Keputusan PDIP untuk mempercepat pelaksanaan Kongres V disinyalir akan menjadi momen regenerasi kepemimpinan partai. Mungkinkah Joko Widodo (Jokowi) menjadi Ketum PDIP?
PinterPolitik.com
“Bein’ number two is just being the first to lose” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
Beberapa waktu lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memutuskan untuk memajukan pelaksanaan Kongres V yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2020. Kongres yang rencananya akan dilaksanakan pada 8-10 Agustus 2019 ini disebut-sebut menjadi sinyal bagi pergantian kepemimpinan partai.
Partai berlambang banteng ini memang sejak lama tidak mengalami regenerasi partai yang signifikan. Megawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama Soekarno ini telah menjabat sebagai ketua umum semenjak partai ini dibentuk.
Sosok Megawati pun selalu menjadi wajah bagi partai berlambang banteng tersebut. Bagaimana tidak? Sejak tahun 1999, berbagai kongres PDIP selalu mengeluarkan nama Megawati sebagai ketum partai.
PDI Perjuangan: Kongres V Dipercepat Sesuaikan Agenda Pemerintahan Negara
Partai bergerak cepat, kokoh pada jalan Ideologi Pancasila, Progresif dalam pikir dan gerak.@PDI_Perjuangan #PDIPerjuangan#BerjuangUntukKesejahteraanRakyat pic.twitter.com/ch4uMJlFBf
— DPD PDIP JABAR (@DPD_PDIP_JABAR) June 14, 2019
Lagi pula, Megawati sendiri beberapa waktu lalu telah mengatakan bahwa dirinya ingin berhenti dari jabatan tertinggi PDIP. Dengan usianya yang menyentuh angka 72 tahun, Presiden kelima tersebut menyatakan dirinya ingin pensiun.
Dimajukannya kongres kelima ini bisa jadi merupakan momen bagi partai ini guna menunjukkan wajah barunya. Kader-kader PDIP yang lebih muda juga mulai unjuk gigi dengan prestasi dan pengaruhnya.
Beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Mengapa Megawati ingin berhenti dari jabatan ketum PDIP yang dipegangnya sejak tahun 1999? Lalu, siapakah nama-nama calon potensial yang dapat menggantikannya?
Suksesi Politik
Fredrik Bynander dan Paul ‘t Hart dalam sebuah tulisan yang berjudul “When Power Changes Hands” menjelaskan bahwa seorang pemimpin politik, sebaik dan sekuat apapun kekuasaannya, pasti akan berakhir. Berbagai penyebab yang berbeda dapat mendorong terjadinya pergantian kepemimpinan politik.
Menurut Bynander dan t’ Hart, dasar kekuatan seorang pemimpin, kekuatan komunikasi publiknya, dan keterhubungannya terhadap generasi-generasi pemilih seiring berjalannya waktu dapat mengurangi kemampuannya dalam memproyeksikan otoritasnya pada partai atau pemerintahannya.
Situasi-situasi seperti meninggalnya pemimpin, munculnya penantang potensial, skandal politik, hingga pengunduran diri secara sukarela biasanya akan mendorong pergantian kepemimpinan dalam suatu partai politik maupun negara.
Proses suksesi politik semacam ini kini sedang terjadi di Jerman. Salah satu pemimpin perempuan terkuat di Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel, memutuskan untuk tidak mencari jabatan poltik lagi pada tahun 2021, baik sebagai kanselir maupun sebagai pemimpin Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU).
Keputusan Merkel untuk mundur ini disebut-sebut terjadi karena adanya dorongan dari koalisinya yang menilainya gagal. Berbagai kekalahan partai koalisinya – CDU, Partai Sosial Demokrat (SDP), dan Persatuan Sosial Kristen Bavaria (CSU) – dan tumbuhnya pengaruh partai-partai sayap kiri dan kanan ekstrem disebut-sebut menjadi sumber kegagalan Merkel.
Bynander dan t’ Hart menjelaskan bahwa seorang pemimpin petahana dalam tubuh partai biasanya akan menjalankan manuver pemunduran diri apabila terdapat gejolak yang mengancam kepemimpinannya.
Gejolak yang mendorong pergantian kepemimpinan akan membuat sang petahana memilih untuk bekerja sama dengan kekuatan pro-pergantian tersebut. Menurut Bynander dan t’ Hart, terdapat dua pertimbangan yang dapat mendorong keputusan tersebut, yaitu dengan mengambil pendekatan kursi belakang sambil mengambil peran dalam proses pergantian, serta untuk menjaga perdamaian dan stabilitas intra-partai.
Desas-desus gejolak pro-pergantian di koalisi Merkel sebelumnya memang mengalir deras dan hal ini diakui oleh para petinggi partai koalisi. Petinggi CDU, Dieter Althaus, menilai bahwa terdapat upaya kudeta intra-partai yang menginginkan Merkel untuk mundur.
Gejolak yang mendorong pergantian kepemimpinan akan membuat sang petahana memilih untuk bekerja sama dengan kekuatan pro-pergantian tersebut. Share on XLalu, bagaimana dengan Megawati? Apakah Megawati juga mempertimbangkan hal serupa dalam percepatan kongres PDIP kali ini?
Jokowi, Calon Kuat?
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pemimpin yang telah berkuasa lama mampu mengundurkan diri secara sukarela. Pemimpin yang secara luas dianggap otentik, kuat, dan sukses secara politik sering kali menjadi subjek bagi narasi-narasi heroik bagi para pengikutnya.
Menurut Bynander dan t’ Hart, pemimpin yang memiliki pengaruh besar dan telah menjabat dalam periode waktu yang lama biasanya akan tetap berusaha mempertahankan kekuasaan, kecuali sang pemimpin ingin mengundurkan diri secara sukarela.
Sosok Megawati misalnya, telah lama menjadi wajah dan panutan bagi PDIP. Pengaruh yang telah melekat antara Megawati dan PDIP seharusnya membuat sosok sang putri Soekarno ini susah untuk dilepaskan dari kursi pimpinan.
Percepatan kongres PDIP pada Agustus nanti mungkin dapat menjadi sinyal bagi kesukarelaan Megawati untuk mengakhiri kepemimpinannya. Beberapa waktu sebelumnya, presiden kelima tersebut menyatakan keinginannya untuk berhenti dan lepas dari jabatan kepemimpinan partainya karena merasa memiliki usia yang tidak lagi muda.
Namun, apakah benar hanya itu alasan Megawati untuk berhenti dari jabatan Ketum PDIP? Bukankah semakin besarnya PDIP menjadikan kekuatan dan pengaruh Megawati turut tumbuh?
Seperti Merkel, Megawati mungkin mulai menyadari tumbuhnya dorongan kelompok-kelompok di partainya yang mulai menginginkan pergantian politik. Apalagi, beberapa kader mudanya mulai unjuk gigi dengan prestasi dan pengaruhnya masing-masing.
Sebelumnya, desas-desus dorongan untuk regenerasi di dalam tubuh PDIP pernah mengalir deras. Perdebatan antara kubu-kubu intra-partai sempat mengemuka.
Dalam tubuh partai berlambang banteng ini, disebut-sebut terdapat tiga kubu yang saling berbeda dalam pendapatnya mengenai masa depan kepemimpinan partai, yaitu kubu loyalis Megawati, kubu loyalis Taufiq Kiemas, dan kubu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) – partai yang dulu difusikan dengan PDI.
Mengenai masa depan kepemimpinan partai, kubu loyalis Megawati mengusulkan nama yang masih memiliki trah Soekarno. Kubu ini disebut-sebut mendorong Prananda Prabowo untuk menjadi pengganti Megawati.
Selain kubu tersebut, kubu loyalis Taufiq juga mengusulkan nama yang memiliki trah Soekarno, yaitu Puan Maharani. Dua pengganti potensial ini merupakan putra dan putri Megawati.
Sebenarnya, jika harus memiliki darah Soekarno masih ada satu nama lain yang bisa masuk hitungan. Adalah Puti Guntur Soekarno, cucu Soekarno dari garis Guntur Soekarnoputra, sosok lain yang sebenarnya bisa diprospek untuk kepemimpinan di PDIP.
Namun, kubu Parkindo disebut-sebut ingin trah Soekarno bukan menjadi prasyarat bagi posisi kepemimpinan PDIP. Kubu ini lebih menekankan pewarisan visi ideologis Soekarno pada pemimpin selanjutnya tanpa menekankan politik dinasti di baliknya.
Melalui pandangan seperti ini, peluang munculnya nama-nama lain yang tak punya darah keturunan Soekarno menjadi lebih terbuka. Nama-nama seperti Budi Gunawan atau Jokowi misalnya bisa saja ikut meramaikan bursa calon ketua umum PDIP. Apalagi, nama-nama ini punya pengaruh yang tak bisa dianggap remeh di negeri ini.
Sebut saja Jokowi, mantan Wali Kota Solo tersebut memiliki prospek karir politik yang bisa dibilang sangat cemerlang. Bagaimana tidak? Karier politiknya berkembang pesat – dari yang awalnya menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden Indonesia – hanya dalam waktu beberapa tahun saja.
Pengaruh dan sosok politik Jokowi yang banyak digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia juga membuat nama ini tidak bisa diabaikan. Hasil survei dari Financial Times Confidential Research menunjukkan Jokowi memiliki approval rating yang cukup tinggi, yaitu sekitar 59,5 persen pada tahun 2018.
Bisa jadi, kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu menjadi pengingat bagi Megawati untuk segera mengantisipasi tumbuhnya gejolak dalam partai naungannya tersebut.
Upaya Pre-emptive Megawati
Manuver Megawati untuk mendorong regenerasi kepemimpinan partainya bisa juga berkaitan dengan upaya kohabitasi Jokowi-Prabowo Subianto. Sebelumnya, pihak Partai Demokrat yang dianggap sebagai juru kohabitasi mengimbau Jokowi dan Prabowo untuk melepaskan diri dari partai-partai koalisi masing-masing.
Bisa jadi, keputusan Megawati dan PDIP untuk mempercepat kongres ini merupakan tindakan pre-emptive (mendahului) terhadap adanya kemungkinan kohabitasi. Berdasarkan teori kontrafaktual mengenai hubungan sebab dan akibat, tindakan mendahului ini digunakan untuk memengaruhi efek akhir.
David Lewis dalam tulisan Peter Menzies yang berjudul “Counterfactual Theories of Causation,” menjelaskan bahwa upaya mendahului ini dapat dicontohkan dengan permainan melempar batu untuk memecahkan sebuah botol.
Misal, satu orang bernama Billy hendak melempar batu terlebih dahulu. Orang lain yang bernama Suzy memutuskan untuk melemparkan sebuah batu juga. Hasil akhir akan berubah karena batu Suzy lebih dulu memecahkan botol tersebut.
Lalu, bagaimana bila dikaitkan dengan percepatan Kongres V PDIP?
Bila dikaitkan, manuver Megawati mungkin merupakan taktik cemerlang guna mencegah terdepaknya PDIP dari posisi Jokowi. Bisa jadi, manuver percepatan kongres ini merupakan cara Megawati untuk merekatkan Jokowi dengan partai berlambang banteng tersebut akibat adanya kemungkinan kohabitasi.
Jika benar, lirik rapper Drake di awal tulisan menjadi relevan dalam kasus ini. Bisa jadi, Megawati menyadari bahwa PDIP akan merugi apabila tidak bergerak mendahului proses kohabitasi tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (A43)