sekutu Gerindra, yakni PAN dan PKS. Walaupun demikian, kedekatan dengan Gerindra dan Prabowo belum membuat kedua partai tersebut secara terbuka mendeklarasikan dukungannya untuk pencapresan Prabowo. Bahkan, terkesan PAN dan PKS masih menebak-nebak akan berada di mana pada Pilpres 2019.
Hitung-hitungan politik ini beralasan, mengingat peluang Prabowo untuk mengalahkan Jokowi sangatlah kecil – setidaknya berkaca dari hasil survei sebagian besar lembaga yang menjagokan Jokowi sebagai pemenang untuk Pilpres 2019 nanti.
PAN melalui Ketua Umum-nya Zulkifli Hasan misalnya, masih “menggantung” dukungan politik partainya – sekalipun besan sekaligus sesepuhnya, Amien Rais, cenderung mengarahkan partai matahari putih itu ke Prabowo.
Kader PAN juga masih ada yang menjabat sebagai Menteri di kabinet Jokowi, dan Zulkifli terlihat masih bermain aman dengan menempatkan “dua kaki”. Jumlah “kaki” itu akan bertambah satu jika peluang poros ketiga dengan Demokrat sebagai kekuatan utamanya juga dihitung, mengingat PAN punya sejarah panjang berkoalisi dengan Demokrat.
Hal yang sama juga terjadi dengan PKS yang belakangan mulai “melunak” terhadap Jokowi. Bahkan, beberapa tokoh partai putih-putih itu – misalnya Mardani Ali Sera – mulai melempar wacana mengalihkan dukungan ke Jokowi jika sang presiden “berubah”. Sebagai catatan, Mardani merupakan salah satu tokoh yang terdepan dalam gerakan #2019ganti presiden.
Sekalipun beberapa pengamat menganggap bahasa Mardani sekedar sebagai penguat untuk posisi politiknya sebagai salah satu capres usulan PKS, yang jelas hal ini menunjukkan bahwa sikap politik PKS belum kuat seutuhnya terhadap Prabowo Subianto.
Apalagi, sistem koalisi parpol di Indonesia tentu saja tidak hanya melulu soal dukungan politik, tetapi juga finansial. Isu finansial memang masih menjadi menu utama yang “digoreng” untuk menjelaskan keraguan pencalonan Prabowo untuk Pilpres 2019.
Jika Prabowo memang kesulitan finansial, maka persoalan pencalonannya menjadi jauh lebih rumit. Bagaimanapun juga, mesin partai PKS dan PAN tidak akan mampu berjalan tanpa dukungan finansial, apalagi kedua partai tersebut harus juga berkonsentrasi menghadapi Pemilihan Legislatif di tahun yang sama. Menyusul kehadiran banyak partai baru, keduanya tentu tidak ingin terdepak dari Senayan.
Adapun koalisi poros ketiga juga tidak menemukan kejelasan. Salah satu faktor utamanya tentu saja adalah ketiadaan tokoh lain yang punya posisi politik setidaknya setara dengan Jokowi dan Prabowo. Memang ada nama Jenderal Gatot Nurmantyo, namun mantan Panglima TNI itu belum punya kapasitas politik yang cukup, setidaknya ketika ia berhadapan dengan partai-partai politik.
Maka, menjadi jelaslah mengapa Karlis Salna mengatakan bahwa Jokowi berpeluang tanpa lawan berarti jika Prabowo tidak bisa mencalonkan diri. Tentu saja hal ini akan menjadi kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Hugo Brennan, seorang analis senior dari Verisk Maplecroft, menyebut jika Prabowo tidak maju, baik karena tidak bisa mengamankan dukungan yang dibutuhkan dari partai koalisi atau karena membentuk “aliansi mustahil” dengan kampanye Jokowi – seperti berbagai gosip politik yang beredar – maka akan meningkatkan peluang calon tunggal untuk Pilpres pada April 2019 mendatang.
Brennan pun sepakat bahwa jika hal ini terjadi, maka demokrasi Indonesia benar-benar telah mengalami kemunduran. Tentu pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi?
Calon Tunggal dan Demokrasi Kolusif
Kuasa parpol dan kelompok elit dalam politik memang menjadi salah satu sisi kelam demokrasi. Setidaknya itu juga yang menjadi penyebab mengapa fenomena calon tunggal bisa terjadi.
Akhir Maret lalu, semua mata mengarah ke Mesir ketika nama Mohamed Salah – pemain sepakbola yang kini berseragam Liverpool – divoting oleh lebih dari satu juta warga pada Pilpres negara itu, sekalipun surat suaranya menjadi tidak sah karena nama Salah tidak resmi terdaftar sebagai capres.
Salah bahkan menjadi peraih suara terbanyak kedua di belakang Abdel Fattah Al Sisi. Mungkin terlihat aneh, lucu, atau mengagumkan. Namun, ini menggambarkan bagaimana rakyat Mesir ingin keluar dari ketiadaan pilihan alternatif yang ditawarkan oleh oligark dan parpol.
Dalam konteks Jokowi, ketiadaan alternatif tokoh seperti di Mesir, terjadi karena dominasi parpol. Dan Slater dalam artikelnya yang berjudul Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition, menyebut Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan situasi demokrasi yang kolusif (collusive democracy).
20. Berbagai upaya dilakukan pemerintah & pendukung untuk menutupi semua kekurangan dan kelemahan Jokow
Mulai dari publikasi hasil survey kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi, pembentukan opini publik seputar calon tunggal capres 2019, sabotase thdp bakal capres lain dst
— Indonesia Berduka (@ProklamatorRI) May 11, 2018
Kondisi ini dapat terjadi akibat kekuasaan segelintir elit atas parpol-parpol, sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda terbuka maupun tersembunyi dari elit-elit yang berada di puncak hierarki partai atau koalisi itu. Akibatnya, masyarakat memang boleh menentukan siapa presiden pilihannya. Tetapi, parpol dan oligark politiklah yang menentukan nama siapa yang akan ada di dalam surat suara.
Faktanya, praktik kolusif inilah yang membuat pilihan tokoh politik untuk maju sebagai capres menjadi terbatas. Keluhan yang dilontarkan oleh Gatot Nurmantyo tentang kuasa parpol dalam politik misalnya, merupakan salah satu pembuktian hal tersebut. Selain itu, terbukanya wacana untuk memasangkan Jokowi dengan Prabowo jelas menunjukkan ada lobi-lobi kepentingan yang dilakukan oleh para elit.
Jika skenario Pilpres 2019 menghasilkan calon tunggal, maka tulisan Karlis Salna di Bloomberg menjadi semacam ramalan masa depan demokrasi Indonesia.
Semua dinamika politik masih akan terjadi, setidaknya sebelum penutupan masa pendaftaran capres dan cawapres Agustus nanti. Yang jelas, seperti kata Kin Hubbard di awal tulisan ini, masyarakat memang ingin memilih pemimpin yang terbaik. Tapi pemimpin terbaik itu seringkali tidak ada dalam surat suara. Kita tentu tidak ingin demokrasi Indonesia berakhir seperti di era Republik Romawi, bukan? (S13)